Kak Zaki benar-benar menitipkan aku ke ustadz Ramdan. Selesai belajar mengaji. Kak Zaki langsung pergi ke kamarku untuk menyiapkan beberapa baju dan hal lainnya yang akan dibutuhkan olehku saat menginap nanti, lalu memasukkannya ke dalam tasku. Sedangkan aku, aku menyiapkan buku-buku pelajaran yang akan aku butuhkan untuk tiga hari ke depan.
Tidak lama kemudian, adzan maghrib berkumandang. Ustadz Ramdan memutuskan berangkat ke rumahnya nanti selesai shalat maghrib berjamaah di masjid. Maka dari itu, ustadz Ramdan menyuruh aku dan kak Zaki bersiap-siap untuk pergi ke masjid.
Kami sudah selesai shalat maghrib berjama'ah di masjid. Selama perjalan pulang, aku memanyunkan bibir. Menatap kak Zaki tidak suka. Aku kesal dengannya. Dia sangat bersemangat sekali saat menyiapkan barang-barangku untuk pergi menginap. Aku merasa seperti diusir dari rumahku sendiri.
Hanya tiga hari.
Itulah yang selalu ditekankan Kak Zaki. Awas saja jika melebihi waktu tiga hari dan dia tidak datang menjemput aku di rumah ustadz Ramdan. Akan aku laporkan pada abi dan ummi.
"Kak Zaki benar kan, mau jemput aku kalau sudah tiga hari?" tanyaku yang kesekian kalinya.
"Iya, dek. Nanti kak Zaki jemput kamu. Jangan khawatir," jawabnya.
"Kalau di hari ketiga kak Zaki nggak datang, aku bilangin ke abi, lho!?" ancamku.
"Iya, iya."
Kami sudah sampai di rumah. Kak Zaki langsung pergi ke kamarku untuk mengambil tas ranselku dan tas tenteng yang berisi buku pelajaran. Kak Zaki meninggalkan aku dengan ustadz Ramdan berdua di depan pintu rumah dengan suasana sedikit canggung.
"Tapi Rahma, saya bawa motor. Kamu tidak masalah?"
"Seharusnya ustadz Ramdan berbohong saja sama kak Zaki kalau tidak diizinkan oleh orang rumah," kataku yang menghiraukan pertanyaannya.
"Berbohong itu dosa, Rahma. Kamu tau itu, kan?" Tentu saja aku tahu. Aku pun memilih diam sambil menunggu kak Zaki datang.
"Mau berangkat sekarang?" tanya kak Zaki yang baru saja datang dengan kedua tangannya yang menenteng tas tenteng dan tas ransel milikku. Aku mengambil alih tas-tasku dari tangan kak Zaki.
"Kalau dilihat-lihat. Kalian tampak serasi. Kayak suami-istri," seloroh kak Zaki. Aku langsung mendelik. Aku tidak menyangka kak Zaki akan mengatakan hal itu.
Aku melihat ke arah ustadz Ramdan sambil menyengir canggung. "Ustadz Ramdan, jangan dengerin apa yang dikatakan kak Zaki barusan. Abaikan saja omongannya. Dia memang suka begitu, nggak jelas." Aku menyikut tepat ditulang rusuk kak Zaki. Kak Zaki meringis, tapi tidak aku pedulikan.
"Hati-hati di jalan, ya, Rahma. Jangan ngerepotin keluarganya ustadz Ramdan," kata kak Zaki.
"Assalamu'alaikum." ustadz Ramdan memberi salam dan berjalan duluan menuju teras rumah.
"Assalamu'alaikum." Aku menyusul ustadz Ramdan.
"Wa'alaikum salam," jawab kak Zaki. Dia masih berdiri di depan pintu. Memperhatikan aku dan ustadz Ramdan yang masih berada di teras rumah.
Aku naik ke atas motor ustadz Ramdan, duduk di boncengannya. Aku menaruh tas yang berisi buku di depan dadaku sebagai pembatas jarak antara ustadz Ramdan denganku. Setelah aku siap, ustadz Ramdan melajukan motornya. Keluar dari halaman rumahku menuju jalanan.
***
Rumah ustadz Ramdan tidak memiliki lantai dua seperti rumah abi. Hanya satu lantai, yaitu lantai dasar. Bentuk rumah ustadz Ramdan juga sederhana, tapi ukuran rumahnya luas dan juga lebar seperti rumah abi. Saat aku dan ustadz Ramdan baru saja tiba, seorang wanita baya sedang duduk di bangku teras rumah. Aku meyakini itu adalah ibunya ustadz Ramdan.
Benar saja. Saat aku dan ustadz Ramdan berjalan beriringan menghampiri wanita baya itu, wanita baya tersebut langsung berdiri menyambut kami. Aku menyaliminya, lalu wanita baya itu langsung membawaku ke dalam pelukannya. Pelukan hangat seorang ibu.
"Duh, Rahma. Kamu sudah tumbuh besar dan cantik," katanya ramah. Aku tersenyum kikuk. "Dari kecil hingga remaja masih sama. Sama-sama cantik," katanya lagi. "Dulu, kita pernah jadi tetangga." jelasnya. Aku mengangguk.
"Ibu, mengobrolnya nanti saja di dalam. Kasihan Rahmanya," kata ustadz Ramdan.
Ibunya ustadz Ramdan mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Kemudian ibunya ustadz Ramdan langsung mengajakku ke kamar tamu. Ibunya ustadz Ramdan benar-benar menyambut aku dengan hangat dan sudah menganggap diriku sebagai keluarga.
"Kamu sudah shalat isya?" tanya ibu.
Aku mengangguk. "Tadi, sebelu ke mari, ustadz Ramdan sempat mengajak mampir ke masjid untuk shalat isya," jawabku.
Ibunya ustadz Ramdan mengangguk. "Rahma, panggil saja ibu, jangan ibunya ustadz Ramdan, ya?" Aku sempat tertegun mendengarnya. "Kamu sudah makan?"
"Belum bu," jawabku sedikit canggung.
Ibu tersenyum. "Tidak apa-apa kalau belum. Kebetulan kami akan makan malam, jadi kita bisa makan bersama," katanya. Kami berdua keluar dari dalam kamar bersama-sama menuju ruang makan yang di mana di atas meja sudah ada beberapa piring lauk-pauk dan juga nasi.
Ibu mempersilakan aku untuk duduk di dekatnya. Aku melihat sebuah figura berukuran besar dipajang di ruang makan. Tepat dihadapanku. Aku melihat ibu dan suaminya sedang tersenyum dengan semringah. Begitu juga dengan anak-anaknya dan seorang anak kecil. Foto tersebut merupakan foto keluarga besar ustadz Ramdan.
"Yang perempuan itu, anak ibu yang pertama. Nah, yang wajahnya mirip dengan Ramdan itu saudara kembarnya. Namanya, Fariz. Lalu, anak kecil itu, cucu ibu." katanya memberitahu sambil terkekeh.
Aku kembali melihat ke arah figura dan melihat ke arah laki-laki yang berdiri di sebelah kanan, dekat ayahnya ustadz Ramdan. Wajah laki-laki itu memang mirip sekali. Tadi aku hanya melihat sekilas laki-laki yang wajahnya mirip dengan ustadz Ramdan di dalam foto tersebut.
"Jadi, itu saudara kembar pak ustadz Ramdan?" Aku bertanya untuk memastikan. Ibu mengangguk. "Sebentar lagi Fariz akan pulang dari kantornya. Jadi kamu bisa bertemu dengannya."
"Lalu, anak ibu yang pertama?"
"Ikut dengan suaminya. Kadang suka menginap di sini. Tapi, hari ini lagi tidak. Itu, suaminya." Ibu menunjuk ke arah laki-laki yang sedang merangkul anak perempuannya dengan penuh kasih sayang.
Tidak lama kemudian ustadz Ramdan datang ke ruang makan. Dia sudah berganti pakaian dengan baju santai, tetapi tetap sopan karena sedang ada aku di rumahnya. Dia duduk dibangku yang berseberangan dengan ibu.
"Ibu terlihat dekat sekali dengan Rahma," ucap ustadz Ramdan.
"Tentu saja. Nak Rahma itu selain baik, juga cantik." jawab ibu. "Kamu masih ingat tidak, sewaktu kecil, kamu dan Fariz sering bermain dengan Rahma dan Zaki?" tanya ibu pada ustadz Ramdan.
"Masih ingatlah, bu. Dulu kan, usiaku sudah lima belas tahun. Mungkin Rahma yang tidak mengingatnya karena dia dulu masih terlalu kecil," jelas ustadz Ramdan. "Kamu tau, Rahma? Kalau dulu itu kamu sangat cengeng," kata ustadz Ramdan padaku.
"Masa, sih?" tanyaku tidak percaya.
"Bagaimana Rahma tidak cengeng, kalau dulu kamu, Fariz, dan Zaki sering menjahilinya. Bukannya menjaga malah menjahili," kata Ibu sembari menggeleng-geleng heran. Aku tersenyum. Entah mengapa aku merasa senang karena ibu membelaku. Hehe.
***
Telah di revisi
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Espiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...