CHAPTER 34

2.8K 217 0
                                    

Tiga tahun setelah Mandy meninggalkan G-City dan tinggal di panti, gadis itu sempat kembali untuk meneruskan kuliahnya. Ia tak tahu bagaimana statusnya di kampus. Hanya bermodalkan data diri, ia mencoba datang ke kampus yang di dalamnya sudah diisi oleh mahasiswa yang tidak satupun wajahnya ia kenali. Semua temannya sudah lulus saat itu. Meninggalkan kepedihan sendiri di hatinya karena merasa seharusnya ia bisa wisuda bersama dengan mereka.

Tadinya ia ingin segera mengurus keperluannya di kampus, namun kata hati menyuruhnya untuk menemui Yune. Orang tua yang juga sangat berarti di hidupnya. Dan janda tua itu menangis bahagia bisa bertemu lagi dengan Mandy, gadis yang sudah 15 tahun dikenalnya.

Setelah memuaskan kerinduan bersama, Yune mengatakan bahwa Ren telah mengurus izin cuti Mandy dari kampusnya, pria itu bahkan selalu membayar uang pembangunan setiap tahun yang menjadi syarat utama kampus agar nama Mandy tetap tercatat sebagai mahasiswi disana walau dengan status tidak aktif. Mendengar cerita Yune, Mandy tak tega menceritakan apa yang sebenarnya terjadi saat itu.

Sore itu saat terakhir Mandy bertemu Yune, langit seolah murka pada bumi dengan seringnya mengeluarkan kilat dan petir di tengah hujan deras yang turun sejak siang. Gadis itu pulang ke rumah susunnya setelah berjalan linglung basah kuyup kehujanan akibat mendengar percakapan yang seharusnya tak ia dengar di bengkel Chris. Ia sempat bertemu Yune yang ternyata segera pamit karena dapat info bahwa anaknya di B-City membutuhkan kehadirannya karena kewalahan menjaga cucunya yang opname akibat demam berdarah.

Mencoba tak menunjukkan luka hati di raut wajahnya, Mandy memastikan Nenna baik-baik saja sebelum pergi meninggalkannya untuk mandi dan tanpa bisa dicegah, ia menangis kembali di bawah guyuran air shower kamar mandinya. Walaupun ia berusaha tampak biasa saja di depan Nenna, namun ia tak bisa menyamarkan kesedihan dari mata sembabnya.

"Ada apa nak? Kau seperti habis menangis", tebak Nenna tepat sasaran. "Tidak ada apa-apa Na, tadi mataku kemasukan debu", pungkirnya menghindar ke dapur. "Kemarilah Dy", pangggil Nenna dengan suara lembutnya. Mandy yang baru memotong kentang, mencoba menahan kepedihannya agar tak tumpah di depan Nenna. Ia pun mendekatinya dengan senyum yang dipaksakan. "Aku mau masak Na, ada apa?", katanya berakting.

"Ada masalah dengan Ren?". Nenna tahu jika Mandy menghadapi masalah di kampus atau tempat kerja, tentang pelajaran atau nilainya, bahkan tentang teman yang mengusilinya, cucunya itu pasti tidak akan menangis. Ia adalah gadis tegar yang tak akan membuat Nenna nya khawatir karena masalah yang bersumber dari situ. Nenna tahu yang bisa membuat gadis itu menangis adalah karena kesehatannya atau saat ini, bisa jadi karena masalah hati. Bagaimanapun Mandy masih asing tentang hal yang satu itu karena berpacaran dengan Ren adalah pengalaman pertama baginya.

"Kalian saling menyayangi, Nenna tahu apapun masalahnya, kalian bisa menghadapinya bersama asal saling mengerti", ujar Nenna yang memancing rasa sedih Mandy. Baginya saat itu, Nennanya lah korban yang akan merasa paling syok jika tahu bahwa Ren hanya menipu mereka berdua.

"Jangan menyebut namanya lagi Na", pinta Mandy yang sebetulnya tak ingin Nenna tahu masalah yang menimpanya.

"Pacaran lalu berantem itu biasa, menikah saja masih bisa berkelahi kok.. Nenna tahu ia sangat menyayangimu, Dy", lanjut Nenna seolah menyiram alkohol ke luka yang diderita cucunya.

"Ia hanya mempermainkanku Na".

"Mempermainkan? Mempermainkan bagaimana nak? Apa mungkin kamu hanya salah paham Dy?". Mandy lelah mendengar Nenna yang seperti membela Ren. 'Pria itu tak pantas dibela, Nenna harus tahu yang sebenarnya terjadi'. Seolah setan menguasai pikirannya, Mandy pun mulai membeberkan apa yang terjadi.

"Kita  ditipu Na, selama ini ia bersikap baik, ternyata hanya demi mendapatkan tubuhku, tujuan utamanya adalah menghancurkan hidupku, aku mendengar sendiri ia menertawakanku di belakang bersama teman-temannya", akhirnya Mandy tak bisa menghentikan ucapannya sendiri. Ia menangis sejadi-jadinya di kaki orang tua yang duduk di kursi roda itu. Nenna tentu terkejut, walau orang tua seusianya lebih lambat mencerna informasi, ia tahu untuk tidak sembarang menebak keadaan dari cerita sepihak. Namun bagaimanapun, mendengar Mandy menangis, Nenna pun ikut merasakan kesedihan cucunya itu. Ia juga menangis sambil membelai rambut Mandy. "Sabar nak, kamu gadis baik, Nenna yakin ada penjelasan akan apa yang terjadi, jikapun tidak, Nenna yakin Tuhan akan memberimu pengganti yang lebih baik", keduanya berpelukan dan menangis bersama. Setelah menumpahkan segala kepedihannya, lama-lama Mandy tenggelam dalam aura ketenangan yang terpancar dari belaian Nenna di punggungnya.

"Kamu kuat, angin badai tak akan dengan mudahnya merobohkan akarmu yang kokoh", Nenna mencoba membesarkan hati cucunya walau nenek tua itu sendiri menekan rasa sedih dan khawatir akan kondisi Mandy jika benar Ren hanya mempermainkannya.

Setelah menceritakan masalahnya pada Nenna, sedikit menguatkan Mandy dan membuat air mata gadis itu perlahan mereda. Nenna menghapus air mata yang tertinggal di pipi cucunya. "Tak akan ada pria yang hidupnya tenang jika mempermainkan cucuku ini", senyum Nenna membuat Mandy ingin menangis lagi. Tapi ia menahan diri untuk tidak melakukannya karena menyadari Nenna berusaha semampunya untuk menghiburnya.

Tahu bahwa Nenna juga menangis karenanya, Mandy menawarinya untuk mengambilkan air putih hangat. Dan Nenna tak menolak. Gadis itu bahkan mengambilkan air putih untuk Nenna lebih dulu dibanding minum untuk dirinya sendiri yang juga membutuhkan air itu.

Namun malang tak dapat ditolak, saat Mandy kembali dengan membawa segelas air di tangannya, ia melihat Nenna sudah memejamkan matanya. Awalnya Mandy memanggilnya dengan biasa, lalu ia memegangi tangan dan pipi orang tua itu. Namun Nenna tak kunjung bangun. Mandy pun mulai panik, ia hanya memanggil-manggil Nennanya sambil menggoyang-goyang pundak neneknya itu. "Nenna! Nenna..", isaknya kembali menitikkan air mata, ia lalu menekan jari telunjuknya untuk merasakan denyut nadi di tangan keriput itu. Namun tak ada denyut disana. Kembali Mandy memastikan kondisi Nenna dengan menempelkan kepalanya pada dada Nenna. Namun hasilnya sama. Tak ada detak jantung disitu.

Satu-satunya keluarga yang ia miliki telah tiada. Gadis itu bahkan tak punya tenaga untuk menjerit selain dalam hatinya. Ia bersimpuh di kaki almarhum Nenna. Menyesal dan memohon maaf karena langsung merasa Nenna meninggal karena ulahnya yang tak mampu menahan diri untuk tidak menceritakan musibah yang dialaminya.

Mandy memeluki jenazah yang masih hangat itu. 'Bagaimana mungkin kau pergi secepat ini, tadi kita masih bicara bersama, Nenna, bangunlah, kumohon'.

Putus asa, tak tahu harus apa, saat itu juga, Mandy sudah berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya. Ia merasa sudah tak memiliki siapa-siapa atau apapun lagi. Hatinya hancur karena Ren, dan kini hidupnya hancur karena merasa telah membunuh Nenna.

Namun melihat wajah Nenna yang sangat dicintainya, tertidur untuk selamanya, membuatnya tak tega jika harus melepas kepergian Nenna seperti itu.

Mandy menciumi tangan Nennanya sebelum bangun untuk menelepon ambulance di malam hari itu. Ia meminta bantuan untuk membawa jenazah Nennanya untuk dimandikan di rumah sakit.

Sesaat setelah menutup telepon itu, dengan lemah ia berjalan kembali mendekati sosok Nenna yang selama ini hidup dengannya dan harus berpisah dengan cara seperti itu.

Ia memeluki tubuh Nenna sampai titik tenaga penghabisan. Dan saat petugas ambulance membuka pintu rumah yang tak terkunci itu, mereka menemukan seorang gadis yang tak sadarkan diri memeluk jenazah neneknya.

Mandy hanya sendirian menghadapi semua itu. Dari mengawal proses memandikan jenazah Nenna sampai pengantaran ke persemayaman terakhirnya. Dan setelah merasa semua tugasnya selesai. Ia mengiris urat nadinya di atas kuburan Nenna yang masih basah. "Kita hanya berpisah sebentar, tunggu Mandy datang menemanimu ya".

Bila Hujan Tengah Hari (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang