67

2K 115 8
                                    

" Mas Azzam - ? Abi – " gumam Aliya.

" Aliya, ini mama nak " ucap Tiara. Aliya membuka mata pelan, tatapannya langsung mendapati Tiara dan Aminah yang masih duduk di tepi ranjang berukuran king size yang sedang di tempati Aliya saat ini.

" Mas Azzam, dimana ma? " ucap Aliya dengan nada serak.

" Suami Aliya dimana? " ulang Aliya kembali, setelah mendapati Tiara dan Aminah diam saja.

" Mas.. Mas Azzam? " pekik Aliya.

" Tabahkan hati mu nak, bersabarlah. Azzam sudah pergi meningalkan kita semua, untuk selama-lamanya " ucap Tiara dengan air mata yang jatuh kembali di pipinya.

Ucapan itu membuat Aliya menajamkan pandangannya pada Tiara. Ia sedikit menggeram kecil dan terbata. Matanya memerah menahan tangis dan kepedihan setelah mendengar pernyataan mamanya.

" Mama bohong, mas Azzam masih ada, dia ga mungkin ninggalin Aliya sendiri "

" Mama bohong " jerit Aliya. Ia beralih menatap Aminah disisi kirinya. Dengan tangan gemetar Aliya menyentuh tangan Aminah dengan pelan.

" Umma, jelaskan pada Aliya. Bahwa mas Azzam masih adakan? Jawab umma " rengek Aliya.

Tiara maupun Aminah tak sanggup berkata, keduanya hanya bisa memeluk tubuh mungil Aliya dengan perasaan yang sama. Memberikan sedikit ketenangan dengan menyentuh lembut punggung Aliya.

Dengan sekuat tenaga, Aliya melepaskan pelukan Tiara dan Aminah. Ia berlari keluar dan menuruni undakan tangga dengan cepat.

Kaki nya oleng seketika ia menatap sebujur jasad yang kaku dengan balutan kain khafan. Kain putih bersih sebagai tanda pakaian terakhir setiap muslim di dunia, sudah membaluti tubuh putih Azzam.

Aliya terisak keras, air matanya tak terbendung. Sesak di dadanya semakin menggebu, sakit, perih melebihi sakit yang ia rasakan saat mengetahui bahwa ia menikah dengan Azzam, yang semula ia anggap sebagai pembunuh suami sepupunya, laki-laki yang semula ia cintai.

Ditengah kesakitannya, Aliya mencoba bangkit kembali. Ia menyeret kedua kakinya untuk melangkah lebih dekat dengan jasad yang terbaring kaku itu.

Aliya menyentuh dadanya kuat, kedua tangannya meremas dengan tajam. Kepalanya yang pening tidak ia hiraukan, tubuhnya gemetar hebat, raungan tangisan juga mengisi ruangan besar itu.

" Aku mencintaimu "

Kata yang terngiang di ingatan Aliya, ucapan terakhir Azzam sebelum mengatakan ia akan kembali ke Jakarta dan menemuinya. Kini berdebat dengan kata pertama yang Aliya ucapkan pada Azzam usai akad dahulu.

" Saya mau kamu menalak aku sekarang juga, aku minta pisah "

Aliya menatap wajah Azzam dengan pilu, bahkan dia sudah tak sanggup untuk berkata lagi. Memorinya kembali berputar, membayangkan dirinya tanpa Azzam lagi. Sanggupkah dia? kuat dan ikhlaskan dia? bahkan Azzam belum saja memberikan kenangan berharga seperti yang sedang mereka idamkan beberapa bulan terakhir.

" Apa salah ku belum kau maafkan, sampai kau tega meninggalkan aku berjuang sendirian? " lirih Aliya.

" Mas Azzam, bangun mas, aku mohon " bisik Aliya dengan penuh permohonan.

" Kamu bangun mas, dimana kata semangat kamu buat aku? Aku tak sanggup melihat kamu terbaring tanpa suara seperti ini " lirihnya.

" Sabar Al, aku, mama dan semuanya akan selalu bersama mu " balas Maryam.

" Sampaikan maaf ku padanya, aku tak sanggup tanpa dia, Maryam " gumam Aliya kembali. Air mata terus bercampuran dengan kata-kata pilunya.

" Aku tahu - " ucap Maryam kembali.

MAHLIGAI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang