(14)

10.5K 1.2K 218
                                    

Entah sejak kapan Namjoon sudah mulai mencoba menyembunyikan segala emosinya. Mencoba selalu bersikap biasa saja di depan semua orang, bahkan di depan dirinya sendiri. Namjoon memendam emosinya sendiri.

Ketika seminggu ia sudah kembali ke Seoul dan tinggal bersama Seokjin, Ibunya menelepon mengatakan, adik perempuannya terjatuh dari tangga sekolah, terpeleset dan membuat si adik harus beristirahat di rumah sakit.

"Ibu, maafkan Namjoon tak bisa pulang. Namjoon tak bisa, sampaikan ucapan maafku untuk Sarang, semoga lekas sembuh."

Ibunya hanya diam diseberang telepon dan sekedar menjawab, "Sehat-sehat disana Namjoon, jika kau sakit tidak ada yang merawatmu, kami begitu jauh."

Tepat ketika sambungan terputus, isak tangis Namjoon pecah. Ia menutup wajah dengan kedua tangan besarnya, duduk sendirian di dalam bilik toilet kedai. Menangis tertahan agar siapapun yang datang tak dapat mendengarnya.

Namjoon tak bisa pulang. Seokjin masih sakit dan bermasalah dengan perut, tak mungkin Namjoon meninggalkan Seokjin sendirian. Dalam benaknya ia selalu menekankan, ada yang merawat Sarang, ada Ayah Ibu dan Adik laki-lakinya yang akan menjaga Sarang. Namun jika Namjoon pulang, siapa yang akan menemani Seokjin?

Namjoon harus menggigit tangannya agar isak tangisnya tak terdengar. Air matanya mengucur deras. Ia harus menahan ini dan menyembunyikannya. Namun bayangan riang adiknya selalu hadir, adiknya yang ceria tiba-tiba harus menahan perih dan berada di rumah sakit.

Namjoon ingin datang. Namjoon ingin memeluk adiknya. Namjoon ingin mengelus luka adiknya dan berkata bahwa luka jahat itu akan segera pergi.

Ia rindu dirinya yang dulu.

Dirinya yang bisa pulang kapanpun, yang bisa mengatakan rindu kapanpun, Namjoon yang selalu menjadi bagian manis dalam kisah keluarganya.

Setelah dua puluh menit ia menangis, Namjoon mencoba berhenti. Ia menarik dan menghembuskan nafas beberapa kali hingga deru nafasnya kembali menetral. Setelah dirasa cukup, ia keluar dari bilik dan mencuci wajahnya, seolah tak ada sesuatu yang terjadi. Seolah semua baik-baik saja.

Namjoon terlihat baik-baik saja, bahkan di depan Seokjin.

"Namjoon bawa soup cream? Kelihatannya enak." Seokjin melongokkan badan melihat Namjoon yang tengah menyiapkan makan.

"Tentu. Ini dari restoran tak jauh dari kedai, terkenal. Cobalah. Duduk Seokjin biar kuambilkan minum." Namjoon menyempatkan pulang sebelum datang ke minimarket. Membawakan soup cream untuk Seokjin, berharap jika ia merawat Seokjin dengan baik itu dapat mengganti rasa bersalahnya pada sang adik. Berharap jika Seokjin membaik, adiknya akan ikut membaik.

.

.

Namjoon rasa ia sudah begitu menyakiti Seokjin. Mulai dari menghancurkan masa depan Seokjin dan kepercayaan diri Seokjin. Itu begitu menyakitkan saat melihat Seokjin begitu ketakutan berjalan disampingnya. Merasa bahwa Namjoon tidak peduli pada Seokjin. Itu membuat Namjoon semakin bersalah.

Awal memang dirinya begitu egois. Ia takut. Begitu takut dengan apa yang dapat terjadi dalam hidupnya. Bagaimana kuliahnya, bagaimana orang tuanya, bagaimana tetangganya, bagaimana teman-temannya dan bagaimana masa depannya.

Ia hanya ingin melindungi diri.

Dan sepertinya itu justru menyakiti Seokjin. Seokjin pernah bertanya, "Namjoon tidak ingin pulang lagi?"

"Tentu. Aku ingin terus berada bersama keluargaku."

"Kalau begitu pulang."

Namjoon terdiam menatap Seokjin. Kenapa Seokjin begitu baik padanya? Kenapa Seokjin begitu tenang saat bersamanya? Kenapa justru Seokjin lebih peduli padanya daripada dirinya sendiri?

He is OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang