Menjadi MABA bukanlah hal yang terlalu buruk. Setelah tiga hari menjalani OSPEK, akhirnya aku dan mahasiswa baru lainnya resmi menjalani aktivitas perkuliahan sesuai jadwal yang sudah diberikan.
Rasanya sangat menyenangkan masuk dunia perkuliahan. Ada sesuatu yang beda dari masa-masa sekolah sebelumnya. Selain itu, kukira Yumna tidak akan kuliah, tapi nyatanya dia juga kuliah. Aku turut senang karena akhirnya kami satu universitas. Selain itu, Yumna mengambil fakultas yang sama denganku. Meskipun tidak satu kelas, setidaknya satu gedung. Jadi tidak harus jauh-jauh untuk bertemu.
Sebelum masuk ke dunia perkuliahan. Lebih tepatnya masih dalam masa nganggur atau masih menjadi pengangguran setelah seminggu wisuda. Kedua orang tuaku memanggilku untuk membicarakan sesuatu yang penting yang berkaitan dengan masa depanku.
Ummi dan abi bertanya apa rencana aku ke depannya. Aku sih, kepinginnya bekerja dulu baru kuliah. Tapi, ummi kepingin aku langsung kuliah. Ummi tidak melarangku untuk bekerja. Hanya saja ummi ingin aku fokus ke kuliah, menuntut ilmu supaya nanti bisa dapat pekerjaan yang lebih baik dari sekarang. Kalau abi sih, ikut saja apa kemauanku.
Awalnya aku kekeuh ingin bekerja, tapi ummi juga kekeuh ingin aku berkuliah seperti kak Zaki. Kak Zaki wajar saja kuliah supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena dia laki-laki. Laki-laki itu tanggung jawabnya lebih besar dibanding perempuan. Kalau perempuan kuliah, ujung-ujungnya adanya di dapur. Lalu, kapan membahagiakan orang tua? Maka dari itu, aku memutuskan untuk bekerja supaya bisa membahagiakan orang tua. Itulah yang kupikirkan saat itu.
Sampai pada akhirnya abi memutuskan aku untuk berkuliah dulu. Jika aku ingin bekerja, silakan saja. Kuliah sembari kerja. Abi mengizinkannya. Tapi, kembali lagi ke akunya. Saat aku bekerja sambil kuliah, apa akunya sanggup atau tidak. Jika aku menyanggupinya, takutnya nanti akan terbagi fokusku. Di mana satu sisi aku harus fokus dengan pelajaran, satu sisi aku harus bekerja. Sampai sekarang aku masih memikirkan hal itu.
Tetapi ... aku mengambil kelasnya bukan kelas karyawan. Melainkan kelas biasa.
"Kenapa sih, Ma? Kusut aja tuh muka. Padahal masih pagi," kata Sifa. Teman baruku dikampus. Kami sedang berada dikantin. Pagi ini aku tidak bertemu dengan Yumna karena jadwalnya berbeda dan sedang tidak sama jadwalnya denganku.
Oh, iya. Aku memilih fakultas Ekonomi dan mengambil jurusan akuntansi. Lucu, ya? Padahal waktu SMA, aku jurusan IPA. Tapi, aku mengambil jurusan akuntansi di kuliah. Begitu juga dengan Yumna. Entah, mungkin aku ingin mencobanya. Siapa tahu suka? Tapi, tidak tahu alasan Yumna mengambil jurusan akuntansi bukannya yang lain.
Aku tersenyum simpul sambil menggeleng. "Sifa," Aku malah memanggil namanya. "Kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Tidak jadi," kataku.
"Serius?" Aku mengangguk.
"O iya, Rahma. Kita kan baru satu hari nih, kuliahnya. Gue denger-denger, ada yang naksir sama lo tauuu ...." Sifa mulai bergosip.
"Ada yang naksir aku apa kamu? Atau kamu yang naksir sama someone?" Aku menggodanya. Sifa mudah sekali tersipu jika ada yang menggodanya sepertiku barusan. "Benar ada yang kamu taksir?" tanyaku lagi sambil menyenggol lengannya.
"Sudah waktunya masuk. Ayo, ke kelas sebelum telat!" Sifa sudah berdiri dan berjalan duluan keluar dari kantin. Aku dan Sifa sama-sama datang terlalu pagi. Makanya, kami memutuskan pergi ke kantin sambil menunggu kelas dimulai.
"Sifa, tunggu!" Aku berlari kecil menyusul langkah Sifa. "Jangan menghindar dari pertanyaanku, Sifa," kataku setelah langkah kakiku sama dengannya.
"Tidak, Rahma. Tidak ada," alibinya. Aku tahu Sifa berbohong. Karena pipinya langsung memerah begitu saja ketika berbohong. Aku tertawa melihat Sifa yang sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
"Rahma," suara berat seorang laki-lali membuat langkahku dan Sifa berhenti. Aku menoleh ke belakang. Begitu juga dengan Sifa. Aku tidak kenal dengan laki-laki yang memanggil namaku tadi. Mungkin teman sekelas dan mungkin juga teman sekelompok waktu OSPEK.
"Ya?"
"Ini surat untukmu. Bacanya nanti saja, ya? Kalau kamu sudah dirumah. O iya, kita teman sekelas. Namaku Bara. Muhammad Bara Alfarizi," kata laki-laki yang kini sedang berhadapanku yang bernama Bara sambil menjulurkan sebuah amplop surat berwarna ungu.
Kulihat Sifa menengadahkan tangan kanannya. Lalu, kulihat Bara memgernyit. "Surat buat gue, mana? Kok, cuma buat Rahma?"
"Minta aja sana sama si Rafa," Bara menyahuti.
"Ngapa jadi bawa-bawa nama gue, dah?" Laki-laki yang memiliki tinggi badan yang lebih tinggi sedikit dari Bara.
"Tuh, si Sifa minta surat juga, katanya. Kasih gih," jawab Bara.
"Iya, nanti gue kasih. Surat kematian, ya nggak?" kata si Rafa menimpali.
"Ihh ... kok, kalian jahat, sih?" Sifa merajuk. Kami sudah berada di depan kelas. Tinggal masuk ke dalam. Tapi, kami berhenti di depan kelas untuk sekedar mengobrol dan bercanda. Untung saja belum ada dosen di kelas.
"Udah, ayo masuk!" kataku menengahi ketiganya. "Nanti aku baca dirumah," kataku pada Bara.
"Siap," Bara mengacungkan ibu jarinya. Aku pun menggandeng lengan Sifa. Mengajaknya masuk daripada berdebat dengan kedua laki-laki yang masih berada di depan kelas.
***
Sesampainya dirumah. Aku segera mengambil wudhu. Aku belum melaksanakan shalat ashar karena tadi aku sedang berada di dalam perjalanan saat sedang adzan berkumandang. Selesai shalat. Aku berjalan kearah tasku yang berada di atas kasur. Aku mengambil amplop surat berwarna ungu yang diberikan oleh Bara tadi dikampus.
Aku membuka amplop tersebut dan mengeluarkan kertasnya. Aku mulai membaca isi surat tersebut. Tidak ada yang istimewa dari isi suratnya. Tapi, entah mengapa, aku malah tersenyum ketika membacanya. Mungkin, menurutku lucu.
Beginilah isi surat yang ditulis oleh Bara;
Assalamu'alaikum, Rahma.
Kamu pasti merasa aneh kan, kenapa dihari pertama masuk aku malah memberi surat padahal kenal saja belum. Aku juga. Aku sendiri bingung kenapa bisa bikin surat untuk kamu.
Lalu kamu pasti bertanya-tanya aku mengenal kamu dari mana. Aku sendiri juga tidak tahu. Aneh, ya? He he. Begitulah aku. Aneh. Tapi percayalah, kita pernah bertemu. Mungkin kamu tidak melihatnya.
Aku menulis surat ini hanya untuk kamu. Khusus kamu. Aku ingin berkenalan sama kamu, Rahma. Lebih tepatnya "mengenal". Mengenal kamu lebih dalam dari siapa pun.
Izinkan aku lebih mengenalmu lebih dalam. Siapa kamu dan seperti apa kamu.
Salam dari Bara. Muhammad Bara Alfarizi.
Ps: jangan dibuang ya, suratnya? Untuk kenang-kenangan. Ha ha.
Sudah kayak Dilan saja aku ini.Wassalamu'alaikum.
Yang membuatku tersenyum ketika dia ingin mengenalku lebih dari siapa pun. Kemudian, yang membuatku bingung, pernah bertemu. Tapi, di mana? Kapan? Aku tidak mengingatnya bahkan tidak mengetahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu
Spiritual"Sejatinya wanita hanya butuh seorang lelaki yang ketika bertatap dengannya ada rasa tanggung jawab". Aku tidak menyangka ketika sosok laki-laki yang bertanggung jawab adalah kamu. Iya, kamu. Seorang lelaki yang pernah kudambakan, tapi tidak pernah...