Setelah satu minggu berada dirumah ibu dan ayah. Pak Ramdan dan aku pamit pulang kerumah. Bu Arum juga ikut pamit pulang kerumah kami. Selama satu minggu ini, kami sekeluarga berdiskusi mengenai bu Arum yang harus tinggal bersama kami. Butuh beberapa pertimbangan untuk merelakan bu Arum ikut tinggal dirumah yang aku huni bersama pak Ramdan.
Pak Ramdan memesan mobil sewa melalui salah satu aplikasi di smartphone-nya. Karena pak Ramdan tidak memiliki mobil, jadi pak Ramdan harus memesannya dulu diaplikasi. Setelah mobil itu sampai di depan rumah ibu. Pak Ramdan memasukkan barang-barang bu Arum ke dalam bagasi. Sesudahnya, kami benar-benar pamit pada ibu dan ayah. Kemudian, kami bertiga masuk ke dalam mobil.
Selama di perjalanan. Aku yang duduk bersebelahan dengan bu Arum, hanya bisa terdiam. Begitu juga dengan bu Arum dan pak Ramdan. Tidak ada yang bisa kami katakan untuk saat ini. Sesekali pak Ramdan menimpali sopir yang mengajaknya berbicara. Mungkin pak sopir merasakan sesak akibat suasana canggung yang kami bertiga sebabkan.
Kami bertiga akhirnya sampai di tempat tujuan. Saat pak Ramdan sedang membayar, bu Arum mengeluarkan barang-barangnya dari bagasi. Aku yang awalnya tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya memutuskan untuk membantu bu Arum membawa barangnya masuk ke dalam rumah. Aku membuka kunci pintu rumah. Kebetulan kunci rumah, aku dan pak Ramdan saling memilikinya satu sama lain. Kata pak Ramdan, untuk berjaga-jaga. Takutnya aku sudah pulang kuliah sedangkan pak Ramdan belum pulang mengajar, aku bisa langsung masuk ke dalam rumah tanpa harus menunggu pak Ramdan pulang membuka kunci pintu rumah.
Kami sudah berada di dalam rumah. "Bu Arum bisa tidur di kamar yang ini," kataku sambil memandu bu Arum menuju kamar yang kosong.
"Yang di sebelahnya, itu kamar kalian?" tanya bu Arum.
"Kalau kamu ada perlu sesuatu, panggil saya atau Rahma saja." ucap pak Ramdan sambil menutup pintu. Bu Arum mengangguk.
Situasinya membuat aku semakin canggung ketika bu Arum bertanya tentang kamar kami berdua. Aku dan pak Ramdan. Lagipula, mengapa bu Arum harus bertanya seperti itu? Memangnya tidak ada pertanyaan selain itu? Sudah tahu kami tinggal berdua sebagai pasangan suami istri. Bukankah sudah jelas?
"Oh iya, Fahri." kata bu Arum. Dia berhenti di depan pintu kamarnya.
"Ada apa?"
"Boleh tidak, mulai hari ini dan seterusnya aku yang mengurus urusan dapur? Seperti memasak, mencuci piring, menyiapkan bahan makanan, dan sebagainya?" tanyanya pada pak Ramdan. "Dan Rahma nanti yang akan mengurus sisanya."
"Seperti?" tanyaku.
"Mencuci baju, mengurus pekerjaan rumah, dan lain-lainnya."
Aku bingung dengan pemikiran bu Arum. Sejak kapan dia memikirkan hal itu? Selama satu minggu dirumah ibu, bu Arum tidak pernah mengatakan hal apapun. Bahkan tidak membicarakannya kepadaku.
"Rahma tidak bisa melakukan semua hal itu. Dia harus kuliah dan belajar," kata pak Ramdan.
"Fahri. Aku akan mencuci pakaianku sendiri. Aku akan mengurus diriku sendiri. Kecuali dapur. Di dapur, aku akan memasak. Aku akan mengurus kalian berdua juga. Bagaimana?"
"Jangan bertanya pada saya. Tanyakan pada Rahma." kata pak Ramdan. "Kamu setuju, Rahma?" tanyanya padaku. Aku kebingungan sendiri. Setelah memikirkannya, aku mengangguk setuju. Setidaknya saat aku sedang sibuk dengan tugas kuliah, ada bu Arum yang bisa membantuku mengerjakan pekerjaan rumah.
Semua ini baru dimulai. Entah ada drama atau kisah apa lagi yang akan diciptakan oleh bu Arum dikehidupan rumah tanggaku dengan pak Ramdan. Dengan membantuku mengurus pekerjaan rumah, entah apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Percayalah, tidak ada istilah 'jahat' untuk istri pertama dan istri kedua. Yang ada hanyalah sebuah kecemburuan sehingga membuat diantara kedua istri menjadi tidaklah akur. Di situlah peran si suami untuk berbuat adil kepada kedua istrinya.
***
Selesai makan malam bersama. Aku langsung pergi ke dalam kamar dan membiarkan piring yang kotor dicuci bu Arum. Itu sudah menjadi tugasnya mulai hari ini. Beberapa menit kemudian, pak Ramdan menyusulku ke dalam kamar. Dia duduk di atas kasur, di dekatku. Kami saling terdiam.
Tiba-tiba pak Ramdan meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku sempat terkejut, di detik berikutnya aku bersikap biasa saja. Sebenarnya sejak pak Ramdan masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Jantungku sudah berdegup kencang dan sekarang jantungku tambah berdegup kencang ketika pak Ramdan menggenggam tanganku. Selalu seperti itu. Aku selalu merasa berdebar-debar saat bersama pak Ramdan. Aku merasakan oksigen disekitarku telah habis.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya. Mungkin pak Ramdan merasa heran melihatku yang lebih banyak terdiam dibandingkan sebelumnya.
Aku menggeleng. Lalu, aku melihat kearah jari tangan pak Ramdan yang terpasang sebuah cincin. Pak Ramdan masih menggunakan cincin pernikahannya dengan bu Arum. Aku tersenyum getir. "Cincinnya ... bagus." kataku. Ini kali pertamanya aku melihat cincin pernikahan pak Ramdan dengan bu Arum dari dekat. Dan ini kali pertamanya aku membahas perihal cincin.
"Astaghfirullah," ucapnya. Dia segera melepaskan cincin yang terpasang di salah satu jarinya. Aku tidak melarangnya. Aku membiarkan apa yang dilakukan pak Ramdan. Bukannya aku egois, hanya saja ... dadaku terasa sesak dan sakit ketika melihatnya. Jadi, aku tidak melarang pak Ramdan untuk melepaskan cincinnya.
"Rahma, saya minta maaf. Saya tidak bermaksud ...."
"Tidak apa, pak." Aku memotong ucapan pak Ramdan. Aku memaksakan untuk tersenyum, walau berat. "Pak Ramdan bisa memakai kedua cincin itu."
"Saya akan memakai cincin dari Arum dijari kelingking. Sedangkan cincin dari kamu di jari manis. Apa tidak masalah?" tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum simpul. "Setelah ba'dha isya. Saya akan ke kamar Arum. Apa kamu merasa tidak keberatan?"
"Jika Rahma mengatakan keberatan. Apa pak Ramdan tidak akan pergi ke kamar bu Arum?"
"Tentu."
"Tapi Rahma tidak boleh egois, bukan? Jika Rahma melarangnya, Rahma akan terlihat egois. Rahma tidak ingin terlihat egois dan kekanak-kanakan dimata bu Arum, juga pak Ramdan." Walaupun rasanya sangat menyakitkan ... lanjutku di dalam hati.
"Baiklah. Nanti saya akan shalat di mushallah dekat rumah. Kamu dan Arum shalatlah berjama'ah." kata pak Ramdan. Aku hanya mengangguk.
***
Aku yang sudah berada di dalam kamar mendengar suara bu Arum menyambut kepulangan pak Ramdan dari mushallah. Aku sengaja masuk ke dalam kamar lebih dulu saat sudah selesai shalat isya berjama'ah dengan bu Arum, sesuai amanah dari pak Ramdan. Aku tidak ingin melihat mereka berdua masuk ke dalam kamar yang satunya. Kamar yang terkadang kosong, terkadang aku tidur di sana. Dan sekarang sudah menjadi kamarnya bu Arum.
"Rahma," panggil pak Ramdan dari luar kamar sambil berusaha membuka pintu yang sudah aku kunci dari dalam. Aku tidak menyahuti panggilan pak Ramdan. "Kamu sudah tidur?" tanyanya. Aku tidak menjawab. Aku terdiam.
"Selesai shalat tadi, Rahma bilang kalau dia sudah mengantuk. Jadi dia langsung masuk ke dalam kamar. Mungkin sudah tertidur." kata bu Arum. Aku merasa yakin pak Ramdan tidak langsung percaya. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin melihat atau mendengar apapun. Tetapi, sayang sekali kamar kami bersebelahan.
Aku memasangkan earphone dikedua telingaku. Setelah pak Ramdan dan bu Arum sudah tidak lagi bersuara di luar kamar, aku langsung menaikkan volume suara murotal yang aku dengar melalui earphone. Aku tidak bisa tidur. Aku lebih memilih membaca buku sambil mendengarkan murotal.
***
Note: silakan baca BAB 32, 33 & 34 terlebih dulu. Terimakasih atas apresiasi dan antusias kalian terhadap cerita Bersanding Denganmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Spiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...