Setelah aku mengalami kesedihan yang amat mendalam. Dengan seiring berjalannya waktu, kepedihan yang aku rasakan perlahan mulai menghilang. Walaupun aku sudah kembali menjalani kehidupanku lagi dengan normal, ingatanku tentang kejadian di mana aku kehilangan bayiku, masih tersimpan dengan baik di memori otakku.
Ayah dan ibu selalu memberiku semangat, begitu juga dengan umi dan abi. Beliau selalu berada disisiku untuk mendukungku. Setelah diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawatku, aku memutuskan tinggal dirumah umi. Entah untuk sementara atau selamanya, aku tidak tahu. Pak Ramdan tidak mempermasalahkannya, dia mengizinkanku tinggal dirumah umi.
Sudah tiga minggu aku tinggal bersama umi. Dan selama seminggu itu pula pak Ramdan tak henti-hentinya menghubungiku untuk sekedar menanyakan kabarku dan memgingkatkan untuk meminum obat. Selain itu, setiap pulang mengajar, pak Ramdan menyempatkan dirinya datang kerumah umi untuk menemuiku. Seorang diri. Tidak bersama bu Arum.
Mungkin, ini semua terasa berat bagi pak Ramdan. Pak Ramdan pasti menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa diriku dan bayiku. Namun, semua itu sudah terjadi. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Jika ingin memperbaiki apa yang sudah terjadi di masa lalu, maka jangan mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Semua kejadian yang terjadi dikehidupan rumah tangga kami akan menjadi pelajaran bagi kami berdua.
Berbicara mengenai bu Arum, kondisi janinnya baik-baik saja. Bahkan kandungannya sehat, tidak selemah pas awal-awal kehamilan. Hubunganku dengan bu Arum kini menjadi baik. Aku sudah tidak menganggapnya sebagai rivalku lagi, melainkan sebagai kakakku sendiri. Aku senang bisa menjalin komunikasi dengan bu Arum. Walaupun terkadang aku iri dengannya.
Sore ini, pak Ramdan akan berkunjung kerumah umi bersama bu Arum. Aku yang meminta pak Ramdan untuk mengajak bu Arum jika datang berkunjung kerumah umi. Karena kuyakin, bu Arum tidak berani datang sendiri kerumah umi untuk menemuiku. Bukan takut, bu Arum merasa tidak enak. Karena bu Arum merasa dirinya seperti orang ketiga di dalam kehidupan rumah tanggaku dengan pak Ramdan. Padahal, tidak sama sekali.
Waktu sore pun tiba. Pukul 16.00 WIB. Pak Ramdan dan bu Arum datang kerumah. Aku pergi membukakan pintu dan mengajak mereka masuk ke dalam. Umi dan abi sedang pergi, jadi aku mengajak keduanya untuk mengobrol diruang tengah. Alasan aku mengajak mereka mengobrol diruang tengah adalah aku merasa lebih nyaman dibanding diruang tamu. Selain itu, keduanya adalah keluargaku, bukanlah seorang tamu biasa.
Aku pergi ke dapur untuk membuatkan minuman. Tidak butuh lama bagiku membuat minuman, aku sudah membawanya keruang tengah dan meletakkan tiga gelas minuman di atas meja. Selain itu, aku juga menyediakan makanan ringan yang sudah ditaruh di dalam toples.
Kak Zaki yang baru saja pulang dari masjid, dia langsung duduk di sofa yang dua duduk ketika melihat pak Ramdan dan bu Arum diruang tengah. Tanpa memberikan salam.
"Assalamu'alaikum, kak." kataku mengingatkan sambil duduk di samping kak Zaki.
"Assalamu'alaikum," ucap kak Zaki dengan wajah yang datar. Pak Ramdan dan bu Arum menjawab salam dari kak Zaki. Begitu juga dengan aku yang menjawab salamnya.
"Kamu ngapain sih, nyuruh mereka datang ke sini di saat umi dan abi lagi nggak ada dirumah? Terutama perempuan itu," kata kak Zaki yang menunjukan ketidaksukaannya.
"Kak."
"Apa lagi, Rahma? Kamu itu jangan terlalu baik sama mereka atau nanti kamu yang dimanfaatkan."
"Kak Zaki. Sudah cukup." kataku. "Maafin kak Zaki ya, pak Ramdan, bu Arum?" kataku kepada keduanya.
"Iya, tidak apa-apa." bu Arum yang menjawab. "Oh iya, Rahma. Kapan kamu akan pulang kerumah?"
"Rumah siapa? Ramdan? Dia tidak akan kembali lagi kerumah itu." sahut kak Zaki. Aku menggenggam tangan kak Zaki. "Kak Zaki bisa diam dulu? Ini urusan rumah tangga aku." kataku.
"Aku pergi ke kamar dulu, ya? Ada sesuatu yang ingin aku beritahu ke pak Ramdan." Setelah mendapat izin dari pak Ramdan, aku pergi ke kamarku yang berada di lantai atas. Aku mengambil berkas berwarna cokelat yang ada dilaci meja belajarku. Setelah mengambilnya, aku kembali keruang tengah menemui semua orang yang sedang menungguku.
Aku meletakkan berkas cokelat tersebut di atas meja sambil duduk di samping kak Zaki. Pak Ramdan terlihat bingung, begitu juga dengan bu Arum.
"Apa ini?" Pak Ramdan yang bertanya. Dia mengambil berkas cokelat tersebut dan membaca tulisan yang tertera diberkas. "Surat cerai?" tanyanya tidak percaya. "Kenapa?"
Kak Zaki melipat tangannya di depan dada sambil tersenyum miring. "Rahma ingin bercerai dari lo. Dia sudah terlalu lelah untuk menghadapi semuanya." Kak Zaki yang menjawab. Aku menautkan kesepuluh jariku.
"Lelah?"
"Pak Ramdan, Rahma akan menjelaskannya. Jadi, pak Ramdan tenang dulu dan dengarkan Rahma baik-baik. Tolong, sekali ini saja dengarkan Rahma, ya?" kataku pada pak Ramdan. Pak Ramdan menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Baiklah." katanya.
"Pertama, aku sama sekali tidak merasa lelah, tidak seperti apa yang telah dikatakan oleh kak Zaki. Kedua, aku merasa hanya menjadi beban pak Ramdan saja. Sikapku masih kekanak-kanakkan dan aku selalu menyusahkan pak Ramdan. Sudah satu tahun kita menikah, dan aku belum bisa menjadi pendamping hidup yang baik untuk pak Ramdan. Terlebih lagi, aku tidak sempurna. Aku tidak bisa memberikan keturunan kepada pak Ramdan." kataku.
"Rahma, kamu sama sekali tidak menjadi beban untuk saya. Masalah baik atau tidak, kamu tetap pendamping yang terbaik bagi saya." ucap pak Ramdan.
Aku tidak menghiraukan perkataan pak Ramdan. "Ketiga, bu Arum sedang mengandung anak pak Ramdan. Setelah aku memikirkannya, seharusnya aku yang pergi dari kehidupan pak Ramdan. Bu Arum lebih membutuhkan pak Ramdan dibanding aku. Selain itu, setelah bayi bu Arum lahir ke dunia. Bayi bu Arum, anak kalian membutuhkan kalian berdua. Jika salah satu dari kalian berpisah, bukankah tidak adil bagi anak kalian?"
"Tapi, Rahma. Kamu sudah berjanji akan menjaga bayi aku ketika aku pergi dari kehidupan rumah tangga kalian, kan?" kata bu Arum.
Aku menggeleng. "Tidak, bu. Aku tidak bisa menjaganya. Aku takut. Di saat aku sudah sangat menyayanginya, dia akan pergi dari hidupku ketika bertemu dengan ibu kandungnya. Rasa sayang dan cintanya akan terbagi. Aku tidak mau hal itu terjadi dan aku tidak akan rela jika kasih sayangnya terbagi. Jadi, lebih baik aku yang pergi. Bu Arum lebih layak menjadi pendamping pak Ramdan."
"Rahma," kata bu Arum. "Aku tidak akan muncul lagi dihadapan kalian atau dihadapan anakku nantinya. Jadi, aku mohon Rahma. Jangan pergi dari hidup Fahri."
"Keputusanku sudah bulat, bu. Aku sudah membicarakan perceraianku dengan umi dan abi. Aku juga sudah membicarakannya dengan ibu dan ayah. Awalnya mereka tidak setuju dan menolaknya, tapi setelah mereka memikirkannya lagi, akhirnya mereka memyetujuinya." ucapku. "Bu Arum, tidak ada yang mengetahui rencana Allah. Bu Arum bisa berkata, tidak akan pernah muncul lagi dihadapan kami. Tapi, siapa yang tau nanti kita akan bertemu lagi tanpa mengetahui kapan dan di mananya kita akan bertemu, ya kan?"
"Sudahlah, tandatangani saja, Ramdan." kata Kak Zaki. "Rahma sudah menandatanganinya."
"Jadi, selama tiga minggu kamu tinggal dirumah umi hanya untuk ini, Rahma?" kata pak Ramdan sambil menunjukan berkas cokelat yang masih ada ditangan pak Ramdan. "Tanpa membicarakannya lagi dengan saya?" Dari nada bicaranya pak Ramdan, terdengar kecewa. Aku bisa memahaminya alasan pak Ramdan kecewa dengan keputusan sepihakku ini.
"Bukan begitu. Rahma ...."
"... baik, saya akan menandatanganinya sekarang juga!" Pak Ramdan memotong ucapanku. Dia mengeluarkan surat cerai dari berkasnya. "Mana pulpennya?" tanyanya. Kak Zaki memberikannya. Aku bertanya-tanya, sejak kapan kak Zaki menyiapkan pulpen?
Pak Ramdan menandatanganinya sesuai dengan perkataannya. Selesai menandatanganinya, dia pamit pulang bersama bu Arum. Bu Arum bersikeras untuk tinggal, masih ada yang ingin dibicarakan denganku. Tetapi, pak Ramdan menariknya dengan paksa. Aku tidak mengantar pak Ramdan pergi, kak Zaki yang mengantarnya. Setelah mereka pergi, aku pun menangis. Semoga keputusan sepihak yang aku buat ini menjadi pilihan yang terbaik bagi pak Ramdan, bu Arum, dan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Tâm linh"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...