Aku sudah melupakan kejadian dua minggu yang lalu. Di mana pak Ramdan yang membentak diriku dan berkata yang menyakiti perasaanku. Aku tidak dendam dengannya. Aku juga tidak marah ataupun membencinya. Wajar jika pak Ramdan mengatakan hal seperti itu padaku.
Bu Arum sudah melahirkan dua orang anak kembar beda jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan. Aku mengetahuinya langsung dari bu Arum. Aku turut bahagia mendengar kabar itu. Akhirnya, bayi yang ditunggu-tunggu pun lahir ke dunia dengan selamat tanpa adanya kekurangan.
Aku sudah menerima akta perceraianku. Begitu juga dengan pak Ramdan. Mungkin ini adalah akhir dari kisahku dengan pak Ramdan atau awal baru dari kisahku dengan pak Ramdan. Aku tidak tahu. Karena kami sudah mengambil akta perceraian kami. Kami tidak lagi memiliki urusan. Jadi, kami tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini.
Mulai hari ini dan seterusnya, aku akan lebih sibuk dari sebelumnya. Tugas kuliahku akan semakin banyak di setiap aku naik semester. Jadi, aku tidak akan memiliki waktu untuk memikirkan perceraianku yang sudah kelar atau pak Ramdan. Aku akan lebih fokus ke pendidikanku.
Pertemuan terakhir kami juga tidak istimewa. Tidak ada percakapan diantara kami. Pak Ramdan mengabaikanku meskipun kami saling berhadapan. Dan aku, tidak ada yang ingin aku bicarakan. Jadi, aku terdiam. Tapi, saat pak Ramdan bersikap mengabaikanku, aku cukup sedih. Aku tidak ingin perpisahan yang seperti ini. Seakan-akan perpisahan kami bukanlah perpisahan yang baik, walaupun semua berjalan dengan lancar.
Aku sedikit kecewa dengan pak Ramdan. Tapi, apa lagi yang aku harapkan dari pak Ramdan? Semuanya telah usai.
Di parkiran, aku bertemu lagi dengan pak Ramdan. Pak Ramdan mengacuhkan aku. Bara yang menunggu di dalam mobil pun menyuruhku untuk segera masuk ke dalam mobil.
"Kenapa sedih?" tanya Bara saat aku sudah berada di dalam mobil. Aku menggeleng.
"Bara, terimakasih sudah mengantar aku."
"Tidak masalah, Rahma."
***
1 tahun lebih 5 bulan.
Dihari kewisudaanku. Saat aku sedang berfoto bersama keluargaku, aku melihat kehadiran pak Ramdan dari kejauhan. Aku melihatnya sedikit tidak percaya. Mungkin saja aku berhalusinasi. Karena setelah aku selesai berfoto dengan keluargaku, pak Ramdan menghilang dari pandanganku. Aku mencari-carinya, namun hasilnya nihil. Aku tidak menemukan adanya pak Ramdan.
"Rahma." Yumna memanggilku. Aku menoleh kearahnya. Yumna tersenyum. Aku melihat Yumna membawa sebuah kotak kado berukuran sedang. Tidak besar dan tidak kecil.
"Cieee ... kado dari siapa, tuh?" Aku menggodanya. Yumna tertawa. "Kado ini untuk kamu, Rahma. Tapi, kadonya bukan dari aku, ya?" katanya. Aku menatapnya dengan bingung.
"Mau foto denganku?" kata Yumna. Tentu saja aku mau. Bagaimana bisa aku menolak foto bersama sahabatku sendiri. Yumna meminta seseorang yang tidak kami kenal untuk memfotokan kami berdua. Untung saja orang itu mau memfotokan kami tanpa protes. Yumna memberikan kameranya ke orang itu.
Yumna memelukku dan aku membalas pelukan Yumna. Orang itu memotret kami dengan pose yang saling memeluk dan saling tersenyum lebar. Di foto itu, kami berdua sangat bahagia. Setelah merasa puas dengan hasil fotonya, orang itu mengembalikan kameranya ke Yumna lagi.
"Terimakasih ya, kak." ucap Yumna dan aku.
"Iya, sama-sama."
"Yum," panggilku setelah orang asing itu pergi. Yumna yang sedang melihat foto-foto yang ada dikameranya pun menatap diriku.
"Tadi aku lihat pak Ramdan ada di sini. Sedang memerhatikan aku dari kejauhan." kataku memberitahu.
"Pak Ramdan memang ada di sini tadi. Hanya sebentar. Kado itu dari dia. Untuk kamu, katanya." ucap Yumna.
"Oh, ya?" Yumna mengangguk. "Oh, iya Yum."
"Dua minggu lagi, jadwal penerbanganku ke Amerika, Yum. Kamu ikut mengantarku ke bandara, ya?"
"Tentu saja."
"Dan aku tidak tau akan kembali lagi ke Indonesia atau menetap di sana."
"Aku mendukung kamu, di manapun kamu berada. Aku selalu ada untuk kamu meskipun tidak secara fisik. Kita bisa komunikasi melalui media elektronik. Tapi, Rahma. Aku harap, kamu kembali ke Indonesia dan menetap lagi di sini." ucap Yumna.
"Terimakasih. Aku akan kembali demi sahabat aku."
"Selama kamu di sana, jangan lupa untuk selalu jaga ibadah kamu. Jangan sampai sakit di sana. Karena aku nggak bisa datang ke sana untuk jenguk kamu." ucap Yumna sambil terkekeh. Aku terkekeh. "Iya, iya." kataku.
Aku akan memulai hari baruku di negara Amerika. Aku harap, selama aku di sana, aku bisa melupakan masa laluku di sini. Hanya masa lalu saja yang kulupakan, bukan sosok pak Ramdan yang kulupakan. Aku memutuskan melanjutkan kuliahku di Amerika hanya ingin merasakan suasana yang baru dan mencoba hal-hal yang baru.
"Rahma, coba buka hadiah dari pak Ramdan." kata Yumna.
"Sekarang?" Yumna mengangguk. Aku pun membuka hadiah pemberian dari pak Ramdan. Isinya terdapat dua hijab baru, tas ransel baru, dan pulpen istimewa. Lalu, terdapat secarik kertas. Aku membacanya, Yumna juga ikut membacanya.
Dear Rahma.
Semoga suka ya, dengan hadiahnya?
Saya harap, hadiah yang saya berikan ini bisa bermanfaat untuk kamu.
Saya dengar, kamu akan melanjutkan studi kamu di Amerika. Semoga lancar ya kuliahmu di sana.Saya minta maaf atas sikap saya dimasa lalu.
Semoga kamu selalu bahagia, Rahma.Ramdan.
Aku sudah selesai membacanya. Ternyata pak Ramdan sudah mengetahui kalau aku akan melanjutkan kuliah S2-ku di Amerika.
"Semoga pak Ramdan juga selalu bahagia bersama keluarga kecilnya." kataku dengan sangat pelan.
"Kamu ngomong sesuatu, Rahma?" tanya Yumna. Aku tersenyum sambil menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Spiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...