(18)

10.8K 1.3K 516
                                    

Ketika Ibu Seokjin hendak memeluk anaknya, dirinya mengerutkan kening saat Seokjin justru memundurkan badan dan terus menunduk. Ia bahkan tak mendapat ucapan selamat datang yang biasa Seokjin teriakkan ketika mereka berkunjung.

"Seokjin kenapa sayang?" Ibunya dengan halus bertanya.

"Seok-" Ayahnya yang berada di belakang Ibu Seokjin berhenti berucap ketika menemukan ada perbedaan dalam tubuh anak bungsunya. Ayah Seokjin menggertakan gigi dan mengepalkan tangan, Ibu Seokjin yang menyadari itupun memundurkan badan menutup mulutnya yang menganga tak percaya.

Benarkah yang di depannya ini Kim Seokjin-nya?

"Masuk." Titah sang Ayah dengan suara berat dan tegasnya, Seokjin segera memundurkan badan sementara sang Ayah menarik tangan isterinya yang terus mematung tak bergerak, menyeret isterinya masuk lalu membanting pintu dengan kasar, membuat Seokjin terlonjak kaget mencengkram ujung kaosnya.

"Seokjin, apa-apaan ini?" Bulu kuduk Seokjin seolah berdiri. Suara Ayahnya begitu dalam dan menakutkan. Mereka bahkan masih berada di dekat pintu utama. Seokjin memundurkan badan hingga menyentuh tembok dan terus meremat ujung kaosnya.

"KIM SEOKJIN !" teriak Ayahnya kencang membuat Seokjin harus menutup mata takut otot bahunya terasa kencang. "Katakan apa yang terjadi Seokjin, jangan buat kesabaran Ayah habis."

"A-ayah, m-ma-af." Cicit Seokjin terus berusaha memundurkan badan meski ia tahu, ia tak akan bisa menembus tembok belakangnya.

"Ayah tidak perlu maafmu. Katakan, apa yang sebenarnya terjadi?" Seokjin mengangkat kepalanya saat dirasa suara Ayahnya tidak semenakutkan tadi lalu kembali menunduk, tidak, tatapan mata Ayahnya sangat menakutkan bahkan ia bisa melihat wajah Ayahnya yang memerah.

"Seokjin—kau—hamil Nak?" Akhirnya Ibu Seokjin kembali bersuara. Seokjin kembali memejamkan mata saat ia mendengar bagaimana suara Ibunya bergetar. Tapi Seokjin mengangguk, meski ia diam, ia mengangguk dengan kepala terus tertunduk takut.

"Ya Tuhan." Air mata Ibunya pecah, ia menutup mulutnya yang ingin menjerit dan berbalik membelakangi Seokjin. Tak sanggup melihat anak kesayangannya.

"Keparat." Dengan tanpa terduga Ayahnya menarik Seokjin, membawa lelaki yang kini berjengit kaget itu menuju ruang tamu, mencengkram kuat kaos pundak Seokjin, menyeret anak bungsunya dengan kasar. "Katakan, cepat katakan." Ia melepas dan melempar anaknya hingga Seokjin harus berpegangan pada sandaran sofa.

"Seokjin, jangan jadi bisu!" Seokjin kembali berjengit, kini bertumpu dengan kedua lututnya dan terus menunduk. "Kami menyolahkanmu jauh-jauh dan ini yang kau berikan pada kami?" Seokjin menggeleng takut menggigit bibir bawahnya.

"Kami memberi semua yang kau inginkan dan ini balasanmu?" Seokjin kembali menggeleng. Ia mendengar Ibunya menangis menjerit dan terduduk tak jauh darinya sementara Ayahnya masih berdiri menjulang di depannya.

"Ya Tuhan, anakku—" Seokjin menggeleng dan kini air matanya jatuh ketika mendengar rengekan Ibunya yang jatuh terduduk menangis, ia ingin berlari dan memeluk Ibunya. Meminta maaf ribuan kali sebanyak tetesan air mata Ibunya yang jatuh.

"S-seokjin, Ayah tanya." Bahu Seokjin bergetar hebat, ia bahkan mendengar suara Ayahnya bergetar. Ia benar-benar mengecewakan kedua orang tuanya. "Kau tahu? Ibumu terus merengek meminta bertemu denganmu. Mengatakan kita harus menyusulmu ke Seoul, dan membuat sebuah kejutan kecil untuk anak kesayangannya." Tidak, sungguh, cukup. Lebih baik bentak Seokjin, jangan katakan hal seperti itu. Bahkan untuk menangis saja Seokjin merasa malu.

"Tapi ini yang kita dapat saat menemuimu?"

"Selama ini kau berbohong?"

"KIM SEOKJIN DEMI TUHAN KATAKAN SESUATU!" Seokjin terlonjak kaget, bahkan dirinya sudah sesenggukan, memberanikan diri mengangkat wajahnya, dan wajah merah dengan penuh air matalah yang ia dapat.

He is OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang