17. Mungkinkah Cemburu?

353 24 0
                                    

Aku dan Yumna pergi ke kantin. Sebelum pergi ke kantin, aku menemani Yumna ke kantor guru untuk mengantarkan tugas teman-teman sekelasnya yang sudah dikumpulkan. Saat di dalam kantor, aku melihat pak Ramdan sedang berbicara dengan bu Arum dengan wajah serius. Lalu, di sela-sela keseriusan mereka, mereka pun bersenda gurau.

Mengapa aku memanggil bu Arum dengan "bu" tanpa "ustadzah"? Karena sekarang bu Arum seorang guru di sekolahku. Jadi, aku memutuskan memanggilnya bu Arum. Sama seperti pak Ramdan. Soal pak Ramdan, sudah tiga bulan dia mengajar dikelasku dan menjadi seorang guru tetap di sekolah.

Aku diam memerhatikan dengan jarak sepuluh langkah kakiku. Sedangkan Yumna sibuk berbicara dengan bu Wiwi, selaku guru Biologi.

Entah mengapa dadaku yang sebelah kiri terasa sakit. Hawa panas menjalar di seluruh tubuhku. Sesak rasanya melihat kedekatan mereka. Padahal ini bukan pertama kalinya aku melihat keduanya dekat. Tapi, kali ini berbeda. Ada rasa sakit seperti ada ribuan benda tajam menusuk jantungku, sehingga sesak.

Mungkinkah aku cemburu? Aku segera menepis itu. Untuk apa aku cemburu? Aku memang suka pak Ramdan, tapi rasa sukaku itu hanya sebuah kekaguman atas sifat pak Ramdan. Aku sudah mengenal pak Ramdan cukup lama. Jadi, aku sudah tahu seperti apa pak Ramdan.

Saat pak Ramdan melihat kearahku, aku langsung memalingkan wajahku. Aku melirik kearah meja pak Ramdan. Dia masih menatap kearahku. Aku segera memalingkan pandanganku.

Yumna menyenggol lenganku. Dan aku menatap kearahnya. "Sudah selesai?" tanyaku. Dia mengangguk. "Ayo," ajaknya. Kami berdua pun keluar dari dalam kantor menuju kantin dengan perasaan campur adukku.

Saat di kantin aku melamun. Padahal pesanan mi ayamku sudah ada di meja. Di depanku. Yumna sudah duduk berhadapan denganku sambil mengaduk-aduk mi ayam miliknya.

"Mikirin apa, sih?" Yumna bertanya saat melihatku yang katanya, aku sedang tidak fokus. "Pak Ramdan?"

Aku tertegun mendengar perkataan Yumna yang sepertinya asal tebak saja. "Kok, bisa ke pak Ramdan?"

"Lo suka sama dia?"

"Enggak," Aku mengelak.

"Iya."

"Enggak, Yumna." sanggahku.

"Lo belum menyadarinya. Tapi, gue yang udah menyadarinya kalau lo suka sama pak Ramdan. Udah, ngaku aja."

"Apa, sih? Perbaiki saja panggilanmu. Waktu itu udah 'aku-kamu' sekarang 'lo-gue' lagi," kataku mengganti topik pembicaraan.

"He he he ...." Yumna menyengir.

***

"Rahma," Aku mendengar suara pak Ramdan memanggilku.

"Rahma," Suaranya memanggilku lagi.

Seseorang menggoyang-goyangkan lenganku. Aku melenguh, lalu menguap. Aku menutup mulutku saat menguap. Masih setengah sadar, aku melihat pak Ramdan sedang berdiri dihadapanku. Lalu, aku melihat kearah Yumna.

"Aku di mana?" tanyaku ketika sudah sadar sepenuhnya. Aku melihat sekeliling ruangan yang serba putih. Mulai dari dinding,kasur, maupun tirai.

"Kamu ada di UKS. Tadi kamu pingsan," ujar pak Ramdan. "Tapi, sepertinya kamu hanya tertidur pulas di jam pelajaran saya."

Aku tidak sadar kapan aku tertidur. Aku juga tidak tahu mengapa bisa langsung tertidur begitu saja. Yang aku rasakan hanya mataku terasa berat. Tidak lama kemudian aku memejamkan kedua mataku. Tapi, aku tidak tahu kalau sampai benar-benar tertidur pulas.

"Memangnya aku tidur, Yumna?" Yumna mengangguk. "Terus kenapa nggak dibangunin?" protesku.

"Sudah. Tapi, tidak ada respon. Gue kira lo pingsan. Karena dari awal pelajaran pak Ramdan sampai jam pelajaran selesai, lo nggak bangun-bangun." Yumna menjelaskan apa yang terjadi.

"Tadi saat istirahat kamu makan apa?" tanya pak Ramdan.

"Mi ayam," jawabku singkat.

Aku mengingat kembali semua isi mi ayamku. Tidak ada yang aneh. Mi ayam punyaku sama seperti mi ayam punya Yumna. Tidak ada yang salah. Tapi, mengapa aku malah membuatku mengantuk dan akhirnya tertidur?

"Aneh. Punya gue sama lo kan sama aja. Kok, lo bisa tertidur sedangkan gue enggak?" kata Yumna keheranan.

Aku melihat kearah pak Ramdan. Dia terlihat sangat khawatir. Lalu, kami bertiga sama-sama menoleh kearah pintu UKS. Karena pintu dibuka begitu terburu-buru. Aku melihat bu Arum dibopong oleh beberapa guru laki-laki. Sepertinya dia jatuh pingsan.

Bu Arum di tidurkan di bangsal yang bersebelahan denganku. Hanya saja kami terhalang tirai. Aku menyingkirkan sedikit tirai untuk melihat kondisi bu Arum. Pak Ramdan menghampiri bu Arum yang sedang dipasangkan masker oksigen dan selang infus.

"Apa yang terjadi?" Kudengar suara pak Ramdan begitu khawatir. Dia bertanya ke salah satu guru yang membawa bu Arum ke UKS.

"Tadi, setelah bu Arum makan mi ayam. Perutnya langsung terasa sakit. Dia terlihat sangat kesakitan. Saat saya ingin beri obat, bu Arum sudah jatuh pingsan," jelas salah satu guru. Dan suaranya milik seorang perempuan.

Yumna memegang pundakku, lalu mengusap-usapnya. Aku menatapnya heran.

"Yang sabar, ya? Jangan marah ataupun bersedih karena cemburu. Nggak baik," kata Yumna yang membuatku tidak memgerti. Siapa juga yang cemburu?

Setelah bu Arum mendapat perawatan. Guru-guru yang tadi membawa bu Arum ke UKS pun kembali ke kantor guru. Hanya tersisa pak Ramdan yang masih di UKS. Menemani bu Arum hingga dia sadar. Aku melihat pak Ramdan menarik bangku ke dekat tembok, menghadap bangsal bu Arum. Dan pak Ramdan duduk dibangku tersebut.

"Gue ke kelas duluan, ya? Soalnya pelajaran pak Retno. Lo tau sendiri kan, kalau beliau itu killer?" kata Yumna. Pamit ke kelas. Aku mengangguk. Lalu, dia pamit ke pak Ramdan. Kemudian keluar dari UKS, tidak lupa dia menutup pintunya lagi. Tinggal-lah kami bertiga di dalam UKS. Karena dokter yang berjaga di UKS sedang ke laboratium.

Suasana menjadi canggung. Hanya kesunyian UKS yang menemani kami. Aku yang masih berbaring di bangsal langsung menghadap ke tembok. Karena posisi bangsalku berada di pojok. Jadi, saat ini aku memunggungi pak Ramdan. Aku menarik selimutku hingga menutupi seluruh tubuhku. Aku tidak tahu harus berbuat apa di dalam keadaan seperti ini. Suasananya sama seperti saat aku berada dirumah sakit dulu.

"Rahma, kamu sudah tertidur?" tanya pak Ramdan. Aku tidak menyahut. Aku pura-pura tertidur saja. "Baiklah kalau kamu sudah tidur."

Aku menghela nafas panjang.

"Rahma, nanti saya akan mengantar kamu pulang ke rumah," kata pak Ramdan lagi. Kukira dia akan membiarkanku untuk tidur. "Tapi, setelah Arum siuman, ya?"

Aku masih diam, tidak menjawabnya. Aku tidak masalah jika pak Ramdan tidak mengantarkanku pulang dan lebih memilih menemani bu Arum di UKS. Bahkan jika pak Ramdan ingin mengantar bu Arum pulang, aku tidak masalah. Toh, mereka bertetangga. Aku bisa meminta kak Zaki datang menjemputku.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang