33. Sakit Tapi Tak Berdarah

516 27 0
                                    

Sesudahnya aku mengambil keputusan. Kak Fariz langsung menyuruhku dan pak Ramdan pulang kerumah untuk bersiap-siap. Waktu yang terisa tinggallah sedikit. Kurang dari setengah jam. Sesampainya dirumah, waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Sudah waktunya acara akad dimulai.

Sebenarnya, saat tadi aku pergi ke kantin rumah sakit. Radit meneleponku dan memberitahuku, bahwa keluarga bu Arum sudah mengetahui tentang kak Fariz yang mengalami kecelakaan. Setelah Radit memberi kabar itu, aku segera menghubungi bu Arum. Aku meminta bu Arum untuk tenang dan aku bilang, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Lalu, ketika pak Ramdan dan kak Fariz sedang berbicara mengenai pernikahan akan tetap dilangsungkan dan digantikan oleh pak Ramdan. Aku langsung menghubungi bu Arum. Ya, aku menelepon bu Arum lagi untuk memberinya kabar. Aku memberitahu semua apa yang tengah dibicarakan oleh pak Ramdan dan kak Fariz, meskipun tidak secara detail.

Jadi, aku sudah mempersiapkan diriku. Aku sudah menguatkan diri juga hatiku sejak dirumah sakit. Sejak kak Fariz memohon kepada pak Ramdan untuk menikahi bu Arum, sebagai penggantinya. Bukannya aku menguping, hanya saja pembicaraan keduanya bisa aku dengar dari luar ruangan. Entah kak Fariz atau keduanya sengaja berbicara keras-keras atau tidak, padahal mereka tahu kalau ada aku di luar dan bisa mendengar semua apa yang mereka bicarakan.

Aku juga meminta bu Arum dan keluarganya untuk datang ke masjid. Pernikahan akan tetap terlaksanakan. Aku juga bilang, bahwa pak Ramdan yang akan menggantikan kak Fariz dan aku bilang, bahwa itu adalah permintaan terakhir dari kak Fariz. Selain itu, aku meminta bu Arum untuk bilang ke penghulu untuk menunggu selama tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan, hingga pak Ramdan datang ke pelaminan. Bu Arum menyetujuinya.

Pak Ramdan sudah selesai memakai setelan pernikahan kak Fariz. Sangat cocok dan pas ditubuh pak Ramdan. Pak Ramdan juga terlihat tampan, sama seperti saat pak Ramdan memakai setelan pernikahannya denganku waktu itu. Aku menarik sudut bibirku meskipu rasanya berat sekali.

"Kamu tidak bersiap-siap?" tanya pak Ramdan. Selama pak Ramdam bersiap-siap, aku tidak bersiap-siap. Mengganti pakaianku saja, tidak. Aku masih menggunakan pakaian kemarin. Aku terdiam. Aku tidak bisa beralibi di depan pak Ramdan. Aku pun jadi merasa bersalah.

Aku mengizinkan pak Ramdan untuk menikah lagi demi permintaan kak Fariz. Aku pun sudah mengikhlaskannya. Tetapi, sikapku malah menunjukkan sebaliknya. Pak Ramdan menatap wajahku dengan lekat. Aku yang tidak berani membalas tatapan pak Ramdan, langsung menundukan wajahku.

"Jika ini terasa begitu berat bagi kamu. Saya tidak akan melakukannya, Rahma. Bukan hanya kamu saja, Rahma. Saya juga merasa ini terasa berat. Sangat. Saya tidak ingin menyakiti siapapun, terutama kamu." Pak Ramdan menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Terasa hangat.

"Rahma, lihat saya. Katakan, kalau kamu tidak ingin saya menikah lagi. Saya tidak akan menikahi Arum. Saya tau kalau dari dulu kamu cemburu dengan Arum. Saya tau kalau kamu sebenarnya tidak begitu menyukai saya yang dekat dengan Arum."

Aku memberanikan diriku membalas tatapan pak Ramdan. "Bukankah Rahma sudah pernah bilang? Rahma tidak masalah kalau pak Ramdan menikah lagi. Rahma tidak merasa keberatan. Yang penting bagi Rahma adalah pak Ramdan tidak akan pernah berubah pada Rahma. Pak Ramdan akan selalu mencintai dan menyayangi Rahma. Itu saja," kataku. Pak Ramdan langsung membawaku ke dalam pelukannya. Di dalam pelukan pak Ramdan, aku yang sudah tidak bisa menahan tangisku pun mulai menangis tersedu-sedu. Pak Ramdan semakin memelukku dengan erat. Aku membalas pelukan pak Ramdan, dengan erat. Untuk pertama kalinya aku memeluk pak Ramdan.

"Pergilah, pak Ramdan. Sudah waktunya. Mereka sudah menunggu terlalu lama. Jangan biarkan mereka menunggu lebih lama lagi," kataku di sela-sela isakku. "Aku akan menyusul."

***

Aku berbohong mengenai diriku yang akan menyusul pak Ramdan ke masjid. Aku lebih memilih pergi ke rumah orang tuaku. Aku mengurung diriku di dalam kamarku dan mengunci pintu kamar.

Sebelumnya aku berkata, kalau aku ikhlas dan aku sudah menguatkan diri juga hatiku. Seikhlas apapun diriku, sekuat apapun aku menahannya. Rasa sakit itu datang kembali. Membayangkan pak Ramdan mengucapkan nama bu Arum di dalam ijab kabul, aku tidak sanggup. Apalagi jikalau diriku berada di sana, langsung menyaksikan ijab kabul. Mungkin acara akad nikah sudah di mulai. Mungkin keduanya sudah saling memasangkan cincin di kedua jari manis mereka masing-masing.

Beberapa pertanyaan pun muncul di dalam benakku. Apakah pak Ramdan akan memakai kedua cincin di jari manisnya? Ataukah pak Ramdan melepaskan cincin kawinnya bersama diriku?

Aku menggeleng-geleng sambil menangis tersedu-sedu. Aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak ingin ini semua terjadi. Tetapi, ini sudah menjadi kehendak Allah.

"Mengapa harus bu Arum?" Aku terisak. Aku benar-benar hancur. Aku harus bersikap seperti apa nanti? Mungkin saja bu Arum nanti akan tinggal satu rumah denganku dan pak Ramdan.

Suara ketukan pintu begitu keras terdengar dari luar kamarku. "Rahma, ini kak Zaki. Buka pintunya! Kakak tau kamu ada di dalam! Buka, Rahma!"

Aku mempererat pelukanku terhadap guling. Aku tidak ingin siapapun melihat kondisiku yang menyedihkan seperti sekarang. Dari suara kak Zaki, terdengar sekali kalau dia marah. Aku yang membayangkan wajah kak Zaki yang marah sekaligus sedih seperti waktu itu, aku tidak sanggup. Aku tidak ingin kak Zaki melihatku. Kak Zaki pasti lebih tidak berdaya dibanding aku.

"Buka pintunya atau kakak dobrak!" Aku tidak menyahutinya. "Baik, kalau gitu kakak akan dobrak pintunya dalam hitungan ketiga." Aku masih tidak menyahutinya. "Satu. Dua. Tiga ...." Pintu berhasil terbuka. Pasti rasanya sakit sekali setelah mendobrak pintu yang keras terlebih lagi dikunci.

Kak Zaki berlari menghampiri aku yang berada di balik kasur sambil menatap ke luar balkon. Dia langsung memelukku dengan erat. Air mataku yang sudah turun sangat deras, semakin deras. Aku membanjiri baju kak Zaki dengan air mataku. Kak Zaki mengusap kepalaku yang memakai kerudung. Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya menenangkanku dengan pelukannya yang hangat. Pelukan seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya.

"Sakit sekali, kak." kataku.

"Tentu. Terasa konyol apabila tidak merasa sakit."

"Bagaimana pernikahannya? Apakah berjalan dengan lancar?"

"Bodoh. Lupakan soal pernikahan. Jika tidak lancar, kenapa kakak harus datang mencarimu?"

"Di mana umi dan abi?"

"Sedang dalam perjalanan pulang ke rumah."

"Jadi, kak Zaki pulang duluan tanpa menunggu acara pernikahan selesai?"

"Buat apa? Lebih baik kakak menemani adik kakak yang sedang bersedih ini dibanding menunggu pernikahan mereka selesai."

"Tapi kak Zaki menyaksikan ijab kabul pak Ramdan?"

"Sudah, sudah. Jangan bahas itu lagi, ya? Sudah cukup kamu terlukanya."

"Tapi kak Zaki menyaksikannya, kan?"

"Ya, tentu. Karena kak Zaki dan abi yang menjadi saksinya."

Aku pun langsung terdiam. Aku tidak bertanya apa-apa lagi. Seperti kata kak Zaki, lebih baik tidak membahasnya lagi daripada aku tambah terluka. Tapi anehnya, aku malah merasa ingin tahu.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang