Tiga hari sudah berlalu. Walaupun aku masih suka sedih dan diam-diam menangis, aku harus tetap tersenyum. Terutama di depan kedua orang tuaku. Aku tidak ingin menjadikan kesedihanku ini menjadi beban pikiran untuk kedua orang tuaku. Dan aku tidak ingin membuat kak Zaki yang selalu berusaha menghiburku selama tiga hari ini menjadi sia-sia.
Dengan mata yang masih agak sembab. Aku keluar dari dalam kamarku. Aktivitasku sudah kembali normal. Untung saja sedang libur semester, jadi aku tidak perlu melihat Bara lagi atau aku akan menangis lagi dan aku tidak ingin Bara melihat aku yang menangis. Aku tidak ingin laki-laki itu mengasihani diriku.
Sore hari ini seperti biasa, jadwal mengajiku bersama pak Ramdan. Dia sudah datang dan sudah menungguku diruang tamu bersama kak Zaki. Aku baru saja duduk, Yumna pun datang.
"Assalamu'alaikum," ucapnya memberi salam sambil melangkah masuk ke dalam. Aku tersenyum. Senang melihat Yumna yang menyempatkan dirinya datang kerumah untuk belajar mengaji bersamaku. Yumna pun duduk di dekatku.
"Wa'alaikum salam," jawabku, kak Zaki dan pak Ramdan bersamaan.
Kami pun bersama-sama membaca ta'audz dan basmalah yang dipimpin pak Ramdan. Kak Zaki yang terlebih dulu membaca Q.S Muhammad. Pak Ramdan menyimak bacaan kak Zaki, begitu juga denganku dan Yumna. Setelah menunggu lima belas menit, kini gilaranku yang membaca. Setelah aku selesai, kini giliran Yumna yang membaca. Karena Yumna baru, jadi dia masih membaca Q.S Al-Baqarah.
Empat puluh lima menit berlalu. Pak Ramdan menyudahinya dengan membaca shadaqallahul 'adziim. Aku, Yumna dan kak Zaki ikut membacanya, lalu mengusap wajah kami masing-masing.
"Oh iya, sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan dengan Rahma. Tapi, lebih baik saya mengatakan ini saat ada Yumna dan Zaki juga," kata pak Ramdan.
"Apa itu, pak?" Yumna yang bertanya. Suaranya terdengar penasaran. Ya, namanya juga Yumna. Dia orangnya memang seperti itu selalu penasaran, kepo.
"Sejujurnya, yang ingin saya bicarakan itu bukan hal yang penting. Hanya saja saya ingin cerita, curhat. Saya telah dijodohkan oleh orang tua saya dengan anak dari teman lamanya," jelas pak Ramdan.
"Selamat ya, pak." kata kak Zaki.
"Iya, terimakasih."
Yumna melirikku sebentar. Lalu, menatap kembali pak Ramdan. "Terus, pak?" katanya.
"Saya kenal dengan anak dari teman lama ayah saya. Waktu masih kecil, saya masih remaja, kami pernah bertetangga." lanjut pak Ramdan.
"Cantik nggak, pak?" Yumna lagi yang bertanya.
"Insya Allah, cantik parasnya dan cantik hatinya. Dia juga kenal dengan saya. Tapi, saya tidak tau apakah dia menyukai saya atau tidak. Yang pasti, saya sudah lama memendam rasa dengan dia. Mungkin dia tidak pernah tau kalau selama ini saya sudah menyukainya. Setiap saya selesai shalat, saya selalu menyelipkan namanya di dalam doa-doa saya."
"Cinta dalam diam ya, pak?" Aku yang bertanya. Ya, aku tidak tahu mengapa aku bisa mengatakan hal itu ke pak Ramdan. Karena keluar begitu saja dari mulutku.
Pak Ramdan mengangguk. "Bisa dikatakan seperti itu. Saya harap, Allah meridhai kami berdua untuk bersatu, untuk berjodoh sampai maut memisahkan kami berdua."
Entah mengapa saat pak Ramdan mengatakan hal itu dengan wajah berseri dan senyum yang mengembang, hatiku terasa sakit. Lebih sakit dibandingkan perkataan Bara pada tiga hari yang lalu. Aku pun terdiam. Tidak berkata-kata lagi. Aku yang merasa mataku memanas pun langsung menundukkan kepalaku dan pamit dari ruang tamu. Aku tidak ingin semua orang yang ada diruang tamu melihatku menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Tâm linh"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...