18. Pamit

328 22 0
                                    

Suara seorang mengucap salam sambil mengetuk pintu, aku yang sedang membantu ummi membuat kue segera bergegas ke ruang tamu untuk membukakan pintu masuk rumah. Aku membukakan pintu sambil menjawab salam. Saat pintu sudah terbuka, kulihat pak Ramdan-lah yang sedang berdiri di depan pintu. Ini masih siang, dan jadwal ngajar ngaji sedang libur karena hari minggu.

Aku mempersilakan pak Ramdan masuk ke dalam dan mempersilakannya duduk. Kemudian aku pamit ke dapur untuk memberitahu ummi kalau pak Ramdan datang ke rumah. Sedangkan pintu kubiarkan terbuka setengah. Mungkin pak Ramdan melihat kedua tanganku yang terdapat gumpalan adonan, celemek yang kupakai penuh terigu. Dan mungkin juga pak Ramdan melihat wajahku yang terdapat noda adonan kue.

Aku masuk ke dalam. Aku melihat Hafidzah sedang bermain masak-masakan sendirian di dekat televisi yang keadaannya sedang menyala. Televisi sedang menampilkan tayangan film kartun Upin dan Ipin. Aku terkekeh melihatnya. Seharusnya Hafidzah menonton televisi, tapi ini televisinya yang sedang menonton Hafidzah.

Aku teringat diruang tamu ada pak Ramdan sedang sendirian. Aku pun menghampiri Hafidzah. Aku duduk di sampingnya.

"Dek," Aku memanggilnya walaupun tidak dihiraukan. "Dek Fidzah," panggilku lagi. Barulah dia melihat kearahku.

"Kak Lahma mau main sama Fijah?"

Aku menggeleng. "Ada pak Ramdan diruang tamu, sendirian. Kamu main sama pak Ramdan saja, sana." kataku. "Pak Ramdan mau kok, main sama Fidzah. Ajak aja main masak-masakan," kataku lagi.

Hafidzah berdiri. "Benelan?" tanyanya. Aku mengangguk. Dia pun membawa beberapa mainannya di pangkuan tangannya sambil berlari ke ruang tamu. Menghampiri pak Ramdan. Aku terkekeh geli. Lalu, aku pergi ke dapur untuk memberitahu ummi.

"Siapa yang datang?" tanya ummi saat aku sudah datang ke dapur.

"Pak Ramdan," jawabku.

"Lho, bukannya hari ini libur ya?"

Aku mengangkat bahuku. "Tidak tahu."

Kulihat ummi mencuci tangannya dan mulai membuatkan minuman. Saat ummi pergi dari dapur sambil membawa teko minuman dan beberapa gelas. Aku segera mencuci tanganku, tidak melanjutkan adonan yang belum dicetak. Membiarkan adonan yang beberapa sudah dicetak ummi begitu saja di meja. Kemudian, aku menyusul ummi.

Aku melihat Hafidzah sedang berada dipangkuan pak Ramdan. Hafidzah sedang menyuapi pak Ramdan. Pak Ramdan berpura-pura menikmati makanan yang dibuat Hafidzah. Manis dan lucu sekali melihat pak Ramdan menimpali anak kecil bermain.

Astaghfirullah. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku duduk dibangku yang sama dengan ummi.

"Silakan di minum, nak." kata ummi sambil menuangkan minuman ke gelas pak Ramdan.

"Terimakasih, bu. Duh, maaf jadi ngerepotin begini. Padahal saya datang ke sini hanya sebentar," katanya.

"Tidak apa-apa. Ada apa, nak? Bukankah hari ini libur ngajar, ya?" kata ummi.

"Iya, benar. Saya datang ke sini bukan untuk mengajar. Saya ingin pamit sama ibu dan keluarga," jelas pak Ramdan.

Aku mengernyitkan kening. Pamit? Memangnya pak Ramdan mau ke mana?

"Mungkin mulai besok dan beberapa tahun ke depannya saya tidak lagi mengajar Rahma dan Zaki mengaji."

"Lho, kenapa memangnya?" tanya ummi heran. Aku hanya diam sambil menyimak. Kini Hafidzah sudah berpindah tempat duduk menjadi di pangkuanku.

"Sebelumnya saya minta maaf jikalau selama ini saya ada salah dengan ibu dan sekeluarga. Alhamdulillah, saya dapat tawaran menjadi dosen diuniversitas yang ada di Brunei Darussalam," jelas pak Ramdan.

Brunei Darussalam? Jauh sekali.

"Masya Allah, nak. Selamat, ya? Ummi ikut senang akan keberhasilan karir kamu menjadi salah satu dosen di Brunei. Ya ampun, ummi senang banget mendengarnya."

Aku terdiam. Rasanya sedih sekali mendengar pak Ramdan akan pergi jauh sekali. Di luar Indonesia. Ummi menyenggol lenganku karena aku sedari tadi diam saja. Tidak bicara apa-apa. Terutama setelah mendengar pak Ramdan yang akan pergi mengajar di Brunei. Walaupun masih satu benua, yaitu Asia Tenggara. Tapi, tetap saja, rasanya ... jauh.

"Selamat ya, pak?" kataku sambil berusaha untuk tersenyum. Ikut senang.

***

Dua minggu sudah setelah pak Ramdan pamit pergi ke Brunei untuk menjadi salah satu dosen di universitas negara sana. Ujian akhir semester pun sudah berakhir dua hari yang lalu. Dan saat ini sekolah sedang mengadakan kegiatan pekan olahraga.

Aku berjalan menuju tribun dengan langkah yang tidak begitu semangat. Aku merasa ada sesuatu yang hilang setelah kepergian pak Ramdan. Ada yang berbeda dengan suasana sekolah ataupun rumah. Mungkin masih sama saja, yang berbeda tidak ada lagi pak Ramdan.

Astaghfirullah, ya Allah. Jangan biarkan aku memikirkan pak Ramdan yang merupakan bukan mahramku. Dia hanya seorang guru. Seharusnya aku memandangnya sebagai seorang guru, bukan sebagai laki-laki. Tolong jaga perasaan hamba-Mu ini, ya Allah.

Yumna memanggil namaku sambil melambaikan tangannya. Dia duduk dibangku tribun dibarisan ke lima dari atas. Pekan olahraga dilakukan dilapangan outdoor. Dan pertandingan di hari pertama kegiatan POS adalah basket putra. Sebelum dimulainya perlombaan, tadi pagi sempat diadakan upacara pembukaan POS terlebih dulu.

Aku duduk di dekat Yumna. "Kelas mana yang akan tanding?" tanyaku kurang antusias.

"Kelas sepuluh IPA satu sama sebelas IPS satu," jawab Yumna. Aku mengangguk.

"Kenapa sih, Ma? Kok, kurang semangat gitu? Mikirin pak Ramdan?" tanya Yumna dengan suara pelan. Takut siswa lainnya mendengar.

"Enggak. Pak Ramdan kan, guru. Aku cuma muridnya. Seharusnya aku tidak menyukai dia. Ada apa dengan diriku, sih? Kok, bisa-bisanya aku jatuh hati dengannya?" kataku dengan suara pelan juga. Yumna terkekeh.

"Akhirnya kamu mengakuinya, Rahma." katanya. "Untung pak Ramdan belum ada cincin kawin dijari manisnya. Kalau sudah, hm ... bisa bahaya. Itu nggak boleh," katanya lagi. Aku menghela nafas panjang.

Belum genap satu tahun aku mengenal pak Ramdan. Tapi, dengan beraninya perasaan ini muncul begitu saja. Aku tidak tahu kapan aku mulai jatuh hati dengan pak Ramdan. Yang kutahi, aku hanya mengaguminya saja. Tidak lebih. Akan tetapi, lama-kelamaan perasaan itu muncul. Rasa kagum perlahan berubah menjadi perasaan yang istimewa. Perasaan yang mengatas namakan cinta, dengan beraninya, tanpa disangka, tumbuh begitu saja dihatiku.

Ya Allah, tolong ingatkan diriku supaya tidak menyukai makhluk ciptaan-Mu dengan berlebihan. Jangan biarkan rasa cinta ini melebihi rasa cintaku kepada-Mu, ya Rabb. Kuserahkan semua ini kepada-Mu. Sesungguhnya, aku takut. Aku takut perasaan ini semakin dalam untuk sosok laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih tua dariku. Dari sosok laki-laki yang sepantasnya menjadi seorang kakak untukku.

Dan ... aku takut perasaan ini akan menyakiti diriku suatu saat nanti.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang