Saat temanku memberitahu bahwa aku sudah ada yang menjemput, aku pikir, yang datang menjemputku pulang kuliah adalah pak Ramdan. Ternyata, bukan. Yang menjemputku adalah kak Fariz, iparku. Aku terkejut bukan main karena aku tidak pernah menduganya. Secara tiba-tiba dan untuk pertama kalinya, kak Fariz datang ke kampusku selain suamiku sendiri. Bahkan kedua orang tuaku belum pernah datang, mereka datang ketika aku wisuda nanti.
Aku tidak banyak bertanya saat kak Fariz membawaku ke sebuah kafe yang tidak jauh dari lokasi rumah kedua orang tuanya kak Fariz, yang telah menjadi mertuaku. Aku duduk dengan tenang. Bahkan minuman dan makanan yang memilih dan memesan adalah kak Fariz. Bagaimana tidak? Karena jawabanku selalu terserah. Kak Fariz bingung dan akhirnya menyamakan pesananku dengan pesanannya.
Pelayan yang sudah selesai mencatat pesananku, dia pergi menyampaikan pesanan kami ke dapur. Lalu, aku melihat kearah jalanan yang di mana terdapat mobil dan motor berlalu-lalang. Kami duduk di luar kafe, bukan di dalam.
"Bagaimana kabar Fahri?" Kak Fariz memulai pembicaraan setelah sedari tadi lebih banyak diam.
"Pak Ramdan ...." Aku langsung menutup mulutku. Kak Fariz menertawakannya. Aku tersenyum malu. "Mas Ramdan, alhamdulillah kabarnya baik."
"Kenapa masih kaku? Sudah hampir satu tahun lho, Rahma." Kak Fariz meledekku. Aku menggaruk pelipisku yang tak gatal. Aku saja tidak mengerti mengapa aku masih kaku untuk memanggil pak Ramdan menjadi mas Ramdan.
"Dalam waktu dekat, gue akan menikah dengan Arum." Kak Fariz mengganti topik pembicaraan.
"Akhirnya ya, kak? Lalu, apa bu Arum masih salah mengira kalau kak Fariz itu pak Ramdan?"
Kak Fariz menggeleng. "Sudah enggak. Gue sangat bersyukur Arum mau menikah dengan gue dan akhirnya Arum mengenali gue sebagai Fariz yang sesungguhnya," kata kak Fariz dengan senyum bahagianya. Aku ikut senang mendengarnya.
"Jujur, gue masih enggak nyangka aja gitu. Arum, kenapa dia baru mengenali gue sebagai Fariz yang sesungguhnya setelah lo sama Fahri menikah?"
"Kak Fariz jauh-jauh datang menjemput aku dikampus dan ngajak aku ke sini, mau curhat?" Aku bertanya dengan polosnya. Kak Fariz mengangguk. "Lo nggak keberatan, kan?" tanya kak Fariz.
"Tentu saja, tidak keberatan. Silakan saja, kak."
"Menurut lo, aneh nggak Arum kayak yang tadi gue bilang?" Kak Fariz bertanya lagi. Aku terdiam sambil memikirkan sesuatu. Bila dipikirkan kembali tentang bu Arum yang tidak mengenali kak Fariz dan selalu tertukar dengan pak Ramdan, lalu kemudian menjadi bisa mengenali kak Fariz yang sesungguhnya setelah pak Ramdan menikah denganku. Apa yang dibilang kak Fariz, ada benarnya. Apakah ada alasan dibalik semua itu?
"Kok, lo jadi ngelamun, sih?" tanya kak Fariz heran. Tidak lama kemudian, pesanan kami datang. Kue rasa red velvet dan jus strawberry. Ternyata itu pesanan yang dipesan oleh kak Fariz.
"Makanan dan minuman ini pasti kesukaannya kak Fariz?" Aku menebaknya. Kak Fariz malah tertawa alih-alih menjawabnya.
"Seperti cewek, ya?" tanyanya. Aku mengangguk. Lagi-lagi kak Fariz tertawa. "Sebenarnya, ini kesukaannya Arum. Gue mah, sekedar ikut-ikutan suka aja."
"Tapi, jadi beneran suka, kan? Dan akhirnya jadi makanan dan minuman favorit, yakan?" Aku menebaknya lagi. Kak Fariz mengangguk. "Nah, betul sekali." kata kak Fariz.
"Apa kak Fariz tidak merasa gugup? Pernikahan kak Fariz tinggal enam hari lagi. Apa semuanya sudah siap, kak?"
"Tentu saja. Ini pernikahan gue, gue harus mempersiapkan segalanya. Harus siap seratus persen," jawab kak Fariz. "Tapi, jujur. Gue gugup banget. Bahkan, kegugupan gue ini membuat pikiran dan perasaan gue jadi nggak enak. Selalu negatif. Gue takut hal-hal yang tidak gue inginkan itu terjadi."
"Apapun yang terjadi. Aku selalu ada untuk kak Fariz. Kak Fariz punya aku sebagai adiknya kak Fariz. Jadi, jangan memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi, kak. Jangan takut. Ada aku dan pak Ramdan."
"Terimakasih, Rahma."
***
"Tadi, saat aku datang ke kampus untuk menjemput kamu. Kamu sudah tidak ada. Kamu kemana, Rahma? Kenapa tidak memberitahu aku?" Pak Ramdan yang sedang bersiap-siap untuk shalat maghrib berjama'ah di masjid, dia menyempatkan dirinya untuk mengajakku berbicara dulu sebentar. Pak Ramdan duduk di atas tempat tidur karena aku sedang duduk di atas tempat tidur sambil melipat pakaian. Kini kami duduk saling berhadapan.
"Aku minta maaf. Aku lupa untuk memberitahu pak Ramdan," jawabku.
"Kamu tadi pergi sama siapa?"
"Sama kak Fariz."
"Mulai besok. Bukan. Mulai hari ini, kalau kamu mau pergi ke mana-mana dengan siapapun itu, kabari saya. Entah itu mau lewat telepon, sms, lewat WA, atau sosial media lainnya. Kabari saya, mengerti?" katanya dengan tegas. Seperti biasanya. Aku pun mengangguk.
"Apa yang kamu bicarakan dengan Fariz?" tanya pak Ramdan.
"Kak Fariz hanya merasa gugup sekaligus khawatir. Dia takut hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi saat dihari pernikahannya. Banyak sekali yang dicemaskan oleh kak Fariz, tadi."
"Lalu, apa yang kamu lakukan?"
"Aku hanya sedikit membantunya. Meyakinkan kak Fariz bahwa semuanya akan baik-baik saja. Karena ada pak Ramdan dan aku."
"Lalu, apa lagi? Tidak ada hal yang lebih atau semacamnya?"
"Seperti apa?" tanyaku yang tidak mengerti apa maksudnya. Pak Ramdan menggeleng. Setelah lama mencerna perkataan pak Ramdan dan memahaminya, aku tersenyum. "Pak Ramdan cemburu?"
"Tidak."
Aku tersenyum jahil. Wajah pak Ramdan memerah, malu. Dia pun salah tingkah. Aku terkikik geli. Lalu, pak Ramdan pun pamit pergi ke masjid. Katanya, takut telat. Padahal, dia hanya ingin menghindariku saja. Saat pak Ramdan sudah pergi, aku tertawa lepas. Betapa lucunya sekali melihat pak Ramdan yang salah tingkah karena diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Spiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...