(11)

9.8K 1.1K 195
                                    

Seokjin melempar asal ponsel hitamnya pada sofa lalu menghela nafas, terselip kelelahan didalamnya. "Ada apa?" Seokjin mendongak dan Namjoon datang dengan segelas susu yang dibuat Namjoon. Pria itu memaksa Seokjin, sudah dua hari Seokjin enggan meminum susu karena mendadak rasanya tak enak.

"Ibuku menelepon."

"Apa kata Ibumu?"

"Bertanya apakah magangku ada libur atau tidak." Seokjin menatap susu cokelatnya. "Dia terus mengatakan rindu padaku. Arrrghh, aku bingung." Teriak Seokjin frustasi. Dengan terpaksa ia menyesap susunya secara perlahan.

"Maafkan aku Seokjin." Cicit Namjoon lirih.

"Sudah cukup minta maafnya. Kau terus-terusan meminta maaf hingga aku bingung bagaimana membalasnya Namjoon."

Namjoon menjilat bibir keringnya. "Iyaa maaf."

"Namjoon."

"Iya iya maaf Seokjin tidak lagi."

"Namjoooooon." Erang Seokjin.

"Astaga aku tidak tahu harus berkata apa, ma—astaga oke aku diam." Namjoon memberikan gestur seolah tengah mengunci bibir dengan tangannya. Dirinya baru pulang dari kedai, masih ada waktu beberapa jam lagi untuk ke minimarket. "Lalu apa yang kau katakan pada Ibumu?"

"Aku berkata akan menanyakannya pada Yoongi. Aku terus berbohong Namjoon, hingga rasanya aku ingin memusnahkan ponselku."

"Apa kau menyesali ini?"

Seokjin mengerutkan kening mendengar pertanyaan Namjoon. Sebelum menjawab ia sempat kembali meminum susu. "Maksudnya?"

"Kau dan.. aku. Kau menyesal setelah apa yang terjadi?"

Seokjin terkekeh lalu dengan susah payah meletakkan gelas kosong ke atas meja kacanya. "Tentu saja Namjoon. Aku sangat sangat menyesal. Tapi aku menyesal 1000x pun, tak akan merubah keadaan. Terkadang aku berpikir, kenapa dulu kita melakukannya disaat kita bahkan hanya teman dan tak memiliki rasa satu sama lain."

Namjoon menyandarkan punggung dengan lelah. "Akupun, jika saja aku tidak bodoh, mungkin aku akan lebih berhati-hati dan menggunakan pengaman mungkin?"

"Kita selalu melakukannya mendadak Namjoon. Kau dan aku tak punya hal semacam itu." Seokjin mencoba terkekeh. "Akupun tak menyalahkanmu seratus persen. Karena akupun mengizinkanmu kala itu."

Namjoon menatap Seokjin dengan sendu. "Kita terlalu bergairah mungkin?"

"Namjoon! Kau yang berkata aku yang malu!" Seokjin mencoba menutup wajahnya yang memerah hingga ke telinga dan itu sukses membuat Namjoon tertawa, tingkah Seokjin menggemaskan.

"Aku berkata apa adanya. Jujur ya Seokjin, bibirmu itu sexy. Mungkin dulu aku jatuh karena bibirmu." Namjoon semakin tertawa karena kini Seokjin total menutup wajahnya dengan bantal sofa. "Ey, seharusnya kau bahagia kau punya daya tarik tersendiri di bibirmu. Pasti kekasihmu si Ken itu juga menyukai bibirmu."

"Namjoon!" Tanpa aba-aba Seokjin melempar bantal yang sedari tadi ia gunakan untuk menutupi wajah malunya ke Namjoon yang justru semakin tertawa. "Pertama dia bukan kekasihku! Kedua, tidak, Ken tidak menyukai bibirku."

"Oh masa? Dia belum menciummu?"

"Namjoon sekali lagi kau meledekku, ku potong lehermu."

"Aku tidak meledek, hanya bertanya." Namjoon menampakkan wajah polosnya. "Sungguh sayang sekali. Teman kencanmu belum merasakannya, aku justru yang teman biasamu sudah merasakannya." Namjoon tertawa kencang saat Seokjin berdiri dan mendekat kearahnya untuk memukulnya brutal, Namjoon hanya mencoba menutupi wajahnya namun tawa kerasnya terus terdengar.

He is OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang