12. Radit; Sepupu Ustadz Ramdan

405 26 0
                                    

Semalam kak Fariz meminta diriku untuk menemaninya lari pagi. Aku pun mengangguk mengiyakan. Karena aku sudah terbiasa menemani kak Zaki lari pagi setiap hari minggu pagi.

Selesai shalat subuh berjama'ah di masjid, aku langsung bersiap-siap. Setelah itu, aku keluar dari dalam kamar. Ibu sudah mengetahui kegiatanku dipagi ini. Kak Fariz sudah siap. Bahkan dia sudah menungguku di luar rumah sambil melakukan pemanasan sederhana sebelum memulai lari pagi.

Ini hari terakhirku menginap di rumah ustadz Ramdan. Kak Zaki semalam sudah memberitahu akan menjemputku nanti ba'dha maghrib.

Saat aku ingin membuka pintu rumah. Ustadz Ramdan keluar dari dalam kamarnya. Ku lihat penampilannya dari bawah hingga ke atas. Ustadz Ramdan memakai celana training panjang, memakai baju putih berlengan pendek, dan juga sepatu kets.

"Pak ustadz, mau lari pagi juga?" tanyaku.

Ustadz Ramdan berjalan melewatiku. Dia membuka pintu dan membiarkannya terbuka. Dia berjalan menghampiri kak Fariz tanpa menjawab pertanyaanku. Aku tidak mempermasalahkannya. Seharusnya aku sudah tahu. Kalau ustadz Ramdan berpenampilan seperti itu, tentu saja dia akan ikut lari pagi bersama kami.

Padahal semalam, saat kak Fariz mengajaknya, ustadz Ramdan menolak. Tapi, nyatanya ... Aku menggeleng-geleng heran. Ustadz Ramdan berubah pikiran.

"Rahma, ayo! Malah bengong!?" Kak Fariz melambaikan tangannya. Menyuruhku untuk segera menghampirinya. Sebelum itu, aku menutup pintu rumah kembali. Karena ibu sedang pergi ke pasar ditemani dengan ayah.

Aku berlari santai di samping kak Fariz. Sedangkan ustadz Ramdan berlari di belakang kami.

Aku, ustadz Ramdan, dan kak Fariz berlari melewati depan rumah ustadzah Arum. Saat aku melewatinya. Pas sekali ustadzah Arum keluar dari dalam rumahnya sambil membawa keranjang baju bersiap menjemur pakaian yang baru saja di cuci olehnya.

"Lari pagi, Fahri, Fariz, dan Rahma?" tanyanya menyapa kami bertiga.

"Iya, nih. Mau ikut?" Kak Fariz berhenti berlari. Dia berdiri di depan rumah ustadzah Arum. Mau tidak mau, aku dan ustadz Ramdan juga ikut berhenti.

Ustadzah Arum menggeleng sambil tersenyum. "Tidak untuk saat ini. Lain kali saja, Fariz," jawabnya.

Apa yang dikatakan ustadz Ramdan dua hari yang lalu benar. Ketika sedang berjalan berdua dengan Fariz. Ustadzah Arum akan mengenali keduanya. Bahkan tidak salah menyebut nama. Yang berarti, ustadzah Arum tidak sengaja salah menyebut nama.

"Kalau gitu, kami duluan." kata kak Fariz lagi.

"Iya, silakan."

Kak Fariz kembali melangkahkan kakinya berjalan. Aku dan ustadz Ramdan ikut melangkahkan kaki. Tidak melanjutkan dengan berlari.

"Rahma," panggil kak Fariz.

"Iya?"

"Mau tau, tidak?"

"Apa?"

"Saya suka dengan Arum. Tapi, sepertinya Arum tidak suka dengan saya," katanya.

"Kenapa begitu?"

"Sepertinya dia suka dengan saudara kembar saya. Setiap hari Arum memanggil Fahri dengan Fariz, saya yakin kalau Arum sukanya sama Fahri. Tapi, orang-orang mengira Arum suka dengan saya. Padahal tidak," jelasnya.

Aku menoleh ke belakang. Kearah ustadz Ramdan yang sedang diam sambil menyimak percakapan kami berdua. Aku kembali menatap kearah kak Fariz.

"Sepertinya, ustadz Ramdan tidak suka dengan ustadzah Arum," kataku.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang