Aku melihat ada sebuah motor matic terparkir dihalaman depan rumah. Aku melangkah masuk ke dalam setelah membayar uang sesuai tarifnya ke tukang ojek online yang tadi kupesan. Karena hari ini kak Zaki tidak bisa datang menjemputku dikampus.
Aku terdiam mematung di depan pintu ketika melihat seseorang yang kukenal yang sudah lama sekali tidak berjumpa ada diruang tamu ditemani abi dan ummi.
Dia kembali. Laki-laki yang pernah menjadi guruku. Laki-laki yang pernah kusuka ... dulu. Atau mungkin sekarang juga masih. Tapi, karena aku sering menepis perasaan itu, aku lupa akan perasaanku terhadapnya. Aku lebih mementingkan cintaku kepada-Nya.
Iya, laki-laki itu bukan lain adalah pak Ramdan. Dia sedang bercengkerama dengan ummi dan abi yang ternyata sudah pulang kerja. Padahal ini masih sore, biasanya abi pulang nanti malam. Kak Zaki masih berada dikantornya, katanya lembur.
"Assalamu'alaikum," Aku memberi salam sambil melangkahkan kakiku masuk ke dalam. Aku berjalan melewati pak Ramdan. Menyalimi punggung tangan abi dan ummi bergantian.
"Wa'alaikum salam," jawab abi, ummi dan pak Ramdan bersamaan.
Bukannya aku ingin tidak ingin menyapa atau memberi salam ke pak Ramdan. Hanya saja, aku merasa canggung dan bingung harus mengatakan apa. Terlebih lagi, baru kemarin aku dilamar oleh Bara.
"Rahma, bisa kita bicara?" Aku yang baru saja pamit ingin masuk ke dalam, pak Ramdan ingin bicara denganku. Aku menatap abi dan ummi bergantian. Abi mengangguk.
"Kalau begitu, kami tinggal ke dalam ya, nak Ramdan?" kata abi sambil berdiri. "Ayo, ummi!" Ummi ikut berdiri. Mereka berdua pun masuk ke dalam. Aku bingung harus duduk atau tidak. Suasananya benar-benar membuatku tidak nyaman.
"Duduklah. Saya ingin bicara," kata pak Ramdan. Aku pun akhirnya duduk.
"Bapak, ingin membicarakan apa ya, sama saya?" tanyaku dengan hati-hati.
"Sebelumnya saya minta maaf. Sebenarnya saya waktu itu tidak jadi pergi ke Brunei. Karena saat saya ingin pergi ke Bandara, ibu tiba-tiba jatuh sakit. Saya pun membatalkan kepergian saya. Kemudian, saat ibu sudah benar-benar sehat, saya dapat kerjaan sebagai dosen di Semarang." kata pak Ramdan. "Saya juga sudah memberitahu ke abi dan ummi," tambahnya.
Aku mengangguk. "Jadi, selama ini pak Ramdan masih di Indonesia?" Dia mengangguk.
"Oh ya, Rahma,"
"Iya?"
"Selamat atas lamaranmu, ya?" Aku mengangguk. "Iya, makasih." kataku.
"Lalu, kapan kalian menikah?"
"Nanti, setelah uas," jawabku singkat. Dia mengangguk.
Aku memberanikan diri untuk menatap pak Ramdan. Aku melihat tatapan pak Ramdan begitu sendu. Sepertinya ada kesedihan yang sedang dia rasakan saat ini. Dan berusaha dia sembunyikan.
Dengan memberanikan diri, aku bertanya, "Ada apa? Apa ada masalah?"
Dia menggeleng. Tapi, tatapannya masih sendu. Atau memang pak Ramdan memiliki mata yang sendu. Sehingga tatapannya terlihat sendu, seperti sedang sedih. "Kalau ada masalah, bapak bisa cerita sama saya, kok." kataku. Dia menggeleng lagi.
"Saya harap kamu bisa fokus dengan pelajaranmu. Sebelum memikirkan pernikahan, pikirkanlah masa depanmu. Belajar yang rajin," katanya. Aku mengangguk.
Aku terdiam. Begitu juga dengan pak Ramdan. Suasana jadi hening. "Apa kabar pak Ramdan?" Seharusnya kalimat itu yang aku tanyakan pertama kali karena sudah lama tidak berjumpa. Dan aku ingin sekali menanyakan hubungan ustadzah Arum dengan kak Fariz. Dan aku juga ingin bertanya tentang hubungan pak Ramdan dengan ustadzah Arum. Apakah selama di Semarang mereka saling bertukar kabar.
Astaghfirullah.
"Pak, bagaimana kabar kak Fariz? Lalu, kabar Radit?" tanyaku.
"Mereka alhamdulillah kabarnya baik. Ibu, ayah, juga baik. Malah mereka menanyakan kabar kamu," katanya.
"Kabar saya alhamdulillah baik seperti yang pak Ramdan lihat," kataku sambil tersenyum.
"Nanti, jangan lupa kirim undangannya ke saya. Saya tunggu," katanya lagi. Aku mengangguk.
"Kalau gitu, saya pamit pulang." katanya sambil berdiri.
Aku ikut berdiri. "Biar aku panggil abi dan ummi dulu," kataku. Dan aku masuk ke dalam memanggil abi dan ummi. Memberitahunya kalau pak Ramdan akan pulang.
"Sudah mau pulang nak Ramdan?" Abi bertanya setelah berada di hadapan pak Ramdan. Ummi berdiri di belakang abi dan aku berdiri di samping ummi.
"Iya, om. Saya pulang dulu," katanya. Lalu, menyalimi punggung tangan abi dan ummi bergantian. "Assalamu'alaikum," ucapnya memberi salam.
"Wa'alaikum salam," jawab abi, ummi, dan aku.
Abi menyuruhku untuk mengantar pak Ramdan sampai depan rumah. Aku pun menurutinya. Aku berdiri di teras. Memerhatikan pak Ramdan yang naik ke atas motornya, lalu memakai helm-nya. Aku menunggu pak Ramdan sampai dia keluar dari gerbang. Setelah pak Ramdan pergi, barulah aku masuk ke dalam.
Pak Ramdan telah kembali. Kemungkinan dia akan mengajar ngaji lagi dirumah. Kemungkinan perasaanku terhadap pak Ramdan akan muncul kembali setelah sekian lama aku memendamnya. Dan pasti banyak kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan datang setelah pak Ramdan datang kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Espiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...