No tears ! semoga :)
Setelah pergi meninggalkan rumah dengan perasaan berat, kini Namjoon tengah berdiri sementara Seokjin duduk menunduk memperhatikan gelangnya. Mereka tengah menunggu taxi datang dan memutuskan menginap di hotel semalam lalu kembali ke Seoul.
"Maafkan keluargaku Seokjin." Seokjin mendongak, tangan yang semula memegang gelangnya kini menarik tangan Namjoon, ia genggam dengan lembut, mengelus punggung tangan Namjoon.
"Ini lebih baik dari yang kukira,"
"Istirahat nanti ketika sampai di hotel, malamnya aku akan mengajakmu mengenali kampung halamanku. Setuju?" Seokjin tersenyum mengangguk, menggoyangkan tangan Namjoon dengan riang.
Tidak apa-apa.
Setelah tidur beberapa jam dan memakan cemilan yang mereka bawa dari Seoul, Namjoon mengajak Seokjin untuk keluar dan membeli makanan, sekalian jalan-jalan katanya. Rasanya menyenangkan tentu saja, Namjoon membawanya ke tempat penuh dengan kedai makanan dan hiasan lampu-lampu yang lucu. Banyak yang datang, lebih tepatnya banyak sekali pasangan yang datang.
Seokjin merasa sangat kenyang, ia membeli apa saja yang ia mau dan kini mereka tengah duduk di salah satu taman yang memang dekat dengan kedai tteok yang Seokjin beli barusan, bahkan rasa madunya masih terada dilidah Seokjin.
"Kau terus memandangi gelang itu."
Seokjin tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. "Aku sangat suka Namjoon. Ingin mengucapkan beribu-ribu terima kasih untuk Ibumu."
"Tapi mereka tidak menerimamu dengan baik Seokjin."
Seokjin menggeleng, sinar matanya masih menampakkan kebahagiaan. "Ini sudah lebih dari cukup Namjoon. Keluargamu orang yang baik. Pantas kau sebaik ini. Memang agak terlambat aku memakai gelang ini, tapi semoga, doa ibumu terus menyertaiku dan anak kita. Oh ya, dan Sarang sangat manis aku menyukainya."
Namjoon tak dapat untuk tidak tersenyum. "Ya, dia anak yang periang. Dibanding aku dan adik lelakiku, dia yang sangat periang, dia yang menghidupkan suasana."
"Nanti kalau anak ini lahir, boleh aku mengundang Sarang untuk bertemu?" Tanya Seokjin dengan hati-hati dan langsung tersenyum saat Namjoon mengangguk. Dirinya segera berhambur dan menyenderkan kepala pada bahu lebar Namjoon.
"Aku sangat suka malam ini. Tidak ada ketakukan. Tidak ada rahasia. Tidak ada sembunyi. Rasanya ingin seperti ini terus. Aku keluar bersamamu, bergandengan tangan tanpa malu, saling bercengkrama tanpa menghawatirkan siapapun yang lewat. Rasanya bebas." Nada suara Seokjin terdengar begitu lembut.
"Untuk sejenak tak mengkhawatirkan apapun, hanya kau, aku dan anak kita. Sekalipun hari ini kita mendapat penolakan, tubuhku terasa enteng, beban selama yang ini kita pikul seolah menguap entah kemana. Iyakan Namjoon?"
Namjoon tak menjawab, melainkan dengan pelain menyuruh Seokjin untuk menegapkan badan dan menciup pelipis pria itu, dan tanpa diduga, Namjoon bersimpuh di depan Seokjin. Menggenggam lembut jemari Seokjin, dan menatap pria itu dengan dalam.
"Wajahmu yang bahagia malam ini, sangat cantik Seokjin." Seokjin hanya tersenyum tersipu dan mengangguk. "Aku ingin melihatmu dengan raut seperti ini, selamanya. Dan itu kewajibanku."
"Mungkin aku memang pria yang benar-benar bodoh dimasa lalu dan layak mendapat sebuah tamparan bertubi-tubi karena pernah menyakitimu. Tapi kuharap kau mau menghukumku dalam waktu yang lama—" Seokjin menukikan alis tak mengerti.
"Aku tak mempersiapkan apapun. Dan aku juga bukan seseorang yang sederajat denganmu dan memiliki jutaan won dalam rekeningku. Rumah orang tuaku juga sangat sederhana. Pakaianku tak bermerk seperti teman-temanmu tapi—kau masih mau berteman denganku."
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Ours
FanfictionSiapa yang disalahkan? baik Seokjin maupun Namjoon keduanya bersalah. namun tak ada yang bisa mereka lakukan ketika mereka mendasari kata 'tak siap' dan dalam benak mereka, mereka membenci dunia, mungkinkah mereka akan bertahan hingga akhir? Namjin...