Ini kali keempat aku mengikuti kegiatan mengaji yang diadakan di sekolah. Sudah satu minggu juga aku berhijab. Tetapi, hari ini aku mengajinya sendirian. Karena jadwal kegiatannya bentrok dengan jadwal Yumna belajar tambahan fisika untuk lomba.
Setelah ustadz Ramdan meminta bantuan pada aku, Yumna, dan Radit untuk mengajar di TPA dan juga asrama. Ustadz Ramdan belum mengatakan kapan kegiatan mengajar tersebut akan dimulai. Belum ada kepastian darinya.
Selesai mengajarkan tahsin. Ustadz Ramdan meminta Radit untuk menutup pengajian. Dengan bacaan hamdalah dan doa penutup, pengajian selesai dan dibubarkan. Akhwat terlebih dulu keluar dari dalam aula. Aku mengambil sepatuku dan duduk di bangku panjang yang berada tidak jauh dari pintu aula.
Aku melihat Radit sedang mengambil sepatunya dan berjalan mendekat ke arahku. Dia ikut duduk di bangku panjang. Jarak duduk antara kami berdua cukup jauh. Aku hanya melirik sebentar, lalu memakai sepatuku yang sebelah kanan.
"Yumna, bagaimana dengan dia? Apa dia harus belajar tambahan setiap tiga kali dalam seminggu?" Radit bertanya. Aku menatap Radit, tapi tidak benar-benar menatap wajahnya.
"Maaf? Lo nanya sama gue?" tanyaku sambil menunjuk ke arahku sendiri.
Radit mengangguk. "Iya, saya nanya sama kamu. Kan, cuma ada kamu yang masih ada di sini," jawabnya. Aku melihat sekeliling. Benar saja, tinggal aku sendiri seorang akhwat yang masih berada di depan ruang aula sekolah. Sedangkan yang lain sudah meninggalkan aula.
Aku mengangguk. "Ya, memang begitu. Aneh, bukan? Padahal lombanya masih lama, tapi persiapannya sudah dari sekarang," kataku sambil menggeleng-geleng heran.
Ehem.
Deheman seseorang membuat aku dan Radit menoleh ke sumber suara. Di samping bangku tempat Radit duduk, sudah ada ustadz Ramdan sedang berdiri sambil melihat ke arah kami berdua secara bergantian.
"Kalian tau, bukan? Kalau seorang laki-laki dan perempuan berduaan, yang ketiganya adalah syaithan?" katanya. Aku melirik Radit, lalu melihat ke arah ustadz Ramdan lagi.
"Iya, pak. Saya tau," jawabku datar.
"Dan satu lagi. Mengapa kamu pakai jilbab seperti itu?" katanya membuat aku maupun Radit bingung. Aku bertanya pada Radit melalui isyarat.
"Itu, lho, Rahma. Ada terowongannya sehingga rambut kamu masih terlihat." Radit menjelaskan. Lalu, dia bertanya, "Kamu tidak memakai ciput hari ini?"
Aku nyengir karena malu. "Tadi gue udah cari, eh, nggak ketemu. Jadinya, gue enggak pakai, deh," jawabku jujur.
"Adapun perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah yang di dunia tidak menutup rambutnya hingga dapat dilihat oleh yang bukan mahramnya. Hadist riwayat Bukhari & Muslim," kata ustadz Ramdan.
"Maaf, pak. Bukankah tadi saya sudah mengatakan, kalau saya tidak menemukan ciput atau dalaman kerudung yang biasa saya pakai. Karena tidak ketemu, dan saya takut terlambat, maka saya tidak memakainya," kataku membela diriku sendiri. Tidak mau disalahkan sepenuhnya.
Setelah itu, aku beranjak dari dudukku. Aku pergi dari aula meninggalkan Radit berdua dengan ustadz Ramdan. Aku akan lebih merasa tidak nyaman bila berlama-lama di sana. Karena hanya aku sendiri yang perempuan. Jika ada Yumna, mungkin tidak akan menjadi masalah.
***
Aku sedang beli nasi goreng di dekat rumah. Lalu, aku melihat mobil abi masuk ke dalam perkarangan rumah. Tidak lama kemudian, sebuah motor dari belakang mengikuti mobil abi. Aku mengernyitkan dahi, karena aku merasa sedikit familiar dengan motor itu dan juga postur tubuh pengendaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Spiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...