(6)

10.5K 1.1K 128
                                    

Seokjin menyandarkan punggung pada sandaran kursi di taman kampus, udara terasa sangat sejuk, ada mata kuliah nanti tiga jam lagi dan rasanya Seokjin malas untuk kembali ke rumah. Sementara Yoongi pergi meninggalkannya karena pria itu ada urusan dan akan kembali menemui Seokjin nanti sekalian membawakan sahabatnya makan siang.

Entah untuk beberapa hari ini Seokjin lebih banyak diam. Lebih banyak memerhatikan sekitar daripada bermain dengan benda pipih nan pintar atau tidur. Seperti sekarang, ia tengah menatap dedauan yang bergoyang dan saling bergesekan saat angin menerpa. Warnanya hijau muda, rasanya begitu menyejukkan mata, terlebih mendengar suara daun yang bergesekan, terasa begitu alam, batin Seokjin. Dirinya juga suka memerhatikan hal-hal kecil pada rumput, semut, jangkrik, atau bahkan memandangi awan melaju.

Mungkin Seokjin ingin membuang semua beban pikirannya dan memfokuskan diri pada keadaan alam sekitar? Melihat alam yang ternyata begitu indah menyejukkan ini membuatnya sedikit lari dari kenyataan, kalau sesungguhnya dunia yang ia tempati adalah neraka baginya. Tak ada keindahan dalam hidupnya.

Bahkan Seokjin sering memerhatikan wajah orang lain diam-diam. Seperti saat ini, ia begitu penasaran, apakah teman-temannya yang tengah tertawa itu tak memiliki masalah dalam hidupnya? Apakah wanita yang tengah berfokus pada buku itu tengah berbahagia karena terus tersenyum? Apakah mereka yang tengah bergurau sembari berjalan tak memiliki beban? Apakah ada yang sama seperti Seokjin? Karena rasanya hanya dirinya yang seperti ini.

Bagaimana caranya kabur?

Bagaimana caranya menghilang?

Bagaimana caranya dapat menyembunyikan semua ini?

Jika dunia mengira Seokjin adalah orang yang begitu kuat, nyatanya Seokjin sangat lemah. Ia bahkan lupa bagaimana caranya tertawa begitu lepas. Kapan harusnya ia memakai topeng? Bahkan saat sendiripun ia seolah memakai topeng, topeng yang mewujudkan dirinya Kim Seokjin yang periang, tak terlalu pemikir, dan kuat. Nyatanya ia begitu rapuh, bisakah dunia berpihak padanya untuk detik ini? Membiarkannya lolos dan pergi menjauh?

Awal ia pikir ia bisa menghadapi ini. Nyatanya? Ini sangat berat. Ia tertawa bersama teman-temannya. Ia mengikuti perkuliahan seperti yang lain. Ia mengucapkan kata rindu pada Ibunya. Untuk saat ini. Nantinya? Tawa itu akan berubah menjadi hinaan untuk dirinya. Perkuliahannya akan sia-sia, ia tak akan dapat masa depan yang ia idam-idamkan. Lalu ibunya? Tak akan memandang Seokjin memandang Seokjin sebagai anaknya.

Setelah menghela nafas panjang, rasanya Seokjin ingin mendengarkan beberapa lagu sekedar untuk menemaninya siang ini. Sebuah musik mengalun di telinganya, lost star. Lagu yang beberapa hari ini menjadi teman setia Seokjin. Dirinya menengadahkan wajah, kembali menatap daun yang terhembus angin dan awan yang terus melaju. Jika Seokjin jadi daun, ia akan memilih lepas dari pohon dan membiarkan angin pergi membawanya, seandainya saja bisa, ia benar-benar ingin pergi.

Oke, untuk saat ini biarkan ia menjadi dirinya dimanapun. Biarkan air matanya menetes kali ini tanpa ia berusaha menghentikannya. Lagu lost star justru menjadi dorongan air matanya agar terus mengalir. Hidupnya hancur, dirinya terus hancur perlahan-lahan.

Jika ia memejamkan mata, ia takut, takut bayangan-bayangan buruk datang. Jadi Seokjin terus berusaha menatap langit. Biarkan air matanya membasahi kaosnya, biarkan siang ini ia menatap langit dengan lara.

Lagu terus berganti tapi posisi Seokjin masih tak berubah. Air matanya masih tak berhenti. Dan debaran lara di dadanya tak kunjung mereda. Bukankah terlihat menyedihkan?

"Hey Seokjin, kau kenapa?"

Suara Yoongi membuat Seokjin menegakkan badan lalu menurunkan pandangan matanya. "Kenapa? Menangis? Ada apa?" pertanyaan beruntun Yoongi membuat Seokjin kaku. Dengan cepat ia menghapus air matanya lalu melepas salah satu earphone nya dan menempelkannya pada telinga Yoongi.

He is OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang