71

2.1K 105 21
                                    

Saat ini, Aliya sedang bersimpuh dihadapan Allah dengan mengangkat kedua tangannya. Kalam Allah terus menghiasi bibirnya, selama hampir dua jam setelah selesai shalat ashar ia masih duduk di tempat itu.

Tak lama kemudian, ia bangun dan mendekati nakas untuk mengambil Al-Qur'an yang beberapa hari ini selalu di genggamannya. Ia melangkah dengan lunglai, menuju sofa di ruangan Azzam berada, tubuhnya terlihat lemah mungkin saja karena Aliya belum sama sekali mengisi perutnya dengan sesuap makanan hari ini.

Ia memilih duduk di sofa, dan mulai membuka lembaran kertas suci itu. Saat sedang fokus membuka lembaran demi lembaran kalam Allah, samar Aliya mendengar namanya di panggil dengan pelan. Awalnya Aliya tidak menghiraukan, namun dengan jelas suara itu kembali terdengar.

" Allah.. Akbar. "

Suara kembali terdengar di telinga Aliya, berbarengan dengan jatuhnya air matanya yang bahagia. Aliya dengan cepat berlari mendekati ranjang tempat Azzam berbaring, berharap agar ia mendengar sekali lagi suara suaminya itu memanggilnya. Dan memastikan, bahwa yang ia dengar itu tidak lah salah.

" Mas, mas berbicara kan? "

" Bangun mas, Aliya ada disini. Mas tidak rindukah dengan Aliya? "

Pertanyaan Aliya melayang di udara begitu saja, tidak ada jawaban dari Azzam yang masih hening, bahkan tidak ada yang berubah dari tadi. Mungkin kah suara itu hanya bayang-bayang Aliya saja?

Namun, detik kemudian Aliya di buat kaget dengan reaksi yang Azzam berikan padanya. Tubuh Azzam seakan menggigil dan turun naik, seakan ada yang sakit di bagian dadanya.

" Mas?  MAS? Ya Allah? Dok- Dok- Dokter " pekik Aliya, ia berlari dengan mukena masih membaluti tubuhnya, ia keluar dari ruangan tersebut untuk memanggil seorang Dokter. Sebenarnya ada alat yang bisa digunakan untuk memanggil dokter disana, tetapi Aliya tidak sama sekali terpikirkan. Ia kalut dan sulit mengendalikan dirinya sendiri melihat keadaan Azzam.

Seorang dokter dengan bantuan perawat itu masuk bersama Aliya yang berlari kecil sambil terengah. Dengan penuh kekhawatiran Azzam memerintah dokter untuk memeriksa keadaan suaminya. Tanpa aba-aba lagi, dokter itu segera memeriksa keadaan Azzam, melakukan pertolongan sesuai kemampuan yang ada padanya.

Sementara di pojok ruangan tersebut, Aliya dengan buliran air matanya yang terus mengalir, menyebut nama Azzam berkali-kali. Tidak ada yang ia harapkan saat ini, selain kesembuhan suaminya yang beberapa hari ini terbaring lemah di ranjang pasien tersebut.

Aliya hanya mampu menatap seorang dokter dengan bantuan perawat itu membenarkan posisi monitor hemodinamik dan saturasi yang digunakan Azzam. Setelahnya, dokter yang bernama Hafri Izham itu menyudahi aktivitasnya memeriksa perkembangan kesehatan Azzam. Ia terlihat sedikit senyum pada Aliya, dan berjalan mendekati Aliya.

" Apa dia baik-baik saja, dok? " tanya Aliya berharap agar dokter itu menyampaikan hal baik padanya. Sebuah senyum tipis ia paksa tercetak di wajahnya.

" Dia masih koma, keadaannya melemah. Kami akan melakukan yang terbaik untuk suami ibu " jelas singkat sang dokter.

" Tetapi dia tadi bersuara dok, dia memanggil nama saya, saya tidak mungkin salah dengar "

" Iya bu, mungkin itu merupakan bagian dari rasa sakit yang sedang di derita oleh pasien. Kami sudah memberikan penanganan terbaik dari rumah sakit ini. Tetapi, kami juga bukan tuhan, yang mampu melakukan semua di luar kehendak kami " ujar dokter membuat Aliya mengangguk paham.

" Sebaiknya kita diskusikan ini di ruangan saya, tidak baik untuk dijelaskan disini. Selain mengganggu, ini juga melanggar peraturan dari rumah sakit " putus dokter Hafri.

" Bapak duluan saja, saya akan menyusul " ucap Aliya lemah.

Laki-laki paruh baya dengan gelar dokter itu, keluar setelah mengatakan persetujuan pada Aliya. Sementara itu, Aliya masih diam di tempatnya seraya memandang wajah Azzam yang semakin hari semakin pucat. Tetesan air mata tidak lagi terbendung, mengalir deras jatuh di permukaan pipinya.

Seketika, samar Aliya kembali mendengar suara pelan memanggil namanya, namun ia mulai tidak percaya. Ia tidak ingin halusinasi ini terus berkelanjutan, mungkin saja ini karena rindu terhadap suaminya itu semakin dalam.

Bukan mendekati Azzam, Aliya malah melangkah menjauh menuju pintu keluar ruangan tersebut. Sebelum membuka pintu, Aliya kembali menoleh kearah suaminya. Dengan air mata yang masih menetes, ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya untuk menemui dokter yang di percayakan untuk menangani suaminya itu.

Derap langkah Aliya terhenti ketika keluar dari pintu dan berpapasan dengan Zahra, ibundanya.

" Bunda? "

" Aliya mau kemana, nak? " tanya Zahra.

" Ada yang ingin dokter Hafri sampaikan bunda, mengenai mas Azzam " ujar Aliya dengan lemah.

" Ya sudah, biar bunda yang menemui dokternya. Ini bunda bawakan makanan dari rumah, bunda masak sendiri. Jadi Aliya harus menghabiskannya ya " kata Zahra seraya memberikan rantang pada Aliya.

Dengan senyum Aliya menerima pemberian bundanya. Dan mempersilahkan Zahra untuk pergi menemui dokter Hafri di ruangannya.

Sepeninggalan Zahra, Aliya duduk sejenak di kursi tunggu di depan kamar Azzam. Banyak orang berlalu lalang di sana. Dengan berbagai keluhan pasien, mulai dari di topang oleh kursi roda, tongkat, sampai pada yang di bawa dengan bantuan brangkar dorong.

" Tidak ada seorang hamba yang mencintai apapun dan siapa pun karena Allah, melainkan hambanya itu telah mencintai Allah lebih dari segala-galanya. Hingga ketika apapun yang sudah Allah tetapkan, Qodarullah itu akan diterimanya dengan kelapangan dada yang ikhlas dan keridhoannya. Termasuk jika Allah mengambil apapun dan siapapun yang kita cintai "

" Terlebih dari itu, kita tidak pernah berhak atas apapun yang Allah titipkan di dunia ini. Termasuk orang-orang yang kita cintai "

Kalimat yang pernah Azzam sampaikan itu mengiang di telinga Aliya. Seberapa besar pun harapan itu, hanya Allah lah yang maha menentukan. Kembali dan berpulangnya sesuatu, itu sudah pasti akan terjadi. Tidak sekarang mungkin nanti, tugas kita hanya mempersiapkan diri, untuk menghadapi kehidupan setelah ini.

Aliya mencoba tersenyum pada dirinya sendiri. Kembali mengingat masa lalu dan mencoba istighfar atas semua itu. Lisan memang mengatakan berserah pada Tuhan yang Esa, namun akan terasa berat jika harus kehilangannya.

Tbc..
'30-01-2020
Eliya Yunani

MAHLIGAI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang