2 jam telah berlalu dan Arthur sudah kembali sadar. Ia sudah bisa duduk, berbincang dan bermain bersama Arsen walaupun selang oksigen harus tetap menempel pada lubang hidungnya.Sakit, sedih. Itu yang Ara dan Alex rasakan. Melihat putra kecilnya harus bertopang kehidupan pada sebuah alat bantu pernafasan. Mereka juga bangga karena Arthur masih bisa tertawa dan bermain tanpa mengeluhkan benda yang terpasang pada hidungnya. Setidaknya untuk sekarang itu tidak terjadi, entah dikemudian.
"Mamah, kok tempat tidurnya satu? Nanti Arsen tidur di mana?" Tanya Arsen dengan wajah cemberutnya.
Arthur tersenyum sangat lebar hingga memperlihatkan gigi rapihnya. "Kamu tidur sama aku aja,"
Arsen menggeleng dengan cepat, ia melipat lengan kecilnya di depan dada. "Enggak mau. Arthur kalo tidur gak bisa diem,"
Alex tersenyum hambar. Entah apa yang harus dirinya lakukan, ini terlalu sulit, ini terlalu menyakitkan.
"Alex, kita gak bisa pisahin mereka..." Lirih Ara yang sedari tadi berusaha terlihat baik-baik saja.
Alex mengangguk paham. "I know, tapi kita harus lakuin itu. Kita gak bisa ngambil resiko, Ra. Dan, kalau mereka terlalu sering bersama, aku takut, bakteri penyebab CF sialan itu malah kena ke Arsen..." Ucap Alex setengah berbisik.
"Papah, kok Arthur banyak mainan baru? Kok aku gak di beliin?" Protes Arsen.
"Nanti Papah beliin,"
"Kapan?"
"Pas kita pulang, sayang..." Jawab Alex.
Arthur menepuk bahu Arsen dengan senang, "kamu juga di beliin, nanti kita main baleng okay?"
"Okay, di idung kamu itu apaan?" Tanya Arsen yang sebenarnya sudah sangat penasaran sejak awal.
"Uhuk....uuhuk... Aku gak tau, Mamah ini apa?" Tanya Arthur polos seraya memegang selang oksigen yang terbilang panjang karena tabung oksigen kecil tergantung di dekat tempat tidur.
"Panjang banget, haha..." Tambahnya.
Tawa kecil itu malah membuat Alex dan Ara kembali menahan air mata. "Alex," ucap Ara.
Alex paham, Ara tidak mampu mengeluarkan satu kata pun. Jika ia berbicara maka air matanya akan terjatuh begitu saja, tangisnya akan pecah dan akan semakin sulit untuknya jika Arthur kembali memberikan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jelaskan terhadap anak berusia 5 tahun.
Alex yang tadinya duduk di atas sofa yang memang dirinya siapkan, kini bergabung bersama kedua putranya yang tengah asik bermain di atas karpet yang cukup tebal.
"Arthur suka ironman?"
Arthur mengangguk dengan semangat. "Iya,"
"Kamu tau kan di dadanya ironman ada lampunya, nah sekarang kamu itu ironmannya Mamah sama Papah, bedanya itu karena kamu masih kecil, jadi alatnya di simpen di tempat yang beda." Jelas Alex entah mendapat dari mana karangan itu.
Arthur tersenyum senang. "Woaaah, aku ayenmen-nya Mamah sama Papah... Tadi Pah, tangan aku di tusuk-tusuk, sakit..."
"Kamu kan superhero, jadi harus kuat..." Ucap Alex yang sudah tidak kuat jika harus berbicara kalimat yang panjang.
"Kok Arsen gak jadi superhero? Arsen kan suka spiderman," sahut Arsen mengernyit heran.
Ara ikut bergabung dan sekuat tenaga, ia menahan rasa sesak di hatinya. "Karena kamu belum di gigit laba-laba...." Ucap Ara yang langsung saja menggelitiki leher Arsen.
"Hahaha, Mamah udaaah geli... Hahaha..." Ujar Arsen berusaha menghentikan Ara.
"Ara udah lepas, kasian..." Ucap Alex. Ara pun menghentikannya dan Arsen berhenti tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Our Life
RandomKisah ini bukanlah kisah yang berdiri dengan sendiri, kisah ini sudah terjalin dengan kisah-kisah sebelumnya. Alexio Derald, ia bukan lagi orang yang mendominasi. Ia bukan lagi fokus satu-satunya bagi Ara dan bagi kalian semua. Kini Arsen dan Arthur...