(20)

12.9K 1.2K 333
                                    

Malam ini Namjoon merengkuh Seokjin, mendekap erat pria yang sudah dua harian ini membuatnya khawatir setengah mati dan membuatnya sama sekali tak bisa tidur. Tangannya melingkar di depan dada Seokjin, dengan tangan Seokjin yang menggenggam jemarinya erat. Lampu belum dimatikan, masih ada suara Taehyung dan Jimin di depan.

"Namjoon, tidak kerja?" Tanya Seokjin memecah keheningan. Ia memainkan jari panjang Namjoon.

"Aku mengambil libur beberapa hari sekalian untuk persiapan seminar proposalku tadi siang—"

"Namjoon?" Seokjin mendongak terkejut, menatap Namjoon yang berada di belakangnya. "A-aku tidak tahu, astaga maafkan aku. Aku bahkan tidak memberi dukungan dan memberikanmu selamat. Dan oh—aku sama sekali tidak memberimu hadiah. Ma-"

"Dengan bertemu denganmu lagi adalah hadiah yang paling kusyukuri." Namjoon membalas mengelus jemari Seokjin. "Jangan pergi lagi tanpa mengabariku Jin. Aku sangat khawatir, aku bahkan tak bisa tidur." Seokjin hanya terdiam.

Namjoon merapatkan tubuhnya pada Seokjin, mengecup lembut tengkuk pria itu. "Terima kasih telah melindungiku. Apa Ayahmu marah besar?" Seokjin mengangguk masih mengatupkan bibirnya. "Dan aku bahkan tak bisa melindungimu. Maafkan aku."

"Namjoon-ah, bukankah kita sudah berjanji untuk melindungi satu sama lain? Dan akupun harus melindungimu. Kau pasti memiliki cara tersendiri untuk melindungiku. " Kali ini Namjoon yang terdiam, namun tangannya masih mengelus jemari Seokjin.

"Apa kau makan dan tidur dengan baik?"

"Taehyung dan Jimin terus memberiku makan dan menghiburku. Tapi tetap setiap malam aku sering terbangun, Namjoon—aku menyadari, mimpi burukku selama ini adalah sebuah pertanda. " Seokjin terkekeh dalam. "Ayah seperti bukan Ayah. Aku melihat seseorang yang begitu murka yang bahkan tidak menatapku seperti anaknya."

"Dan kini aku takut untuk tertidur Namjoon. Aku tak ingin bermimpi."

Namjoon melepas dekapannya, dirinya terduduk menatap Seokjin. Menatap wajah sendu Seokjin, seseorang yang dulunya ia anggap teman, seseorang yang begitu bisa menghiburnya, seseorang yang mempunyai cara untuk bahagia sekalipun dari hal-hal kecil, seseorang yang akan setia mendengar keluh kesahnya, seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, seseorang yang mampu membuatnya jatuh, hingga Namjoon tak menyadari bahwa sejatinya Seokjin sedari dulu telah memikatnya.

"Kau pasti sangat—" kesulitan menghadapi ini semua. Maafkan aku. Akulah penyebabnya Seokjin. Namjoon tak dapat melanjutkan kalimatnya, ia memilih mengelus pipi Seokjin yang terlihat lebih kurus dari biasanya. Mata Namjoon memanas, semua ini dari awal salahnya kan?

"Lapar? Ada yang ingin kau makan? Kau beberapa hari ini tidak nyidam?" Seokjin yang masih terbaring menggeleng. Tiba-tiba mengulurkan tangan agar Namjoon membantunya duduk dan bersandar di kepala ranjang.

"Namjoon, apa menurutmu kita bisa mempercayai Seokjung Hyung? Aku—merasa takut. Aku takut dia mendatangi Ayah dan mengatakan semuanya."

"Aku juga tidak yakin, tapi apa boleh buat. Tapi aku berjanji Seokjin, jika terjadi sesuatu padamu, aku tak akan sembunyi lagi Seokjin."

Tangan Namjoon turun, matanya menatap perut besar Seokjin dengan sendu. "Tidak ada yang bisa mengambil anak kita. Tidak ada yang bisa merebut anak kita. Tidak ada yang bisa membuang anak kita." Seokjung sudah mengatakan semuanya apa yang akan Ayah Seokjin lakukan.

"Seokjin-ah, anak ini milik kita."

"Dia milik kita."

"Kita yang berhak memeluknya, kita yang berhak menentukan masa depannya. Bayi ini, milik kita. Aku tak akan membiarkan siapapun melukai anakku dan dirimu." Untuk pertama kalinya setelah begitu lama Seokjin menanggung ini semua, menangis pedih dan merasa tersiksa, untuk pertama kalinya, dirinya meneteskan air mata bahagia, ia merasa lega, ia merasa terlindungi, ia merasa.. bahwa Namjoonlah orangnya.

He is OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang