Sehari setelah menikah sebelas bulan yang lalu. Pak Ramdan langsung mengajakku pindah rumah saat itu juga ke rumah yang telah dibelinya. Padahal waktu itu, aku belum bersiap-siap menyiapkan baju-bajuku dan keperluanku lainnya untuk dibawa. Untung saja, saat sampai dirumah yang dibeli pak Ramdan itu sudah memiliki barang-barang dan perabotan rumah tangga yang cukup lengkap. Sudah ada tempat tidur juga.
Rumahnya tidak besar, cukup sederhana. Ada dua kamar tidur, satu kamar mandi di luar kamar tidur, ruang tengah, dapur, dan ruang tamu. Dan aku juga tidak yakin dengan status kehidupan rumah tanggaku dengan pak Ramdan yang saat ini sedang kami berdua jalani. Banyak orang yang bilang, bahwa kami adalah pengantin baru. Padahal usia pernikahan kami sudah menginjaki waktu sebelas bulan, hampir satu tahun.
Dalam waktu sebelas bulan itu juga, kami belum diberikan keturunan. Ini bukan salahnya pak Ramdan, melainkan salahku yang belum bisa memberikannya keturunan. Mungkin ini sebab dari masa laluku yang buruk yang pernah aku alami, sehingga membuatku agak trauma untuk melakukan hubungan diantara suami-istri.
Saat memikirkannya, aku jadi teringat Bara. Setelah aku menceritakan kejadian yang amat aku sesali dan kejadian yang di jauh dari keinginanku itu terjadi, Bara menolak untuk menikahiku. Padahal, hari pernikahanku dengan Bara dulu, sudah dekat. Sekarang aku mengerti mengapa Bara menolak menikahiku. Mungkin inilah alasan Bara tidak ingin menikahiku. Berbeda sekali dengan pak Ramdan. Tanpa berpikir panjang, pak Ramdan bersedia menikahiku tanpa tahu akan akibatnya.
Terkadang aku tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh pak Ramdan. Apa yang dipikirkannya, tidak pernah sejalan dengan pemikiranku. Kami selalu berbeda pendapat. Atau karena aku lebih muda usianya dibandingkan pak Ramdan yang sudah amatlah dewasa? Aku tidak tahu dan aku merasa sangat penasaran dengan alasan apa pak Ramdan menikahiku. Karena rasa kasihan atau lainnya? Dan apakah pak Ramdan merasa menyesal setelah hidup bersamaku selama sebelas bulan ini?
"Sedang melamunkan apa? Kamu tidak bersiap-siap untuk berangkat kuliah?" Pak Ramdan yang baru saja selesai mandi, sudah mengenakan pakaian santainya, membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng. Segera aku keluar dari dalam kamar. Sudah pukul setengah enam pagi.
Baru saja aku menutup pintu kamar, aku sudah membukanya kembali. Aku menyembulkan kepalaku di daun pintu. "Pak Ramdan ... maksudku, mas Ramdan mau aku buatkan apa untuk sarapan?"
"Nasi goreng buatanmu. Sudah lama saya tidak makan nasi goreng yang dimasak kamu," jawabnya sambil mengambil kemeja dan celana bahan berwarna hitam di dalam lemari pakaian. Aku mengangguk dan menutup pintu kamarnya, lagi.
Butuh waktu lima belas menit untuk membuat nasi goreng. Saat aku sedang menyiapkan nasi goreng ke dalam piring, pak Ramdan keluar dari dalam kamar. Pak Ramdan sudah rapih. Lalu, aku menyajikan kedua piring nasi goreng ke atas meja. Kami sarapan bersama, seperti biasanya. Suasana dimeja makan hening. Hanya ada kami berdua dirumah ini. Selama makan, kami tidak saling berbicara. Setelah makan, barulah kami saling berbicara.
"Tadi, kamu sedang melamunkan apa?"
"Pak Ramdan," Aku menatap pak Ramdan dengan tatapan lekat. Nada bicaraku pun terdengar serius.
"Iya?"
"Alasan apa pak Ramdan menikahiku, sedangkan Bara menolak menikahiku ketika dia tau tentang kejadian yang pernah aku alami? Padahal Bara hanya mendengar cerita dariku saja, tetapi menolak. Sedangkan pak Ramdan langsung melihat apa yang aku alami," kataku panjang lebar karena merasa sangat penasaran. Aku sedikit terkejut ketika tangan pak Ramdan menggenggam telapak tanganku.
"Yang perlu kamu tau hanya satu, Rahma. Aku menikahi kamu karena aku ingin. Untuk pertama kalinya, aku akan mengatakan kalau aku mencintai kamu."
"Aku ... kalau pak Ramdan menikahi wanita lain suatu saat nanti. Aku ... aku tidak merasa keberatan, pak. Tapi, membayangkan pak Ramdan berdua atau bercumbu mesra dengan wanita lain sekalipun wanita itu berstatus istri sahnya pak Ramdan, aku tidak sanggup. Rasanya sakit sekali," ungkapku.
"Istri aku cuma kamu, Rahmadanti. Tidak ada istri kedua atau ketiga dan seterusnya," kata pak Ramdan meyakinkan aku. Aku terdiam. Lalu, aku melihat kearah jam dinding. Sudah jam setengah tujuh.
"Biar aku ambilkan tasnya, pak." Aku beranjak dari tempat dudukku menuju kamar. Aku mengambilkan tas pak Ramdan. Jika aku tidak menghentikan percakapan tadi, mungkin pak Ramdan akan telat mengajar. Tidak lama kemudian, aku kembali sambil membawa tasnya pak Ramdan dan aku memberikannya. Pak Ramdan mengambilnya tas dariku dan dia mengusap puncak kepalaku yang terutup kerudung.
Aku mengantar pak Ramdan sampai depan pintu rumah. Aku mencium punggung tangannya, lalu pak Ramdan mencium keningku. Setelah itu, pak Ramdan mengucapkan salam. Aku menjawabnya. Aku menunggu pak Ramdan hingga dia pergi dari lingkungan rumah dengan motornya. Setelah pak Ramdan tak terlihat lagi dari pandanganku, aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
***
Author pov.
"Gimana persiapan pernikahan kamu dengan Fariz?" tanya Ramdan pada Arum saat mereka sedang berada dikantin. Saat ini sedang jam istirahat. Beberapa guru ada yang pergi ke kantin, beberapa lagi ada yang menitip makanan dan memakannya di kantor. Kantin sangat ramai. Dipenuhi para siswa yang sedang lapar atau sedang ingin menongkrong saja bersama teman-temannya, bersenda gurau.
"Alhamdulillah, hampir seratus persen selesai. Besok, tinggal fitting baju."
Pernikahan Fariz dan Arum akan dilaksanakan satu minggu lagi. Setelah sekian lama Fariz menunggu Arum mengingatnya sebagai Fariz, tidak butuh lama bagi Fariz untuk melamar Arum. Ramdan turut senang mendengarnya ketika mengetahui kalau ternyata Arum juga suka dengan Fariz dan akhirnya menerima lamaran Fariz. Lamaran itu terjadi sekitar satu bulan yang lalu. Fariz tidak ingin menunggu lama-lama untuk menjalankan kehidupan rumah tangga bersama Arum. Jadi, setelah melamar, Fariz mengajukan untuk menikahi wanita itu satu bulan kemudian setelah hari lamaran.
"Saya ikut senang mendengarnya. Terus, kamu gimana rasanya? Gugup, tidak?"
"Tentu saja. Tidak ada satupun perempuan yang tidak akan gugup jika mendekati hari pernikahannya," jelas Arum. Ramdan teringat akan pernikahannya waktu itu dengan Rahma. Dia membayangkan betapa gugupnya Rahma, sama seperti yang dirasakan Arum saat ini.
"Jadi, sebentar lagi kamu akan memanggilku dik Fahri, dong? Kamu kan nanti akan jadi kakak iparku?" ujar Ramdan.
"Ya, ya. Bolehlah. Kalau tidak, aku panggil mas Ramdan dan kamu panggil aku dik Arum, bagaimana?" Arum menggoda Ramdan.
Ramdan tertawa. "Tidak bisa. Ada hati yang harus kujaga."
Arum terkekeh. "Aku hanya bercanda," katanya. "Bagaimana kabar Rahma?"
"Alhamdulillah, baik."
"Dia sangat menggemaskan, bukan?"
Ramdan tersenyum sambil mengangguk. "Pasti kamu sangat mencintainya?" tanya Arum. Ramdan mengangguk, "Sangat." kata Ramdan.
"Beruntung sekali Rahma memiliki seorang suami seperti kamu, Fahri."
"Kamu juga beruntung bisa memiliki Fariz sebagai seorang suami," sahut Ramdan.
Arum mengangguk. "Tentu saja," katanya sambil tersenyum. "Semoga, pernikahan kita berdua bisa sama-sama langgeng, ya? Kamu dengan Rahma, dan aku dengan Fariz. Aku tidak sabar memanggil Fariz dengan sebutan suamiku," ucap Arum. Ramdan hanya tersenyum sambil mengamini harapan yang diucapkan Arum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Spiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...