Sore hari saat Seokjin tiba-tiba memintanya bertemu, sore itu juga adalah saat dimana seolah dunia Namjoon runtuh. Sahabatnya ini mengatakan sesuatu yang mampu membuat Namjoon berfikir untuk menenggelamkan diri saat ini juga. Sementara di depannya, Seokjin hanya bisa menunduk tanpa mampu menatap Namjoon.
Namjoon memijat pangkal hidungnya, kepalanya pening bukan main. Adakah seseorang yang berbaik hati mau membunuhnya saat ini juga? Namjoon sepertinya lebih memilih mati saat ini.
"Oke, jadi kau benar-benar sudah melakukan tes?" Seokjin mengangguk masih menunduk. "Benar-benar positif?" Kali ini Seokjin sempat terdiam beberapa detik namun tetap mengangguk. "Oh shit, kita berdua mati."
"Lalu apa yang harus aku lakukan Namjoon?"
Namjoon menarik nafas dalam-dalam. Bodoh, ia saja tak tahu kenapa bertanya dirinya? "Gila, kita bahkan hanya melakukannya sekali dan kau hamil?" mendengar penuturuan Namjoon mampu membuat Seokjin mengangkat wajah dan berani menatap Namjoon.
"Satu? Dua kali Namjoon, dua kali," Kening Seokjin berkerut, bahkan Namjoon tak mengingat hal seperti ini.
"Oke oke dua kali. Tapi Seokjin sungguh, kita hanya melakukan dua kali kenapa bisa sampai hamil?"
Seokjin semakin memandang Namjoon tak suka. "Kau yang tak pernah pakai pengaman dan mengeluarkannya di dalam Namjoon. Kenapa kesannya kau seperti menyalahkanku?" Namjoon bungkam dan menjatuhkan diri untuk duduk. Kepalanya ingin pecah rasanya.
Seokjin pun ikut mendudukan diri, tangannya gemetar karena sungguh, ia sudah merasa masa depannya hancur. "Jin, kau tahu kita tak ada hubungan khusus kan? Kita melakukannya hanya demi kesenangan semata?" Seokjin tak menjawab hanya memperhatikan Namjoon. "Ah bodoh, aku tak tahu." Seokjin menggigit kecil bibir bawahnya. Karena memang dirinya juga tak tahu. "Sumpah Jin, kau dan aku bahkan masih semester 6, aku hanya bekerja part time, dan kau... tunggu, kau anak orang kaya kan?"
Seokjin mengerutkan kening "Apa maksudmu?"
"Aku tak mungkin bisa merawatmu dan bayimu Seokjin. Begini, kau tahu aku adalah mahasiswa beasiswa kan? Dan dalam persyaratanku aku tak boleh menikah selama perkuliahan, dan artinya kau tahu kan? Aku tak bisa tanggung jawab untuk saat ini Seokjin." Seokjin mengatupkan bibir, menggeram tertahan, tentu ia sangat marah saat ini. "Bisakah kau meminta bantuan orang tuamu dulu?"
"Namjoon?"
Namjoon menjambak kasar rambutnya. "Seokjin ku mohon, siapa yang tahu selain aku?" Seokjin tak menjawab "Oke bagus, hanya kita berdua yang tahu. Kau tahu aku mendapat beasiswa kan? Ku mohon, jangan beritahu siapapun kalau kau mengandung anakku."Namjoon menjilat bibirnya menatap Seokjin dengan serius sekaligus gugup. "Kau masih bisa kuliah sekalipun kau hamil Seokjin-ah. Aku? Aku akan putus kuliah dan mengecewakan keluargaku di desa. Dan lagi, kita hanya sekedar teman, tak akan ada yang mengira itu anakku."
"Keparat Namjoon, kau pikir orang tuaku tak akan kecewa? Kau memang bajingan. Lalu aku? Menanggung malu sendirian sementara kau berleha? " Seokjin terkekeh sinis," Namjoon, keluargaku orang berada dan mereka memegang teguh norma yang mereka miliki. Kau tahu apa yang terjadi jika aku mengatakan aku hamil? Pertama aku akan diusir, lalu di coret dari kartu keluarga dan lalu aku akan mati menjadi gelandangan."
Aaaargh, Namjoon kembali menjambak rambutnya. Semuanya menjadi lebih rumit sekarang. "Lalu apa yang harus kita lakukan Seokjin?"
"Apa? Mau menyuruhku menggugurkan bayinya? Mati saja sana."
"Astaga tidak. Aku tidak sejahat itu." Namjoon menggeleng lalu menunduk, benar-benar menunduk dengan kedua tangan diatas lutut saling terpaut, mereka terdiam bahkan sampai setengah jam. Mencari solusi dari keteledoran mereka. "Tak ada cara lain selain membesarkan anak itu diam-diam."
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Ours
FanfictionSiapa yang disalahkan? baik Seokjin maupun Namjoon keduanya bersalah. namun tak ada yang bisa mereka lakukan ketika mereka mendasari kata 'tak siap' dan dalam benak mereka, mereka membenci dunia, mungkinkah mereka akan bertahan hingga akhir? Namjin...