Semenjak pak Ramdan datang kembali. Aku lebih banyak melamun, itulah yang dikatakan oleh Yumna. Bicara soal Yumna, aku sudah menceritakan semua yang terjadi padaku semenjak masuk ke dunia perkuliahan. Awalnya Yumna sempat marah saat aku bercerita soal Bara yang melamarku. Yumna marah karena aku tidak memberitahunya sebelumnya. Tapi, setelah aku menjelaskan dengan penuh pengertian, Yumna memakluminya dan memaafkanku.
Bukan hanya Yumna saja yang mengatakan aku sering melamun. Tapi Sifa juga mengatakannya. Oh iya, sejak Bara melamarku. Laki-laki itu tidak lagi selalu mendekatiku. Bahkan duduk pun dia menjauh dariku, biasanya dia akan selalu duduk di dekatku. Entah dibangku yang ada di depanku, belakang, ataupun samping kanan-kiriku.
Sudah dua minggu pak Ramdan kembali mengajar ngaji dirumahku. Dulu aku mengaji hanya berdu dengan kak Zaki, tapi sekarang tidak lagi. Hafudzah ikut mengaji, bahkan ummi pun ikut. Jadi, kalau kak Zaki absen, masih ada Hafidzah dan ummi yang menemaniku. Mungkin maksud ummi baik untuk menjauhkan aku dan pak Ramdan dari fitnah, terlebih lagi dengan statusku yang sudah dilamar orang.
"Rahma, gimana kalo aku juga ikut ngaji dirumahmu?" usul Yumna. Sekarang ini aku sedang berada dikafe dekat kampus. Aku dan Yumna duduk saling berhadapan. Sudah lama sekali aku tidak bicara berdua dengan Yumna di kafe. Terakhir kali tiga minggu yang lalu, ketika aku menceritakan soal Bara dan pak Ramdan yang datang kembali.
"Tapi, apa pak Ramdan sudah tidak ngajar jadi dosen lagi di Semarang?"
Aku mengangkat bahu. "Tidak tahu. Aku tidak menanyakannya."
"Seharusnya kamu bertanya," kata Yumna seenaknya.
"Enggak mungkinlah. Aku enggak enak Yumna. Memang aku siapanya?" kataku. Lalu menyeruput minumanku.
"Ya kamu memang bukan siapa-siapanya. Tapi, apa salahnya? Kamu emangnya nggak penasaran?" tanya Yumna. Ya, sebenarnya aku memang sedikit penasaran. Mengapa pak Ramdan tidak pergi ke Semarang lagi dan mengajar di sana? Dan kenapa dia lebih memilih kembali ke Jakarta dan menjadi guru ngaji lagi?
"Ya sudah, intinya nanti kamu datang saja kalau tidak sibuk. Itupun kalau kamu sungguh-sungguh mau belajar ngaji," kataku. Yumna mengangguk. "Siap," katanya.
***
Pak Ramdan datang tepat jam empat sore. Ummi masih dikamar Fidzah, membangunkannya. Aku membawakan segelas minuman untuk pak Ramdan. Saat aku datang ke ruang tamu, dia sedang membaca Al-Qur'an. Sepertinya, dia sedang membaca arti dari sebuah surat Qur'an. Karena aku tidak mendengarnya membaca dengan suara.
"Pak, diminum dulu." kataku sambil menaruh gelas tersebut di atas meja. Di depannya.
"Assalamu'alaikum," suara seorang perempuan memberi salam. Aku dan pak Ramdan sama-sama menoleh sambil menjawab salam. Yumna datang, sesuai perkataannya.
"Lho, Yumna mau ikut ngaji juga?" Ummi yang baru saja datang bertanya. Yumna mengangguk, "iya,"
"Ya sudah, silakan. O iya, nak Ramdan. Fidzah tidak ikut ngaji dulu hari ini, Zaki juga sepertinya lembur lagi. Jadi, yang ngaji hari ini hanya Rahma dan Yumna," kata ummi lagi pada pak Ramdan. Pak Ramdan mengangguk. "Iya, tidak apa-apa, ummi." katanya.
Yumna pergi menghampiri ummi. Menyalimi punggung tangannya. Lalu, pergi kearahku. Duduk di sebelahku. Ummi permisi masuk ke dalam.
Aku sudah menyiapkan sebuah mushaf berukuran sedang, begitu juga dengan Yumna.
"Kita mulai dari Yumna dulu, ya?" kata pak Ramdan. Kami berdua mengangguk. "Yumna, karena baru jadi tolong baca surat Al-Fatihah kemudian Al-Baqarah. Dimulai dari ta'audz dulu,"
"A'udzu billahi mina syaithanirrajiim," Yumna pun mulai membaca surat Al-Fatihah.
Aku memerhatikan sekaligus mendengarkan Yumna membaca Al-Qur'an. Lalu, aku melihat kearah pak Ramdan yang sedang menyimaknya. Aku baru tahu pak Ramdan seorang hafidz. Dia sudah menghafal Al-Qur'an sebanyak dua puluh delapan juz, yang berarti tinggal dua juz lagi. Hampir sempurna.
Seandainya aku memiliki seorang suami yang pintar dalam bidang agama, pintar mengaji, penghafal Al-Qur'an, mungkin aku akan menjadi istri yang paling bahagia. Walaupun aku baru hafal satu juz, yaitu juz 30. Yang penting aku menghafalinya. Setidaknya nanti suamiku sudah menghafal hampir semua juz. Dan aku akan mencoba belajar darinya dan sama-sama menghafalkan Al-Qur'an. Seperti pak Ramdan. Di mana pak Ramdan sudah tampan, mapan, pintar dalam bidang agama, penghafal Al-Qur'an, pintar dalam ilmu pengetahuan, rajin ibadah, dan semuanya.
Meskipun pak Ramdan lebih tua dariku. Aku tidak masalah. Tapi, rasanya mustahil aku mendapatkan suami seperti pak Ramdan. Di mana diriku ini masih jauh dari kata shaleha. Terlebih lagi, sudah ada seseorang yang datang melamarku dan aku menerima lamaran tersebut.
Kupikir pak Ramdan tidak akn kembali lagi. Walaupun kembali, tidak sekarang. Tapi, nanti. Ketika baik pak Ramdan atau aku sudah berkeluarga. Mungkin rasa ini tidak akan pernah muncul. Rasa suka ini akan selamanya terpendam. Karena tahu kalau sudah sama-sama memiliki keluarga dan sudah bahagia dengan kehidupan masing-masing.
Astaghfirullah.
Ya Allah, tolong buang rasa ini. Karena ini dosa. Seharusnya aku tidak memiliki rasa suka ataupun rasa berharap lagi dengan pak Ramdan. Aku sebentar lagi akan menikah. Tidak baik jika aku memikirkan laki-laki lain, selain mahramku.
"Rahma," panggil pak Ramdan.
"Ya?"
"Sekarang giliranmu," katanya. Aku mengangguk. Aku memulainya dengan ta'audz, lalu basmalah.
***
Assalamu'alaikum.
Yuk, mari semua mampir di work aku yg satu ini.
Genre: Teenfiction
Terimaksih juga sudah membaca cerita Bersanding Denganmu sampai sejauh ini. Terimakasih atas apresiasinya :) Tolong selalu dukung karya-karyaku, ya!...
Kutunggu vote dan komennya dari kalian 😊
Wassalamu'alaikum wr.wb
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Duchowe"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...