44. Penyesalan

651 29 0
                                    

Author pov.

Rahma dan Arum baru saja pulang kerumah dari taman. Mereka sampai dirumah pukul setengah dua belas siang. Sesampainya dirumah. Di depan teras, sudah terdapat sebuah koper. Koper itu milik Rahma yang seminggu lalu dia bawa untuk pergi dari rumah. Rahma dan Arum sama-sama terdiam sambil menatap koper itu dengan tanda tanya.

Tiga detik kemudian. Arum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sambil mengucapkan salam. Kebetulan pintu rumah juga sedang terbuka lebar. Sedangkan Rahma masih berdiri di teras sambil menatap kopernya. Tiba-tiba Rahma merasa takut. Dia sangat gelisah dan pikirannya pun melayang-layang memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi padanya hari ini.

Tidak lama kemudian, Ramdan keluar dari dalam rumah bersama Arum. Rahma menatap keduanya. Arum melihat kearah Rahma dengan tatapan sedih. Sedangkan Ramdan, ia menatap Rahma dengan tatapan marah.

"Ini, ke-kenapa koper Rahma ada di luar?" Rahma bertanya dengan tergagap dan sedikit berhati-hati.

"Kamu mau pergi, bukan? Pergi saja! Saya tidak akan melarang kamu lagi. Karena yang kamu mau selama ini adalah pergi dari hidup saya, bukan?" Ramdan berkata dengan nada marah.

"Fahri," Arum memanggil Ramdan, namun tidak dihiraukan oleh Ramdan.

Sebuah mobil terparkir di depan gerbang rumah. Sepuluh menit yang lalu, Ramdan memesan mobil melalui aplikasi. Laki-laki itu sengaja memesannya untuk Rahma. Untuk mengantar sang istri pulang kerumah uminya. Ramdan pun mengangkat koper milik Rahma dan membawanya kearah mobil yang terparkir di depan gerbang. Sopir keluar dari dalam mobil, mengambil alih koper dan memasukkannya ke dalam bagasi.

Rahma tidak bisa berkata apa-apa lagi. Yang bisa dilakukannya adalah menangis. Saat Ramdan mendekat kearahnya, Rahma segera menyeka air matanya yang turun dengan punggung tangannya. Arum berdiri di depan Rahma saat Ramdan sudah berdiri di hadapan Rahma.

"Jangan bawa Rahma pergi, Fahri. Jangan menyuruh Rahma pergi atau nanti kamu akan menyesal!" Arum memperingatinya. Tetapi, Ramdan tidak memedulikannya. Ramdan menarik lengan Rahma begitu saja tanpa berkata apa-apa. Arum menahannya.

"Jangan hentikan saya, Arum! Bukan saya yang menyuruh dia untuk pergi. Ini semua keinginan Rahma. Saya hanya menurutinya saja. Mengabulkan keinginan dia yang selama ini ingin pergi dari kehidupan saya!"

"Enggak, Fahri. Kamu salah! Kamu hanya salah paham. Bicarakan hal ini dengan baik-baik. Dengarkan baik-baik isi hati Rahma terlebih dulu." kata Arum membela Rahma.

"Apa lagi yang ingin dibicarakan, Rum? Saya sudah mengetahui isi hati Rahma. Saya sudah membaca surat dari Rahma yang dititipkan ke ibu."

"Surat?" Arum bingung. Lalu, dia melihat kearah Rahma. Rahma hanya bisa terdiam. Rahma bungkam. Karena Arum ataupun Rahma tidak ada yang berbicara lagi, Ramdan kembali menarik lengan Rahma. Ramdan membawa Rahma ke mobil yang sedang menunggu.

"Ada yang mau kamu sampaikan ke saya sebelum pergi?" Ramdan bertanya ketika sudah berada di dekat mobil.

"Semoga mas Ramdan bahagia selalu dengan bu Arum." Hanya itu yang Rahma sampaikan ke Ramdan. Karena semua yang ingin dikatakan sudah tersampaikan di dalam surat yang dititipkan ke ibu seminggu yang lalu. Setelah itu, Ramdan melepaskan genggamannya pada lengan Rahma. Kemudian, tanpa sepatah kata lagi, Rahma masuk ke dalam mobil dibagian penumpang yang belakang. Sopir sudah menunggu di dalam, dibagian pengemudi.

Rahma sudah masuk ke dalam. Tidak butuh lama, sopir membawa mobil yang terdapat Rahma--pergi. Menjauh dari Ramdan dan rumahnya. Lalu, Rahma menghampiri Ramdan yang masih berdiri di depan gerbang. Mobil sudah pergi jauh. Hampir tidak terlihat dari pandangan.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang