Namjoon masuk ke dalam kamar dengan rambut yang basah dan handuk yang menggantung di leher. Ia membawa sekotak minuman rasa apel. Seokjin tengah menyandarkan badan di kepala ranjang, membaca buku milik Namjoon, jujur, ia sama sekali tidak paham tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Baca apa hm?" Namjoon mendekat, meletakkan kotak minum dan merangkak naik ke ranjang sementara tangannya mulai sibuk mengeringkan rambut. "Oh baca itu." Angguknya saat Seokjin menyodorkan judul cover buku.
"Sudah minum susu?"
"Sudah."
"Lapar lagi tidak?" Seokjin menggeleng. Hari ini Namjoon pulang lebih awal, sudah dua hari, karena teman kerjanya meminta lembur untuk tambahan biaya berobat orang tuanya dan Namjoon mengalah saja. "Mau minuman apelku?" Seokjin mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. Ia terlalu fokus mencerna isi buku Namjoon.
Namjoon hanya terkekeh dan menyodorkan sedotan ke mulut Seokjin. Bahkan pria itu menyeruput minuman tanpa menoleh sedikitpun. Namjoon menarik kembali minumannya, menyeruputnya sedikit lalu meletakannya lagi. "Serius sekali." Godanya.
"Hm, tidak paham sama ini." Namjoon tertawa. Ia menarik buku yang dipegang Seokjin lalu meletakannya tak jauh dari minumannya.
"Keringkan rambutku saja nih, kau baca itu yang ada nanti tambah stress." Seokjin menurut, ia mengambil handuk kecil Namjoon dan mulai mengusak kasar rambut basah Namjoon.
"Namjoon sebentar lagi kuliah ya?" Namjoon mengangguk, matanya terpejam. Rasanya enak saat kepalamu ada yang mengurus, terlebih Seokjin tak hanya mengeringkan rambutnya, beberapa kali Seokjin memijit kecil kepalanya. "Aku bakal sendirian."
Namjoon membuka mata. "Jadwalku dan Hoseok juga Yoongi tidak sama kok, nanti gantian kesininya."
"Saeron tidak menghubungimu lagi?"
"Tidak. Memang kenapa?"
"Takut saja kalau tahu."
Namjoon memilih bungkam. Dirinya juga takut namun terus berusaha menepis rasa itu. Saeron diam beberapa hari ini, sedikit berharap Saeron sudah melupakan pertemuan mereka bersama Seokjin. Untuk saat ini, ia hanya ingin hidup dengan tenang.
"Jangan dipikir. Pikir yang lain saja."
Seokjin menarik dagu, bingung apa yang harus ia pikirkan. Terkadang otaknya penuh dengan pikiran semrawut, terkadang juga justru ia merasa bingung apa yang harus ia pikirkan.
"Oh iya Namjoon—" Namjoon hanya menjawab dengan gumaman, masih merasa nyaman dengan tangan Seokjin yang berada di kepalanya. "Sudah menyiapkan nama?" suara Seokjin melirih. Beruntung dirinya berada di belakang Namjoon, ia yakin, telinganya total memerah.
"Nama apa?"
"N-nama—bayi?"
Oh.
Hening.
Seokjin juga enggan kembali bertanya, tangannya sibuk mengurusi rambut Namjoon. Namjoon pun sama, ia bahkan tak membuka mulutnya sama sekali. Suasana mendadak menjadi canggung hanya karena pertanyaan sepele.
"Namjoon sudah kering."
"Oke. Terima kasih." Namjoon menerima uluran handuknya dan mulai membalikkan badan agar dapat menatap Seokjin. "Nama ya? Aku punya banyak diotak, tapi tidak tahu mana yang bagus. Beberapa hari ini aku selalu memikirkan nama—"
"Kau- memikirkannya?"
"Tentu, masa anak kita tidak pakai nama?"
Anak kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Ours
FanfictionSiapa yang disalahkan? baik Seokjin maupun Namjoon keduanya bersalah. namun tak ada yang bisa mereka lakukan ketika mereka mendasari kata 'tak siap' dan dalam benak mereka, mereka membenci dunia, mungkinkah mereka akan bertahan hingga akhir? Namjin...