45. Butuh Waktu

593 27 3
                                    

Dengan perlahan-lahan aku membuka mataku. Mengerjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinaku. Dinding bercat putih, dan aroma obat langsung tercium di indera penciumanku. Suara seorang mengaji dengan amat merdunya membuatku menoleh kearah sumber suara tersebut. Aku mendapati pak Ramdan yang sedang duduk dibangku yang tak jauh dari bangsalku. Sudah lama sekali aku tidak mendengar pak Ramdan mengaji. Sudut bibirku tertarik sehingga terbentuk sebuah senyuman.

Cukup lama pak Ramdan mengaji. Lama kuperhatikan, baju yang dikenakan pak Ramdan masih sama dengan baju yang dipakai kemarin. Iya, kemarin ketika pak Ramdan menyuruhku untuk pergi. Aku masih mengingatnya. Bahkan kecelakaan yang kualami kemarin masih bisa kuingat dengan jelas. Sebuah truk menabrak mobil yang sedang aku tumpangi. Padahal, sopirku sudah berusaha untuk menghindarinya, bahkan memberikan klakson berulang kali. Namun, sopir truk tidak mendengarnya karena kantuknya yang mungkin tak dapat tertahankan lagi. Aku sangat bersyukur, Allah masih melindungi diriku. Aku hanya mengalami luka yang tidak begitu parah. Sedangkan sopir yang bersamaku itu, aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.

Pak Ramdan menyelesaikan mengajinya ketika melihat diriku yang sudah terbangun. Pak Ramdan beranjak dari duduknya dan menghampiriku. Dari dekat, aku bisa melihat wajah pak Ramdan yang terlihat lelah dan kurang tidur. Pasti pak Ramdan begadang seharian menungguku.

"Kamu sudah bangun, Rahma?" katanya. Aku mengangguk lemah. "Terimakasih sudah bangun dengan cepat. Terimakasih," katanya lagi sambil menggenggam tangan kiriku yang terpasang jarum suntik, lalu menciumnya. "Aku panggil dokter dulu, ya? Untuk memeriksa keadaanmu?" katanya. Aku mengangguk.

Saat pak Ramdan keluar dari ruanganku. Aku bertanya-tanya mengenai sikap pak Ramdan yang berubah padaku. Panggilannya pun berbeda. Biasanya 'saya' dan tadi menjadi 'aku'. Ada apa sebenarnya? Selain itu, mengapa tampang pak Ramdan terlihat sangat sedih sekali? Bukan hanya sedih, melainkan ada luka dan penuh penyesalan dari tatapannya.

Tidak lama kemudian, pak Ramdan datang bersama seorang dokter dan seorang suster. Setelah izin dariku dan pak Ramdan, dokter memeriksa kondisiku.

"Bu Rahma, kondisinya sudah baik-baik saja. Tidak seperti semalam yang masih butuh pengawasan. Hanya tinggal pemulihan saja. Beberapa alat akan dilepas. Lalu, alat bantu pernapasannya juga akan diganti," jelas dokter. Setelah menjelaskan kondisiku, mencopot beberapa alat yang terpasang dianggota tubuhku, dan mengganti masker oksigen dengan selang oksigen. Dokter dan suster pamit untuk melanjutkan tugasnya lagi diruangan lain.

"Rahma," pak Ramdan mendekati bangsalku. Dia menggenggam tangan kiriku dan berlutut setelah dokter dan suster sudah benar-benar pergi. "Aku minta maaf. Mas, minta maaf, Rahma." Tiba-tiba pak Ramdan menangis dihadapanku. Aku pun langsung khawatir. Ini kali kedua aku melihat pak Ramdan menangis dihadapanku. Yang pertama saat aku memintanya untuk menikahi bu Arum.

"Sebenarnya ada apa, pak?"

"Aku tidak tau bagaimana harus memberitahu kamu, Rahma. Aku tidak ingin melihat kamu terus menangis dan tersakiti. Kamu sudah banyak terluka dan tersakiti karena aku."

"Ada apa, pak?" Aku mulai cemas. Apa yang dikatakan pak Ramdan, mulai membuatku takut. Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi, tapi aku belum mengetahuinya. Ada yang disembunyikan oleh pak Ramdan. "Apa ini tentang aku yang ingin pergi dari hidup pak Ramdan atau sebaliknya?"

Pak Ramdan menggeleng. "Kenapa kamu nggak ngasih tau aku kalau kamu hamil, Rahma?" Aku terdiam. "Kenapa aku harus mengetahuinya dari Arum? Kenapa aku telat untuk mengetahui semuanya?"

"Ini bukan salah pak Ramdan," kataku. Tanpa sadar, aku sudah ikut menangis. Bantal yang kupakai pun menjadi basah. "Jangan menyalahkan diri pak Ramdan sendiri. Karena apa yang sudah terjadi, bukan sepenuhnya salah pak Ramdan." Pak Ramdan tiba-tiba memeluk tubuhku yang terbaring lemah di atas bangsal. Walaupun kondisiku sudah baik-baik saja, tapi aku masih dalam pemulihan.

"Ini semua salah aku. Karena diriku, kamu harus kehilangan bayi kamu. Bayi kita." Perkataan pak Ramdan bagaikan petir yang menyambar begitu dahsyatnya. Berita yang disampaikan melalui pak Ramdan, membuat aku bisu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Pikiranku langsung kosong. "Rahma?" Pak Ramdan menguraikan pelukannya dan menatap wajahku.

"Itu enggak mungkin kan, pak? Bagaimana aku bisa kehilangan bayiku? Aku menjaganya dengan baik dan aku sudah berhati-hati. Pak sopir juga sudah membantuku menjaga bayiku selama diperjalanan. Lalu, bagaimana bisa? Itu mustahil kan, pak? Pak Ramdan jangan buat Rahma takut. Rahma ... Rahma nggak bisa hidup tanpa bayi yang ada dikandunganku." kataku meracau.

"Rahma?"

"Anak kita baik-baik saja, pak. Percaya sama Rahma. Karena Rahma sudah menjaganya dengan baik dan berhati-hati." Aku memegang perutku dan mengusapnya. Saat aku mengusap-usap perutku, perutku kembali datar seperti sebelum hamil. Tidak buncit. Aku tidak merasakan adanya perut bunci yang terdapat bayi di dalamnya. "Kenapa Rahma tidak bisa merasakan kehadirannya?" kataku lagi. "Usia kandunganku hampir memasuki usia dua bulan. Dan aku punya hasil USGnya, kok. Kalau pak Ramdan tidak percaya, aku bisa menunjukkannya. Aku sudah melihat bayi kita yang mulai terbentuk. Pasti pak Ramdan juga ingin melihatnya, bukan? Bagaimana setelah pulang dari rumah sakit, kita sama-sama pergi ke dokter kandungan? Untuk melihat bayi kita?"

"Rahma, istighfar!" Saat pak Ramdan membentakku dengan menyuruhku beristighfar, aku langsung menangis tersedu-sedu. Menangis begitu dengan hebatnya. Semua sakit yang aku rasakan selama ini ditambah aku yang kehilangan bayiku, aku menumpahkan segalanya di dalam tangisanku saat ini. Aku menangis sejadi-jadinya. Pak Ramdan merengkuh tubuhku. Memelukku dengan sangat eratnya.

"Maafkan aku, Rahma. Aku adalah suami yang tak berguna. Suami yang tidak mengetahui kondisi sang istri. Tidak mengetahui apa yang sedang dialami sang istri. Aku minta maaf, Rahma. Jika aku tidak menyuruhmu pergi, mungkin ini semua tidak akan terjadi." Aku tidak begitu mengindahkan perkataan pak Ramdan. Aku sibuk menangisi segala hal yang terjadi padaku, termasuk kehilangan bayiku yang sudah aku jaga dengan sebaik-baiknya dan berhati-hati. "Maafin aku, Rahma."

Lima menit telah berlalu. Aku masih menangis. Di menit ketujuh, aku mulai tenang. Yang ada hanya sisa-sisa air mataku yang membasahi kedua pipiku. Aku juga masih berada di dalam pelukan pak Ramdan. Setelah merasa lebih tenang, aku melepaskan diriku terlebih dulu dari dalam dekapan pak Ramdan. Menghindari kontak mata dengan pak Ramdan. Dan di detik ini pula, aku tidak ingin melihat wajah pak Ramdan dulu untuk sementara.

Aku kembali berbaring. Aku membelakangi pak Ramdan dan menatap lurus ke depan kearah dinding rumah sakit yang bercat putih polos dengan tatapan kosong. Rasa sedih bercampur luka dan penyesalan masih bisa aku rasakan di dalam diriku, di dalam benakku. Entah, saat ini aku ingin sendiri.

"Rahma?" Aku menghiraukan panggilan pak Ramdan. Bukan ingin menjadi istri yang durhaka. Hanya saja, aku ingin sendiri. Tanpa diberitahu olehku, aku ingin pak Ramdan mengerti aku yang sedang ingin sendiri dulu. Butuh waktu bagiku untuk menerima keadaanku saat ini.

Aku tidak mengerti dengan keadaanku saat ini. Kehilangan bayi atau seorang anak merupakan sesuatu yang amat sangat menyakitkan dan sangat disesali. Namun harus diterima dengan lapang dada, harus ikhlas. Sama halnya dengan anak yang kehilangan orang tuanya.

Tetapi, bagaimanapun semua makhluk hidup yang hidup dimuka bumi ini nantinya akan kembali lagi pada-Nya. Allah yang memberikannya dan Allah juga yang mengambilnya. Aku juga percaya, semua yang terjadi saat ini pasti ada hikmahnya. Dan akupun percaya, suatu saat aku pasti akan diberikan kepercayaan lagi untuk melahirkan juga membesarkan seorang anak.

Tapi, aku benar-benar sedang ingin menyendiri. "Aku butuh waktu untuk sendiri, pak. Bisa tinggalkan Rahma seorang diri?" kataku pada pak Ramdan. Aku tidak menyalahkan siapapun. Karena ini sudah menjadi takdirku, sudah menjadi jalannya untukku. Semua yang sudah terjadi akan aku terima dengan lapang dada, dengan ikhlas.

"Baiklah." Pak Ramdan beranjak dari bangsalku dan keluar dari ruangan. Meninggalkanku seorang diri. Sesuai dengan permintaanku dan keinginanku.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang