42. Menjadi Rumit

473 25 0
                                    

Tepat jam tujuh pagi. Aku sampai dirumah umi. Dari kejauhan, aku melihat abi keluar dari rumah bersama umi dan kak Zaki. Aku bisa melihat mereka karena pintu gerbang sedang terbuka lebar. Aku menyeberangi jalanan, menuju rumah.

Kak Zaki yang menyadari keberadaanku segera berlari kecil menghampiriku. Umi dan abi langsung menoleh kearahku karena kak Zaki berlari sambil memanggil namaku. Semua orang rumah kebingungan melihat kedatanganku yang sambil menyeret koper. Kak Zaki yang berada di hadapanku tidak bertanya apa-apa, dia mengambil alih koperku dan menuntunku berjalan ke umi dan abi yang sedang memandangiku.

Setelah aku berada di hadapan umi dan abi. Aku menyalimi punggung kedua orang tuaku bergantian. Mereka masih menatapku dengan tatapan bingung. Tentu saja mereka merasa bingung, terheran-heran karena aku datang sendiri sambil membawa koper.

"Kamu datang sendiri? Di mana Ramdan? Dia tidak mengantarmu? Kamu kabur dari rumah suamimu, Rahma?" Abi yang bertanya. Aku tertunduk dan menangis. Umi memelukku dan mengusap-usap punggungku supaya merasa lebih tenang.

"Jawab Rahma!" Abi meninggikan suaranya. Dari nada bicaranya, abi terdengar marah sekali. Tangisku semakin pecah di dalam pelukan umi.

"Abi," panggilan umi membuat abi terdiam. Diam dalam arti menenangkan abi supaya tidak marah-marah dipagi hari. Tetlebih lagi di depan rumah, takut para tetangga mendengar dan melihatnya. "Kita bisa membicarakan hal ini dengan baik-baik, bi. Jangan emosi."

"Baiklah. Ayo, kita bicarakan ini di dalam!" Abi berjalan duluan masuk ke dalam rumah.

"Ayo, nak." Umi merangkulku, menuntunku masuk ke dalam rumah. Kak Zaki mengikuti dari belakang sambil membawakan koperku. Kak Zaki menutup pintunya. Kami duduk diruang tamu.

Aku duduk di dekat umi. Umi sudah tidak merangkulku lagi. Tetapi, tanganku di genggam sama beliau. Abi menatapku dengan tatapan marah bercampur bingung. Beliau menunggu jawaban dariku atas pertanyaannya yang tadi sempat belum kujawab. Sedangkan kak Zaki duduk dibangku samping kanan abi.

"Kamu kabur dari rumah suamimu, Rahma?" Abi mengulang pertanyaannya lagi. Aku terdiam. Abi menghela nafas panjang. Beliau memijit batang hidungnya, lalu menatapku kembali. "Kalau kamu ada masalah dengan suamimu. Bicarakan dengan baik-baik. Jangan kabur seperti ini, nak. Tidak baik. Kamu tau kan, surga seorang istri ada di suami? Kamu mau menjadi istri yang durhaka?" Aku menggeleng.

"Abi dan umi tidak pernah mengajarkan kamu untuk kabur dari rumah suamimu sendiri. Kalau ada masalah, seberat apapun itu masalahnya, coba selesaikan dulu dengan baik-baik. Jika sudah tidak bisa, abi, umi, atau Zaki selalu ada untuk kamu. Sedia untuk membantu kamu. Asal kamu tidak kabur seperti ini, nak. Abi tidak melarang kamu kerumah, menginap atau tinggal dirumah. Asalkan, kamu izin dulu dengan suamimu." kata abi lagi. "Ada yang ingin kamu katakan kepada abi, Rahma? Jika ada, abi akan mendengarkan."

"Rahma ...." Aku pun menggeleng. Mengurungkan niatku untuk menceritakan apa yang sudah terjadi diantara aku dengan pak Ramdan.

"Kalau begitu, Zaki." Abi berbicara pada kak Zaki.

"Ya, abi?"

"Antarkan Rahma pulang setelah dia sarapan." Abi beranjak dari duduknya. Beliau pamit pergi bekerja. Kak Zaki pergi mengantar abi ke mobilnya.

"Sebenarnya kamu ada masalah apa, Rahma?" Umi bertanya ketika abi sudah benar-benar pergi. Kak Zaki pun sudah kembali.

Aku menggeleng. "Maaf, umi. Rahma tidak bisa menceritakannya. Maaf Rahma sudah membuat umi dan abi merasa khawatir. Maafkan Rahma, umi." kataku yang sudah menangis kembali. Umi membawaku ke dalam pelukannya lagi dan mengusap-usap punggungku.

"Kalau begitu, sebelum kamu pergi. Kita sarapan dulu, ya?" kata umi. Aku mengangguk. Aku mengusap air mataku. Aku sudah merasa lebih tenang. "Zaki, kamu enggak apa-apa telat ke kantornya?" tanya umi pada kak Zaki.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang