35. Mungkinkah Badai Telah Berlalu?

425 19 0
                                    

Sesampainya aku dipemakaman, aku melihat bu Arum sedang menangis terisak di samping kuburan kak Fariz. Dari kejauhan, aku juga bisa melihat pak Ramdan menangis dalam diam di samping kuburannya kak Fariz, di dekat bu Arum. Kak Zaki merangkulku dan mengusap-usap lenganku.

Kak Zaki menuntunku berjalan kearah abi dan umi berdiri. Hafidzah sengaja tidak diajak. Adikku, aku titipkan dengan tetangga yang ada di samping rumah abi. Yang sudah biasa menjaga Hafidzah.

Kedatanganku membuat keluarga pak Ramdan yang sedang berkabung--langsung menoleh kearahku dan kak Zaki. Kedatanganku bisa dikatakan terlambat atau disengaja. Tapi percayalah, aku tidak bermaksud begitu. Aku butuh waktu untuk menguatkan diriku supaya tidak menangis, supaya aku bisa membuat pak Ramdan kuat. Bila aku menangis di depan pak Ramdan seperti sebelum-sebelumnya, bisa-bisa pak Ramdan semakin hancur perasaannya. Aku tidak ingin hal itu terjadi.

Aku mencium punggung tangan ibu dan aku langsung memeluknya. Ibu membalas pelukanku. Aku sangat bersyukur ibu tidak marah denganku, begitu juga dengan ayah. Mereka berdua malah memberiku pelukan yang hangat dan erat. Bahkan mereka sampai meminta maaf kepadaku atas kejadian hari ini.

Saat mertuaku meminta maaf kepadaku, entah mengapa malah membuatku jadi sedih. Mungkin itu karena mereka tidak bersalah. Apa yang telah terjadi hari ini, bukanlah kesalahan mereka. Melainkan takdir yang sudah diberikan oleh Allah kepadaku.

"Temani suamimu, nak. Dia sangat membutuhkan dirimu," bisik ibu. Tadi, umi juga sudah mengatakan hal yang serupa dengan ibu. Aku mengangguk mematuhinya. Aku berdiri di samping pak Ramdan sambil memegang pundaknya. Pak Ramdan langsung menggenggam tanganku. Aku pun ikut berjongkok di sampingnya.

"Terimakasih sudah datang," katanya dengan suara pelan.

***

Waktu berlalu begitu cepat. Kemarin adalah hari di mana penuh kesedihan. Di mulai dari kecelakaan yang terjadi pada kak Fariz, pernikahan kedua pak Ramdan dengan bu Arum, hingga akhirnya kak Fariz yang meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya.

Kedua orang tuaku dan kak Zaki sudah pulang tadi malam. Mereka tidak menginap karena teringat Hafidzah yang dititipkan dengan tetangga.

Pagi ini akan menjadi awal hari-hariku yang baru bersama pak Ramdan dan bu Arum. Pagi ini juga akan menjadi saksi bisu atas kehidupan rumah tanggaku yang baru. Kehidupan rumah tangga yang biasa diisi oleh satu istri, satu suami, dan beberapa anak. Kehidupan rumah tanggaku akan diisi oleh dua istri dan satu suami.

Aku, pak Ramdan dan bu Arum masih tinggal dirumah ibu. Tiga hari kemudian, kami bertiga akan pindah kerumah yang dibeli pak Ramdan. Rumah yang sudah sebelas bulan menjadi rumahku juga.

Selesai shalat subuh. Aku dan pak Ramdan masuk ke dalam kamarnya pak Ramdan. Sedangkan bu Arum, dia berada di dalam kamarnya kak Fariz seorang diri. "Lebih baik pak Ramdan menemani Bu Arum. Dia lebih membutuhkan pak Ramdan dibanding aku," kataku.

"Tapi, yang saya butuhkan adalah kamu Rahma." kata pak Ramdan.

"Bu Arum sedang merasa kehilangan. Dia sudah kehilangan kak Fariz, orang yang dia sayang. Yang dia punya sekarang adalah suaminya. Yaitu pak Ramdan," kataku dengan tegas.

"Apa kamu tidak membutuhkan saya sebagai suami kamu?" Pertanyaan yang diberikan pak Ramdan sebenarnya cukup membuatku terjebak. Aku ingin sekali egois, tapi bu Arum lebih membutuhkan pak Ramdan dibandingkan aku.

"Bagaimana pak Ramdan bisa mengatakan hal sekejam itu padaku?" Aku balik bertanya. "Bu Arum lebih membutuhkan pak Ramdan dibandingkan aku sekarang."

"Baiklah, jika itu mau kamu." Pak Ramdan beranjak dari duduknya dan berjalan kearah pintu kamar. Dia benar-benar pergi menemui bu Arum dikamar kak Fariz.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang