37. Pertemuan Dengan Bara

362 20 0
                                    

Pukul 02.00 WIB. Aku terbangun dari tidurku. Aku tidak menyangka kalau aku akan tertidur saat sedang membaca buku dengan earphone yang terpasang dikedua telinga. Aku segera melepaskan earphone yang kupakai. Sebenarnya, saat tidur tidak boleh menggunakan earphone ataupun headset. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tertidur begitu saja. Untungnya Allah masih melindungiku. Tidak terjadi sesuatu pada telinga dan pada diriku.

Aku membuka kunci pintu kamar. Aku ingin pergi kamar mandi untuk mencuci muka. Saat berada di dalam kamar mandi, aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Aku langsung terdiam dan anehnya, aku menahan nafas untuk sesaat. Aku takut yang keluar dari dalam kamarnya bu Arum itu adalah pak Ramdan. Aku bingung harus bersikap seperti apa saat menghadapi pak Ramdan nanti.

Ketukan pintu dari luar kamar mandi terdengar. Aku segera menyelesaikan aktivitasku di dalam kamar mandi. Tidak lama kemudian, aku membuka pintu kamar mandi. Benar saja, yang sedang berdiri di depan pintu adalah pak Ramdan. Aku terdiam untuk sesaat sebelum aku menghindari kontak mata dan kontak fisik dengan pak Ramdan. Mungkin pak Ramdan merasa aneh dengan sikap aku yang seperti ini, tapi aku tidak memedulikannya.

Aku mengambil minum. Sebelum minum, aku duduk dibangku dekat pantris.

"Rahma." Panggilan pak Ramdan membuat aku tersedak air putih yang sedang kuminum. Pasalnya aku sambil melamun. Tapi, entah mengapa suara pak Ramdan membuatku kaget. "Kamu baik-baik saja?" tanya pak Ramdan terdengar khawatir. Aku mengangguk sambil terbatuk-batuk.

"Minumlah secara perlahan," kata pak Ramdan. Aku meninum air putihku lagi. "Kamu ini, Rahma. Ada-ada saja. Kenapa bisa tersedak? Aku hanya memanggil." katanya sambil menertawaiku.

Aku menaruh gelasku di atas pantris. Baru saja aku meletakkannya. Pak Ramdan mengambil gelasku dan meminum air yang masih tersisa di gelas. Yang membuatku terkejut adalah ketika pak Ramdan meminumnya dibekas bibirku.

"Pak ... maksudku, mas Ramdan. Itu bekas aku minum. Apa ... tidak masalah?" tanyaku. Aku berdiri dari dudukku, berniat ingin mengambil gelas baru untuk pak Ramdan.

"Tidak apa, Rahma." katanya. "Kenapa matamu terlihat hitam seperti panda? Apa kamu semalam tidak tidur?" tanyanya.

"Tidur, kok." kataku sepenuhnya tidak berbohong. Aku tidak tahu berapa jam aku tertidur dan jam berapa aku mulai tertidur. Aku tidak tahu.

"Tidak hanya hitam. Tapi, juga bengkak. Kamu semalam begadang? Atau ...."

"Atau apa?" tanyaku tergagap. Tandanya aku mulai salah tingkah. Bukannya menjawab, pak Ramdan justru memelukku. Awalnya aku bingung, tapi akhirnya aku membalas pelukan pak Ramdan. Tanpa sadar, aku menangis di dalam pelukan pak Ramdan.

"Jika terlalu berat untuk dipendam. Kamu bisa menumpahkan segala keluh-kesahmu dan menangislah di dalam dekapan saya. Saya tidak akan melihatnya." Setelah mendengar perkataan pak Ramdan. Tangisku menjadi pecah. Aku menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan pak Ramdan. Sehingga aku pun terisak.

Pak Ramdan semakin membawaku ke dalam pelukannya. Dia menepuk-nepuk punggungku. Terasa hangat dan nyaman sekali berada di dalam dekapan pak Ramdan.

"Setelah ini, mari kita shalat tahajud. Lalu, aku akan menemani kamu tidur. Nanti aku bangunkan lima belas menit sebelum adzan subuh." bisiknya di dekat telingaku.

***

Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan lelaki yang sudah membatalkan pernikahan. Padahal tanggal pernikahan sudah ditetapkan dan semua persiapan pernikahan sudah disiapkan. Tetapi, karena kesalahan yang sebenarnya tidak aku lakukan, pernikahan dibatalkan secara sepihak. Mau tidak mau, aku harus menerima keputusan itu.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang