Setelah enam bulan aku tidak bertemu dan berkomunikasi dengan bu Arum, hari ini bu Arum menghubungiku. Dia mengajakku bertemu di sebuah taman yang berada tak jauh dari SMA-ku dulu yang baru saja dibuat. Katanya, ada yang ingin dia katakan padaku.
Alasanku tidak menghubunginya karena aku bingung harus berbicara apa. Sedangkan tidak ada yang bisa kubahas dengan bu Arum selain menanyakan perihal kabar. Sudah enam bulan juga aku tidak menjalin komunikasi dengan pak Ramdan dan kami tidak pernah bertemu lagi selain bertemu di gedung pengadilan agama untuk menghadiri sidang perceraian kami.
Bu Arum dan aku sudah janji bertemu pada pukul 10.00 WIB. Aku segera bersiap-siap dan meminta kak Zaki mengantarku ke taman. Untung saja kak Zaki bersedia mengantarku tanpa bertanya apapun.
Sesampainya ditaman. Kak Zaki langsung pamit pergi kerumah temannya yang dekat dari taman. Sebelum pergi, kak Zaki berkata, "Kalau sudah selesai urusannya, telepon aja. Kakak sengaja kerumah teman yang deket dari sini biar gampang jemput kamu, dek. Jadi kakak nggak perlu bolak-balik." Aku mengangguk. Kemudian, aku masuk ke dalam taman. Bu Arum sudah menungguku di dalam.
Aku melihat bu Arum sedang duduk dibangku panjang bersama dua orang yang tak dikenal lainnya. Dari kejauhan, aku melihat perut bu Arum sudah membesar. Aku berjalan kearahnya. "Assalamu'alaikum, bu Arum." kataku memberi salam. Bu Arum menoleh kearahku dan tersenyum. Dia membalas salamku. "Wa'alaikum salam," jawabnya. Aku tersenyum dan mendudukan tubuhku di dekat bu Arum.
"Sudah lama menunggu, bu?"
"Enggak, kok."
"Maaf ya, bu. Soalnya tadi dijalanan macet."
"Iya, Rahma. Tidak apa-apa."
Aku menatap sebentar perut bu Arum yang sudah membesar, kemudian menatap bu Arum. "Sudah sembilan bulan ya, bu?" tanyaku. Dia mengangguk. "Kapan lahirannya?" tanyaku lagi.
"Sekitar satu minggu lagi. Do'ain ya, semoga lancar?"
"Aamiin."
Setelahnya, kami berdua saling terdiam. Tidak ada lagi yang kami bicarakan. Satu menit berlalu dan kami masih saling terdiam. Di dua menit kemudian, barulah aku bersuara. "Apa yang ingin bu Arum bicarakan?" tanyaku.
"Sebelumnya, apa kamu tidak ingin menanyakan kabar Fahri, Rahma?" Bu Arum menatap wajahku. Aku terdiam. "Kamu tidak ingin mengetahui kabar Fahri selama ini, Rahma?"
Aku menggeleng, tanpa menatap bu Arum. "Untuk apa? Toh, aku akan bertemu lagi dengannya nanti di gedung pengadilan agama." Bu Arum yang mendengar jawabanku seperti itu hanya bisa menghela nafas panjang.
"Rahma, apa yang kamu lihat dari luar adalah kebohongan. Maksud aku, meskipun Fahri terlihat tegar dan menerima keputusanmu ini, sebenarnya tidak. Fahri tidak ingin bercerai dari kamu."
Aku menatap bu Arum. "Lalu, kenapa pak Ramdan menandatanganinya?"
"Itu karena dia marah sama kamu, Rahma. Kenapa kamu tidak bisa memahami Fahri, Rahma?"
Aku tertawa hambar. "Itulah salah satu alasanku memilih untuk berpisah dengan pak Ramdan. Aku sama sekali tidak bisa memahaminya dan akupun bersikap egois di saat aku tidak bisa memahaminya."
"Rahma."
"Aku tau alasan bu Arum mengajakku bertemu. Bu Arum hanya ingin tau alasanku kenapa aku mengajukan gugatan cerai, bukan?"
"Bukan begitu, Rahma. Aku ngajak ketemuan karena aku ingin memberikan kabar tentang Fahri."
"Bu Arum sudah mengetahui salah satu alasanku ingin bercerai. Pak Ramdan pantas mendapatkan pasangan hidup yang lebih bisa memahaminya dibanding aku. Seperti bu Arum. Bu Arum mengenal pak Ramdan dari luar dan dalam, jadi bu Arum bisa memahaminya. Sedangkan aku, aku hanya seseorang yang egois. Yang hanya memedulikan diriku saja tanpa memikirkan orang lain. Aku hanya seseorang yang hanya bisa menyerah di saat aku tidak bisa memahaminya. Selain itu, alasan lainnya aku ingin bercerai sudah beritahu ketika bu Arum dan pak Ramdan datang kerumah umi." kataku tidak mengindahkan perkataan bu Arum.
"Fahri?" Bu Arum memanggil nama pak Ramdan yang berarti ada pak Ramdan ditaman. Aku menoleh ke belakangku dan dugaanku benar. Ada pak Ramdan di taman dan sekarang dia sedang berdiri tepat di belakangku.
Mungkinkah pak Ramdan mendengar semua yang aku katakan?
"Bukankah saya sudah melarang kamu untuk bertemu atau berhubungan dengan Rahma, Arum?" Nada bicaranya terdengar dingin sekali. Tatapannya yang lebih tajam, suaranya yang terdengar lebih dingin dan mengintimidasi dari sebelumnya. Membuatku takut untuk sekedar menatapnya. Aku segera memalingkan wajahku.
Bu Arum berdiri. "Bagaimana kamu bisa tau aku di sini?" tanyanya. Bukannya menjawab. Pak Ramdan menarik lengan bu Arun. "Ayo, pulang!" kata pak Ramdan pada bu Arum.
"Aku sedang berbicara dengan Rahma, Fahri."
"Untuk apa? Apa lagi yang ingin dibicarakan? Kamu sudah mendengar semuanya! Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Arum!" Aku terkejut ketika pak Ramdan membentak bu Arum. Beberapa orang yang berada ditaman langsung menoleh kearah kami bertiga.
Aku melihat kearah bu Arum yang terlihat ketakutan. Aku mendekati bu Arum dan memeluknya dari samping. "Tidak bisakah pak Ramdan berbicara lebih lembut ke bu Arum? Bu Arum sedang hamil dan ini merupakan tempat umum!"
"Diam kamu! Ini urusan saya dengan istri saya. Kamu tidak berhak ikut campur dengan urusan keluarga saya! Dan berhenti pura-pura peduli dengan saya atau Arum!" Aku langsung membisu. Tidak bisa membalas perkataan pak Ramdan. Dan perkataan pak Ramdan mampu membuat hatiku terasa perih dan nyeri. Pelupuk mataku terasa panas. Aku berusaha untuk tidak menangis dihadapan pak Ramdan. Aku juga tidak ingin menangis di tempat umum seperti ini. Aku tidak mau orang-orang membicarakan kami dan berujung menyalahkan pak Ramdan dan akhirnya timbul masalah yang lebih besar lagi. Aku tidak ingin hal itu terjadi.
Perkataan pak Ramdan sangat kasar dan kejam. Baru kali ini pak Ramdan berkata dan bersikap kasar padaku.
"Fahri, bicara kamu sudah keterlaluan ke Rahma."
"Tapi, memang faktanya seperti itu Arum. Sudah, ayo pulang!" Pak Ramdan membawa bu Arum meninggalkan taman.
Setelah pak Ramdan dan bu Arum pergi, aku terduduk lemas dibangku. Aku menundukkan kepalaku. Air mataku yang tak dapat terbendung lagi akhirnya tertumpahkan. Aku menangis. Di saat aku sedang menangis, seseorang datang dan duduk di dekatku. Dia pun memelukku. Aku mendongak dan mendapati Yumna yang sedang memelukku. Aku langsung membalas pelukannya dengan erat dan menangis sejadinya di dalam pelukan Yumna.
"Tidak usah bercerita. Aku sudah mengetahui semuanya." katanya di telingaku. "Maaf aku baru datang. Maaf aku tidak bisa membelamu tadi. Karena aku tidak ingin menambah masalah."
"Tidak apa, Yumna." kataku di sela-sela tangisku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Spiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...