23. Datang Melamar

397 24 0
                                    

"Rahma," suara abi memanggilku dari lantai bawah terdengar hingga kamarku.

Aku yang baru saja selesai melaksanakan shalat ashar, segera melepaskan mukena yang kupakai dan menaruhnya di atas tempat tidur tanpa melipatnya lagi. Aku segera keluar dari dalam kamarku menuju lantai bawah, menemui abi. Sepertinya ada sesuatu yang penting dari suara abi yang memanggilku. Aku sudah mengenakan kerudungku saat keluar dari kamar. Karena saat shalat tadi, aku sudah mengenakannya.

"Iya, abi?" Aku bertanya setelah menemui abi di bawah tangga. Kudengar suara ramai diruang tamu. Dan kumelihat ummi sedang membawakan nampan yang berisi banyak gelas minuman. Sepertinya tamu yang datang cukup banyak.

"Bara datang kerumah bersama kedua orang tuanya, beberapa saudara dekatnya, seorang ustadz, dan teman dekatnya. Dia ingin melamarmu. Sekarang ummi sedang menjamu para tamu. Nanti tolong kamu bawakan makanannya," kata abi. Aku terdiam sambil mencerna perkataan abi. Bara datang bersama kedua orang tuanya untuk melamarku.

Abi menepuk bahuku beberapa kali sebelum pergi ke ruang tamu. Aku masih melamun di tempat. Ini sudah lebih dari dua bulan yang berarti sudah lebih dari waktu yang diminta Bara saat itu. Karena waktu yang diminta Bara untuk membujuk kedua orang tuanya telah lewat, aku mengira Bara tidak jadi datang kerumah dengan niat baiknya. Kukira Bara telah gagal membujuk kedua orang tuanya dan menyerah begitu saja. Nyatanya, tidak.

Walau sudah tiga bulan berlalu dan UTS sudah selesai dilaksanakan. Bara datang menepati janjinya. Dia bertanggung jawab akan perkataannya saat itu. Berarti Bara benar-benar tulus mencintaiku dan tulus ingin menikahiku. Kak Zaki menepuk pundakku dari arah belakang. Akupun tersadar dari lamunan.

"Ada apa, sih? Kok, berisik banget?" tanyanya. Kak Zaki belum tahu perihal aku yang akan dilamar Bara. Aku lupa memberitahunya karena kupikir Bara tidak jadi melamarku. Aku pun mulai menceritakannya pada kak Zaki secara singkat.

"Ya udah, gue ke ruang tamu dulu. Gue mau tau calon suami buat adek gue kayak gimana. Kok, dia nggak minta izin dulu sama gue?" Setelah mengatakan itu, kak Zaki berlalu pergi ke ruang tamu. Aku menggigit bibir bawahku. Aku sekarang kebingungan.

Kulihat Hafidzah berlari kecil kearahku dari ruang tamu. Sepertinya ada pesan yang ingin di sampaikan olehnya. "Kak Lahma," panggilnya. Aku mensejajarkan tinggiku dengannya.

"Iya?"

"Kata ummi, tolong bawain makanannya ke luang tamu," katanya memberitahu. Aku mengangguk. "Iya," jawabku singkat sambil mencubit kedua pipi Hafidzah dengan gemas.

"Ya sudah, sana main." Hafidzah mengangguk saat aku menyuruhnya bermain. Dia berlari ke arah TV, karena mainannya ada di sana. Aku pun berdiri dan pergi ke dapur untuk membawakan makanan.

"Kapan ummi mempersiapkan ini semua?" gumamku. Aku pun menaruh beberapa piring makanan yang sebenarnya adalah kue-kue yang entah kapan ummi membelinya.

Saat aku datang ke ruang tamu. Semua pasang mata langsung menatap kearahku. Rasa gugup pun menjalar diseluruh tubuhku. Aku salah tingkah, bukan, lebih tepatnya tidak nyaman ketika ditatap begitu dengan intensnya. Di sana aku melihat Rafa dan Sifa. Rupanya Bara mengajak keduanya.

Aku meletakkan piring-piring makanan tersebut di atas meja. Dan mengambil nampannya. Saat aku ingin kembali ke dapur sambil membawa nampan, ummi menyuruhku duduk di dekatnya. Aku pun duduk di dekat ummi.

