28

1.7K 167 7
                                    

Keberadaan Hiashi disekitarnya adalah sesuatu yang terasa asing bagi Hinata.
Ia bahkan merasa tidak nyaman saat harus berhadapan dengan seseorang yang sekarang dipanggilnya ayah itu.
Hiashi adalah pengganggu, itu yang Hinata tekankan dalam kepalanya.
Bagaimana tidak, Hiashi selalu datang ke Plasma King dan mengamati Hinata yang sedang melakukan pekerjaannya.
Hampir mirip dengan stalker kampus yang sering mengikutinya kemanapun ia pergi.

"Ayah, pergilah. Jangan menggangguku."

Jika Hinata sudah mengatakan itu, artinya ia benar-benar terganggu dengan keberadaan Hiashi disekitarnya.
Bukannya marah atau tersinggung, Hiashi justru menganggap jika itu adalah hal yang lucu, karena Hinata tidak mengucapkannya dalam nada marah, lebih kearah merajuk yang manis.

"Kenapa kau selalu menyuruh ayah pergi ?"

Hiashi selalu tertarik untuk menanyakan itu, meski sudah mengetahui jawabannya.

"Jangan bertanya untuk sesuatu yang sudah tau jawabannya."

Melirik sekilas, melihat Hiashi yang kini menopang dagu dengan wajah antusias.
Hinata bahkan mendapat keistimewaan sekarang, dimana ia memiliki ruangannya sendiri.
Jujur saja, dibandingkan rasa senang, Hinata malah merasa tidak enak hati pada rekan seniornya yang sudah lebih dulu bekerja disini.

Hiashi terkekeh, bahkan wajahnya terlihat lebih muda ketika beliau merasa bahagia seperti ini.
Neji sudah kembali ke Jepang, mengurusi perusahaan dan merampungkan pekerjaannya, menyisakan Hiashi yang seperti tidak rela meninggalkan anak gadisnya yang manis.

"Hinata, apa kau tidak ingin pulang ke Jepang ?"

Tidak ada reaksi dari Hinata, matanya tetap fokus pada layar komputer didepannya.
Hanya saja, helaan napas berat itu menjadi tanda bahwa ia mendengarkan pertanyaan ayahnya.
Cukup lama keheningan itu, sebelum Hinata menoleh sepenuhnya pada Hiashi yang kini duduk disampingnya, menunggu dengan sabar pertanyaan yang diajukannya.

"Apa ayah benar-benar ingin aku kesana ?"

Pertanyaan yang diucapkan dalam nada begitu halus namun terasa menusuk.
Hinata memberikan reaksi berbeda dari biasanya.
Itu seperti sebuah skakmat untuk Hiashi yang kini hanya terdiam dengan wajah kaku.
Menyadari bahwa, putrinya tidak memiliki banyak kenangan dengan tempat kelahirannya, kemirisan untuk seorang ayah sepertinya.

"Ayah hanya bertanya saja, tidak memaksa."

"Aku akan kesana, saat aku benar-benar ingin pergi."

Hinata berbicara mantap untuk jawabannya.
Menurutnya, itu adalah tindakan yang bagus, Hinata tidak merasa bersalah.
Meski benar, jika Jepang adalah tempat kelahirannya, tapi negara itu sangat asing dalam kepalanya.
Nama-nama seperti Tokyo, Hokaido, Kyoto, adalah sesuatu yang asing dalam pengucapannya.
Hinata bahkan tidak mengingat apapun darisana, meskipun ia sempat tinggal disana sampai umur 3 tahun, setidaknya itu yang pernah diceritakan ibunya.

Sekarang, teka teki dalam hidupnya perlahan mulai terpecahkan, tentang rahasia kelahirannya, identitas dan jati dirinya.
Hinata tidak pernah tau jika ia dilahirkan dalam zona penuh peperangan, setidaknya itu yang bisa dikatakan sebagai perumpamaan.
Hinata tidak pernah menyadari, jika derita ibunya jauh lebih berat dari yang pernah dipikirkannya.
Seorang perempuan bangsawan yang dipaksa hidup dalam garis kesulitan, dimana takdir menuntunnya pada petaka tragis dalam sejarah hidupnya.
Hinata merasa miris, dan begitu menyesal, setelah Hiashi menceritakan segala hal tentang ibunya.
Berpikir jika, seandainya ia tidak pernah ada, ibunya pasti akan jauh lebih baik situasinya, setidaknya itu yang sempat terpikir olehnya.

"Ayah, apa aku bisa melihat masalalu mommy disana ?"

Binar mata yang muncul dalam genangan air mata, Hinata merasa jika ia harus ikut menanggung penderitaan ibunya.
Meskipun hanya menyaksikan masalalunya.
Setidaknya, itu akan membantunya mengurangi sedikit beban dalam dadanya, mengurangi rasa bersalahnya.

NUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang