Perhatian?

2.3K 133 3
                                    

Satu minggu setelah Vano operasi, dia sudah diperbolehkan untuk pulang. Dengan catatan tidak boleh terlalu lelah. Sehingga Reno dan Mesya harus lebih protektif dengan Vano.

Membuat Rafi yang sendiri semakin menyendiri. Dia hanya diam, tidak berani menyela semua perhatian yang diberikan untuk Vano.

Dia bukan siapa-siapa yang berarti di keluarga itu. Dia hanya orang uang dititipkan, tidak lebih dari itu.

"Vano, setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah, jangan ke mana-mana, kalau kamu bantah, Mama akan sita motor kamu," ucap Mesya sambil menuangkan teh manis pada gelas Vano.

"Iya Ma," jawab Vano pasrah.

Dia tidak mau sakit seperti seminggu yang lalu. Untung saja dia masih diberikan kesempatan hidup. Walaupun harus menerima ginjal baru yang entah siapa pemiliknya.

Rafi hanya diam memandang adegan itu. Sudah lama dia tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Dia sangat menginginkannya. Namun dia hanya bisa diam karena dia sudah tidak memiliki ibu.

Reno sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali. Namun yang Rafi herankan, mengapa Mesya tidak marah atau melarang dirinya untuk makan di meja makan bersama mereka. Walaupun sifat tantenya masih datar padanya, namun dia tahu jika Mesya tidak pernah seperti itu sebelumnya.

"Tante aku berangkat dulu ya, assalamualaikum," ucap Rafi lalu mencium punggung tangan Mesya.

"Iya, waalaikumsalam," jawab Mesya.

Lihatlah, bahkan Mesya mau menerima ketika Rafi mencium punggung tangannya.

/*\

Sederet soal sudah berada di hadapan Qaila. Gadis itu tidak fokus pada ulangannya. Dia memikirkan kakak kelasnya, Rafi. Orang yang sudah satu minggu tidak masuk sekolah. Qaila tidak tahu alasan pastinya mengapa Rafi tidak sekolah. Yang dia dengar jika kakak kelasnya itu sakit. Dia ingin menjenguk. Namun, tugas yang menumpuk membuatnya mengurungkan niatnya untuk menjenguk Rafi.

Qaila menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk tidak memikirkan kakak kelasnya itu dan fokus pada ulangannya.

Dea yang berada di samping Qaila mengerutkan dahinya ketika melihat temannya itu menggelengkan kepala.

/*\

Saat bel istirahat, Dea, Qaila, dan Naila sudah duduk manis sambil menunggu pesanan mereka di kantin.

"Eh Qai, lo kenapa tadi kaya gak fokus gitu?" tanya Dea penasaran.

"Enggak papa kok, lo salah lihat kali," jawab Qaila berbohong.

"Yaelah gue duduk di sebelah lo, jadi gak mungkin gue salah lihat," kata Dea.

"Enggak papa kok. Eh De, Nai, gue ke kelas ya, pesanan gue kalian yang makan aja," kata Qaila lalu meninggalkan Dea dan Naila yang bingung.

"Kenapa tuh si Qaila? Kesambet apa gimana dia?" tanya Naila.

"Mungkin," jawab Dea singkat.

Saat di koridor, Qaila berpapasan dengan Rafi. Dengan cepat dia menghampiri Rafi. Dia tidak memikirkan betapa malunya dia saat ini.

"Kak Raf," panggil Qaila membuat Rafi berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya.

"Kenapa?" tanya Rafi yang sudah di hadapan Qaila.

"Kakak sakit apa? Kok seminggu gak datang?" tanya Qaila.

"Enggak usah dipikirin," jawab Rafi.

"Tapi aku khawatir kak," ucap Qaila ceplos.

Qaila terdiam. Memikirkan apa yang baru saja dia katakan.

"Eh eh bukan itu maksudnya, aku ... aku cuma--"

Rafi menampilkan senyumnya. Senyum yang tidak pernah ditunjukkan pada siapapun. Dia mereka lucu melihat adik kelas yang berada di hadapannya itu.

"Udah lo gak perlu mikirin gue," kata Rafi sambil mengusap rambut Qaila.

Setelah itu dia berlalu dari hadapan Qaila.

Qaila terdiam. Dia masih menetralkan detak jantungnya yang tidak beraturan. Dia bahkan seperti patung. Terdiam di tengah koridor.

Dia memegang kepalanya yang diusap oleh Rafi sekian menit yang lalu. Senyum terbit di bibirnya. Dia merasa senang mendapat perlakuan seperti itu.

Dengan langkah cepat dia melangkah menuju kelasnya. Dengan perasaan yang berbunga-bunga pastinya.

/*\

Halo semua ...

Komen dung, kesalahan atau pujian (ngarep) biar rame gitu lo ceritanya, hehe:D

Cerita ini belum sempurna tanpa adanya vote dan komen dari kalian ya:)

Limited Time ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang