70

2.4K 146 17
                                    

Fatimah menatap bisu pada Aliya yang juga masih menatapnya. Hati dua wanita itu tidak dapat di pungkiri sama-sama menyimpan duka atas peristiwa yang menimpa laki-laki pengisi hati mereka.

" Sebelumnya, ana tidak tahu musibah yang menimpa Fatih. Ana ke Indonesia karena paman masih mengunjungi beberapa sahabatnya di Malaysia dan Indonesia. Dan dia juga merindukan mas Fatih. Itulah mengapa ana berada disini " seru Fatimah yang sedang berdiri di depan Aliya. Sementara Azzam masih terlelap di antara keduanya.

" Kenapa mas, kenapa mas membiarkan wanita yang kau cintai ini menangis. Sekarang sadarlah! Sardar cepat mas " Aliya terperangah dengan sikap Fatimah, yang terlihat sedang membentak Azzam.

" Apa yang mba lakukan? "

" Cepat bangun, mas " Kini Fatimah mulai mengguncang bagian sprei di ranjang tempat Azzam berbaring.

Aliya tak sanggup berkata lagi, ada rasa yang mencubit perasaannya ketika melihat apa yang Fatimah lakukan pada suaminya. Sebegitu besarkah perasaan Fatimah pada suaminya, sehingga membuatnya seperti itu.

" Ukhti, apa lagi yang ukhti tunggu. Cepat bantu ana membangunkan Fatih. Ayo ukh - " mohon Fatimah.

Kini Fatimah sudah mendekat pada Aliya yang sedang tertekun. " Ini ujian mba, istighfarlah " seru Aliya, meskipun ia juga sedang terguncang.

Aliya mencoba memeluk Fatimah, kedua wanita itu sama-sama saling menguatkan. Aliya baru menyadari, perasan Fatimah memang begitu besar pada laki-laki yang statusnya saat ini sah sebagai imamnya.

Aliya membawa Fatimah duduk di sofa dan memberikan segelas air mineral kepadanya. Fatimah secara tiba-tiba menungkup wajah Aliya, dan menyentuhnya dengan lembut.

" Kenapa dia tega membiarkan air mata ini terjatuh, kenapa pria itu sanggup membawa serta senyum hangat nan manis ini dari wajah ukhti? " tatap Fatimah dengan matanya yang sendu, sementara Aliya tersenyum kecil di wajah pucatnya.

" Sementara ukhti sanggup menunggunya dengan kesabaran, ukhti berbohong jika tidak bersedih kan? "

" Ukh - " Fatimah menyentuh lembut pundak Aliya.

" Memang kebohongan besar, jika Aliya ingin keadaannya seperti ini mba " ujar Aliya memberi penjelasan.

" Perasaan mba begitu besar pada mas Azzam, rasa cinta itu sudah menenggelamkan mba begitu dalam. Maaf, Aliya tidak sanggup membantu mba, untuk mewujudkan apa yang sudah mba impikan " kata Aliya lemah.

Fatimah tersenyum simpul. " Mungkin sudah saatnya tiba, dimana kita harus melepaskan dan berhenti mencintai seseorang, itu bukan karena kita terlarang untuk mencintai dia. Tetapi karena kita sudah menyadari bahwa seseorang yang kita cintai akan terluka, jika kita memaksakan perasaan kita padanya "

" Di hari itu (Fatimah kembali mengingatkan pada peristiwa beberapa bulan lalu) ana mulai sadar, bahwa mas Fatih tidak di takdirkan bersama dengan ana. Matanya memancarkan bahwa dia sangat mencintai istrinya, yaitu ukhti " jawab Fatimah dengan bijak.

" Dan in syaa Allah, ana akan menerima takdir ini dengan ke ikhlasan dan hati yang terbuka " ujar Fatimah dengan senyum kecil.

***

Aliya kembali mendekati Azzam setelah selesai melaksanakan shalat. Kali ini ia shalat di ruangan Azzam di rawat. Dengan balutan mukena berwarna putih dan Al-Qur'an berukuran sedang berada di genggamannya.

Aliya menatap sekilas kaki Azzam yang mengelayut terikat perban karena cidera nya, juga tangannya yang terperban dengan rapi. Begitu pula dengan dahi Azzam yang di penuhi oleh perban berwarna putih itu.

MAHLIGAI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang