72

1.4K 91 13
                                    

Aliya bermenung di awan tanpa ada hambatan, di kepalanya banyak sekali memori yang meracuni pikirannya. Tidak ada seorang pun yang mengusiknya kini.

Ia duduk terdiam di tengah-tengah sepinya malam menjelang. Kadang di pelupuk mata terasa panas, namun ia terus menepisnya jauh-jauh.

Sepinya malam mengingatkannya pada semua memori hidup yang pernah dilaluinya, mulai dari sedih, senang, gundah gulana, semua memutar di ingatannya bagai kaset kusut yang tak ingin beralih dari pikiran Aliya.

" Belum henti-henti juga merenung nya dek? " suara bass yang khas laki-laki mengagetkan Aliya, membuatnya terperanjak dan sedikit menoleh ke arah sumber suara.

" Kak, belum tidur? " tanya Aliya basa-basi.

" Kebangun lagi " jawab Khadir singkat. Ia terdengar menarik nafas beratnya sambil menuangkan mineral ke dalam gelas bening.

" Belum henti-henti juga merenungi nasib itu? " ucap Khadir kembali. Ia mengambil duduk yang tidak jauh dari Aliya.

Ia menatap raut wajah Aliya yang sudah terlihat lelah sambil meneguk minuman yang berada di genggamannya.

Sementara kini, Aliya tanpa mengubris pertanyaan kakaknya, bahkan keberadaan Khadir pun masih belum di perdulikan oleh Aliya.

"Maaf Al, bunda tidak dapat memberikan informasi yang baik untuk Aliya. Keadaan Azzam masih belum ada perkembangan. Tetapi kesehatannya masih terkontrol oleh dokter" ucap Zahra dalam sambungan snapp disiang tadi mengiang di telinganya.

Flash back..

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya dua bulan setelah Azzam kecelakaan di malam itu. Keluarga Azzam sepakat untuk melakukan rawatan di luar negeri, yang bertepatan di kota London-Britania Raya.

Dengan lemah Aliya menyerahkan semuanya pada Rasya, ayah mertuanya untuk mengurus suaminya.

Dan selama itu, Aliya tidak sama sekali berinteraksi dengan Azzam baik secara langsung maupun melalui telepon.

Saat ini sudah masuk dibulan ketiga Azzam berada di london, tetapi tidak ada sama sekali kabar baik yang Aliya dengar dari keluarga suaminya. Malah kabar demi kabar yang ia terima bahwa Fatimah ikut serta mengurus Azzam disana.

" Proses pemulihan Azzam itu kemungkinan memakan waktu yang lama, ayah selaku orang tua Azzam tidak akan memaksa Aliya untuk bertahan menunggu Azzam kembali pulih seperti sedia kala"

" Jika Aliya sudah meyakini ada orang lain yang mampu membimbing serta memberikan apa yang Aliya butuhkan, maka tidak perlu ada keraguan lagi untuk meninggalkan Azzam, ayah akan bantu proses perpisahan itu"

Now..

Tanpa disadari Aliya, air mata yang sejak tadi menumpuk di pelupuk matanya jatuh dalam keheningan. Ingatannya seakan memberikan tamparan kuat di dalam batinnya, hatinya tertusuk hingga hancur tidak tersisa. Khadir hanya mampu menatap wajah adiknya itu dalam diam. Meskipun ia tidak dapat memberikan solusi apa pun pada masalah adiknya saat ini.

Aliya benar-benar rapuh saat ini, pikiran nya yang tak karuan namun tidak berdaya. Juga ketakutan dan kekhawatiran yang mendominani perasaan nya. Tetapi ia masih bisa tegar jika ada didekat keluarga besarnya, meskipun keberadaan suaminya tidak ada yang dapat menggantikan nya.

Dengan desakan Khadir, Aliya akhirnya sudah berada di kamarnya. Kamar yang dulu sering ia rindukan, ranjang yang terasa sempit jika di tempati oleh dua orang. Tapi kini, bukan ranjang itu yang saat ini ia rindukan, melainkan ranjang dengan ukuran king size yang sudah terbiasa ditempati olehnya dengan sang pujaan.

MAHLIGAI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang