(5)

10.6K 1.2K 74
                                    

"Namjoon, darimana?" Tanya Seokjin dengan suara lirih saat Namjoon datang menghampirinya.

"Oh sudah bangun? Sarapan hehe, gimana sudah mendingan?" Namjoon menarik kursi lalu duduk disamping ranjang Seokjin, tangannya bersandar pada sisi ranjang Seokjin. Seokjin yang ditanya hanya mengangguk lalu menggoyangkan kakinya kekiri dan kekanan dengan pelan. "Sepertinya nanti ada dokter kesini, dokter kandungan untuk mengecek kondisimu."

Semenit mereka berbincang, lalu datang dokter yang dimaksud oleh Namjoon, perempuan manis, usianya terlihat masih muda untuk seorang dokter, rambutnya hitam pendek, begitu enak dipandang. Setelah saling menyapa, dokter segera mengecek suhu tubuh dan kondisi Seokjin sementara Namjoon memundurkan badan.

"Kemarin apa saja yang dilakukan Tuan Seokjin-ssi?"

Seokjin mengangkat alis terkejut, lalu menggigit kecil bibir bawahnya, mengingat apa yang ia lakukan kemarin. Apakah termasuk hal bodoh bagi seseorang yang tengah hamil? "A-anu, main tenis." Lirih namun sukses membuat Namjoon memajukan langkah.

"Hah? Bagaimana?" Namjoon menampakkan wajah bingung.

"Tenis Namjoon, aku disuruh teman kelas untuk mewakili angkatan, kau tahu kan? Fakultasku tengah merayakan hari jadi atau apalah itu." Namjoon tak dapat berkata-kata, hanya membuka mulut terkejut lalu melirik Dokter wanita itu yang sama terkejutnya dengan Namjoon. "Tapi serius aku tidak kelelahan, aku sengaja kalah kok, serius, aku seolah hanya diam berdiri." Sempat lari-lari si, sebentar, lanjut Seokjin dalam hati.

Dokter membenarkan letak kacamata lalu tersenyum. "Lebih baik jangan lagi. Terlebih ini hamil muda dan anak pertama bukan?" Seokjin mengangguk. "Aku akan menuliskan resep dan sebaiknya nanti saat Tuan Seokjin-ssi melakukan pemeriksaan bulanan dengan Dokter yang biasa menangani Tuan Seokjin harap dibawa ya, agar dia juga tahu. Hari ini boleh pulang." Lalu Dokter melanjutkan pembicaraan dengan Namjoon dan Seokjin ditinggal sendiri sembari memainkan tangan dengan gugup.

Namjoon tak kunjung datang setelah berbincang dengan Dokter, rasanya Seokjin sudah tidak betah berada disini, ia selalu mendengar suara roda, tangisan, bunyi-bunyi alat kedokteran, kebisingan, ah tidak, bau yang tidak ia sukai, benar-benar ingin pulang.

Namjoon akhirnya datang setelah mengurus semua proses, Seokjin bahkan dibawakan kursi roda, didorong Namjoon hingga pintu depan dimana taxi ternyata sudah menunggu, Seokjin terus duduk memeluk selimut miliknya dan masih memakai hoodie Namjoon.

Tak ada pembicaraan khusus didalam mobil, Namjoon juga hanya diam menatap ke jendela mobil, Seokjinpun sama, tak ada yang ingin ia katakan. Seolah tubuhnya masih begitu lelah, pikirannya pun lelah. Ia memandang pada punggung tangan kirinya yang terplester bekas infus, hah, ternyata rumah sakit sama sekali tidak mengenakan.

"Bisa jalan? Atau mau digendong?" Tanya Namjoon saat mereka sudah sampai di lobby apartemen Seokjin.

"Jalan saja. Kuat kok." Namjoon mengangguk, berjalan lirih disamping Seokjin. Kini Namjoon yang membawa selimut dan menenteng tas kertas berisi obat dan vitamin untuk Seokjin.

Mereka sudah masuk ke dalam unit apartemen Seokjin. Seokjin bahkan langsung menuju ranjangnya, berbaring disana, ternyata berjalan dari lobby hingga kamarnya itu melelahkan. "Jin." Dirinya menoleh, Namjoon tengah meletakkan selimut dan obat. "Apa yang kau pikirkan sampai ikut bermain tenis? Bukankah dokter sudah memberitahumu untuk tidak melakukan pekerjaan berat apalagi lari-lari seperti itu? Setahuku ada olahraga khusus orang hamil. Seharusnya kau pikirkan kondisimu, kau bukan pria bugar yang dulu, kau tengah mengandung Jin, bagaimana jika sesuatu yang lebih buruk dari semalam terjadi? Bagaimana jika keguguran?"

Seokjin mengerutkan kening, langsung terduduk, ia menatap raut wajah Namjoon yang terlihat sedikit tegang. "Lalu kau ingin aku menolak mereka? Berkata aku tak bisa ikut main karena hamil? Itu yang kau mau Namjoon?" rasanya emosi Seokjin juga tersulut. Berpikir Namjoon bukan siapa-siapanya tak pantas rasanya ia menunjukkan raut seperti itu seolah menghakiminya. "Dan yah, kalau saja kau tak membuatku hamil, aku akan masih menjadi pria bugar yang bisa berlarian bahkan bersalto. Terima kasih."

He is OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang