Aku meminta ustadz Ramdan menurunkan aku jauh dari gerbang sekolah. Aku tidak ingin siswa lain ataupun guru-guru dan semua orang dilingkungan sekolah memikirkan hal yang tidak-tidak antara aku dan ustadz Ramdan yang pada akhirnya akan menjadi masalah dan menimbulkan sebuah fitnah. Aku tidak ingin itu terjadi.
Untung saja ustadz Ramdan mengerti walaupun dia tetap kekeuh karena ustadz Ramdan selalu berpikiran positif. Tidak memedulikan apa yang dikatakan orang. Toh, orang-orang hanya melihat sesuatu dari luarnya saja tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bagi ustadz Ramdan, yang terpenting itu Allah. Kalau Allah mengetahui apa niatnya dan tahu jalan pikirannya, ustadz Ramdan tidak masalah.
Jika orang-orang melakukan fitnah terhadap dirinya. Yang akan dilakukan olehnya hanya terdiam dan tersenyum. "Siapa tau, pahala orang yang memfitnah kita jadi berpindah ke kita?" Begitulah kata ustadz Ramdan.
Tapi, tetap saja. Bagi diriku. Fitnah tetaplah fitnah. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan dari fitnah. Meskipun pembunuhan terlihat kejam, tapi fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Aku tidak akan sanggup. Iya, aku tahu kalau aku memiliki Allah. Jika ada sesuatu yang menggangguku atau orang-orang mulai menggosip dan menjauhiku, aku masih punya Allah. Dia akan terus bersama hamba-hamba-Nya yang sabar.
Ustadz Ramdan sudah melajukan motornya kembali menuju gerbang sekolah. Aku berdiri memerhatikan. Di detik berikutnya, aku melangkahkan kakiku menuju gerbang sekolah yang jaraknya lumayan jauh. Belum lagi jalan ke kelas. Cukup jauh dari pintu gerbang.
"Assalamu'alaikum, Rahma. Selamat pagi," Aku menoleh ketika suara berat seseorang memberi salam padaku. Aku tersenyum sekilas. Radit berjalan menyamakan langkah kakinya dengan langkah kakiku.
"Wa'alaikum salam," jawabku.
Aku jadi teringat perkataan kak Fariz tadi pagi saat sarapan. Apa maksud dari perkataan kak Fariz?. Aku melirik Radit. Apa Radit suka denganku?
"Ada apa, Rahma?" tanyanya karena merasa diperhatikan olehku. Aku menggeleng sambil tersenyum simpul. "Enggak ada," jawabku. Dia mengangguk dan tidak membahasnya lagi.
UTS tinggal tiga hari lagi. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dari yang pertama kali Radit masuk ke kelas sebagai anak baru, tidak lama kemudian Yumna berhijrah. Lalu, aku yang ikut pengajian bersama Yumna di sekolah dan bertemu dengan ustadz Ramdan di sana. Sampai ustadz Ramdan menjadi guru ngaji dirumah karena abi.
"Pagi ini, kita rohis kan, ya?" Radit menyadarkan aku dari lamunan.
"Ya?"
"Kamu ngelamun, Rahma?"
Aku menggeleng. "Kamu tadi ngomong apa?"
"Pagi ini kita rohis, kan?" Radit mengulang perkataannya lagi. Aku mengangguk. "Sepertinya, hari ini jadwal kamu yang memimpin baca surat Yasin," katanya lagi.
Spontan pupil mataku melebar. "Aku?" Radit mengangguk. "Tapi, aku enggak tau. Sepertinya tidak ada jadwalnya," kataku.
"Baru saja dibuat beberapa hari yang lalu. Kamu belum lihat?" Aku menggeleng. "Ya sudah. Masih ada waktu sepuluh menit. Nanti kamu ditemani Yumna dan pak ustadz Ramdan. Jadi, jangan khawatir," katanya. Aku mengangguk. Sedikit lega karena Yumna ada bersamaku.
***
Benar saja. Ustadzah Arum mengajar disekolahku. Dia menjadi guru honorer disekolahku dan mengajar mata pelajaran pendidikan agama. Tapi, ustadzah Arum hanya mengajar kelas 10. Dia tidak mengajar dikelas 11.
"Jangan minum sambil berdiri," Suara itu membuatku hampir tersedak. Aku menengok dan mendapati ustadz Ramdan sedang memerhatikanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Spiritüel"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...