"Jadi, kedatangan kami sekeluarga berniat ingin melamar nak Rahma untuk putra bungsu kami. Bara Muhammad Alfarizi." ucap seorang laki-laki yang sebaya dengan abi. "Sebelumnya, perkenalkan, saya Doni ayahanda Bara. Dan di sebelah kanan Bara, dia istri saya."

"Oh iya, saya Widjaya. Bisa panggil Jaya. Ini istri saya, itu anak laki-laki saya yang pertama, dan di sebelah istri saya anak kedua saya. Anak perempuan yang saya sayangi. Dan yang masih kecil tadi itu anak bungsu kami." Abi mengenalkan keluarganya juga pada keluarga Bara.

"Selama tiga bulan terakhir ini, Bara selalu membujuk saya untuk datang ke rumah pak Jaya ini. Katanya, mau melamar putri pak Jaya dan ingin bertanggungjawab atas perkataannya. Saya awalnya bersikeras menolak, karena Bara baru saja masuk kuliah dan saya ingin dia fokus pada pelajarannya. Tapi, karena Bara tetap kekeuh ingin melamar Rahma. Saya pun menyerah. Saya pun memberinya sebuah syarat jika ingin melamar Rahma," ayah Bara menceritakan semua yang terjadi selama tiga bulan terakhir.

"Saya bingung dengan anak saya yang bungsu ini. Bara begitu berbeda dengan anak kedua saya. Anak kedua saya laki-laki, Bara juga punya kakak perempuan. Yang perempuan itu anak pertama kami, sudah menikah. Tapi, hari ini dia tidak bisa ikut datang. Jadi, hanya kakak laki-lakinya saja yang ikut. Dia ada di belakang bersama Rafa, teman sekelasnya Bara dan Rahma juga." Lanjutnya.

"Ya, anak laki-laki kadang memang suka begitu. Suka keras kepala dan teguh pada pendiriannya jika ada suatu hal yang diinginkan," sahut abi sambil tersenyum ramah.

"Iya, begitulah pak Jaya. Tapi, Bara ini benar-benar berbeda dari kakak-kakaknya. Oh iya, mengenai syarat yang saya berikan pada Bara. Bara berhasil memenuhi syarat tersebut. Bara belajar dengan giat dan rajin. Maka dari itu, saya mengizinkan Bara melamar nak Rahma. Tapi, Bara harus janji sama ayah akan selalu giat dan rajin belajar setelau melamar nak Rahma."

"Iya, ayah. Bara janji." kata Bara. "Bagaimana, Rahma? Apa kamu bersedia menerima lamaran aku dan melangsungkan pernikahan dengan diriku? Aku sudah datang dan bertanggung jawab akan janjiku," katanya padaku. Aku kikuk. Rasanya aku ingin lari dari kenyataanku yang sedang dilamar oleh seorang laki-laki yang baru kukenal selama tiga bulan.

Semua orang menatapku. Ingin tahu apa jawaban yang akan aku berikan. Mereka menanti jawabannya sekarang. Jawaban yang kuberikan sederhana. Hanya menjawab bersedia dan tidak. Tapi, rasanya begitu berat untuk mengucapkan satu kata tersebut. Walaupun hanya satu kata, tapi begitu bermakna bagi diriku dan semua orang yang ada di ruang tamuku sekarang.

"Tapi, apa kamu mencintaiku? Kamu datang melamarku apa atas nama cinta karena Allah atau hanya karena sebatas cinta?" Itulah kalimat yang keluar dari mulutku. Aku merutukinya, tapi aku haru mengetahui alasan Bara yang sangat begitu ingin melamarku.

"Atas nama cinta yang insya Allah, Allah akan meridhainya." jawab Bara. "Jadi, bagaimana? Bersediakah?"

Aku menarik nafas dalam-dalam, "Aku bersedia." Dalam satu helaan nafas aku menjawabnya tanpa berpikir panjang lagi.

"Alhamdulillah," semua orang berucap syukur, termasuk Bara. Seharusnya aku turut bahagia. Tapi, entah mengapa aku merasa takut dan akan menyesali keputusan yang aku ambil saat ini. Aku melihat kearah ummi, abi, dan kak Zaki secara bergantian. Apa aku telah mengambil keputusan yang salah? Aku bertanya dalam hati. Karena abi, ummi, dan kak Zaki hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang memberikan arti "tidak apa-apa" atau "berdo'a lah kepada Allah agar semua baik-baik saja".

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang