Kakinya melangkah cepat. Membawa tubuhnya ke tempat yang tak tau pastinya. Pandangannya kabur tertutup oleh air mata yang terus membasahi pipi. Yumna kalut. Pikirannya memutar semua memori yang pernah terlintas. Semua rasa sakit itu hadir. Bayangan orang itu kembali.
Rintika hujan berjatuhan. Yumna menerjang. Angin bergelayutan mengerubunginya. Yumna tak merasa. Kulitnya seolah mati. Hingga di depan sana .... dia ada. Berdiri kokoh dengan senyuman meneduhkan. Masih sama.
"Kak Fandhi. Itu kamu?" tanyanya pelan. Namun tak ada jawaban. Orang itu masih tersenyum. Kini ia membentangkan kedua tangannya. Seakan mengundang Yumna tuk segera datang. Pada pelukannya. Pada dirinya. Seperti dulu.
Yumna mempercepat langkah. Ia menabrak tubuh itu. Dingin. Tak sehangat dulu. Berbeda. Yumna mendongkak. Menatap wajah yang perlahan menjadi batang pepohonan. Yumna luruh. Terduduk di atas tanah. Ia menggeleng. Selalu seperti ini. Melihat dirinya adalah sebuah ilusi. Seharusnya Yumna tahu. Seharusnya ia mengerti, karena ini tidak terjadi hanya satu kali. Tapi berkali-kali.
"Kenapa seperti ini, Kak?" paraunya. Ia terkekeh. "Kenapa kamu pergi? Aku kehilangan arah. Aku merindukanmu ...."
Isaknya tertelan gemuruh langit. Air matanya hanyut dalam linangan guyuran hujan. Yumna harus apa? Ia rindu. Ingin menatapnya kembali. Ingin memandang senyumnya lagi. Pelukannya, Yumna masih ingin merasakannya.
Kenapa mereka harus terpisah seperti ini? Yumna belum siap. Ia tak kan pernah siap.
Orang itu datang kembali. Kini dari balik tubuhnya. Tubuhnya basah. Sama sepertinya. Wajahnya pucat. Ia tersenyum hangat. Yumna semakin terisak. Kenangan di kepalanya tumpang tindih berdatangan.
"Kak Fandhi, aku menyukaimu apa kamu juga menyukaiku?" Suara itu miliknya. Yumna mengamati sekeliling. Iya, itu dirinya. Satu tahun yang lalu. Beberapa minggu sebelum ia kehilangan.
Fandhi mengulurkan tangannya. Mengelus perlahan. "Lima tahun lagi, aku akan menjawab pertanyaanku," janjinya kala itu.
Bohong! Dia sudah pergi lebih dulu sebelum menjawab. Yumna semakin menunduk. Satu kenangan terlintas.
"Ini belum lima tahun, Kak. Tapi kamu sudah pergi lebih dulu? Kenapa tidak sekalian mengajakku? Aku akan menunggu beribu tahun demi jawaban itu, Kak. Tapi jangan pergi seperti itu. Kamu membuatku sakit. Aku sakit karena merindukanmu, Kak."
Fandhi berjongkok. Menyeimbangi dirinya. Sudah tak ada suara dan bayang-bayang dirinya sendiri. Kini hanya tinggal dirinya sekarang dan Fandhi. Kesatrianya .... yang hilang.
Tangan dingin Fandhi menghapus limpahan air di wajah Yumna. "Jangan menangis. Gadis cantik nggak boleh nangis. Nanti cantiknya hilang."
Bayangan itu memudar dan lenyap. Yumna bergeming. Kembali menunduk. Terlalu lemah tuk menahan. Tak bisakah ia tetap tinggal sebentar saja? Setidaknya sampai hatinya tenang menuntaskan rindu. Mengapa selalu seperti ini akhirnya?
***
"Apa kamu habis hujan-hujanan?" Mr. Bagas memandang sekujur tubuh murid di depannya. Basah kuyup. Bahkan tetes-tetes air berjatuhan dari baju dan rok.
"Saya akan memberikan waktu untuk berganti baju. Saya dengar kamu habis dari kelas eksekutif."
"Saya bisa berganti baju nanti sekalian makan siang, Mr. Bagas." Yumna melangkah menuju tempatnya. Sama sekali tak mengindahkan kesempatan yang telah diberikan.
Mr. Bagas tersenyum jengah. "Itu terserah kamu. Yang penting saya sudah memberi kesempatan."
Yumna tak menjawab. Pertanyaan itu bahkan sama sekali tak sampai di telinganya. Semua terasa menutup. Panca inderanya seperti tersekat oleh sesuatu.
"Yumna!" Frada mengguncang pelan lengan Yumna. Tatapannya menyiratkan kecemasan.
Yumna melirik sekilas. "Apa?"
"Ayo kita ke kamar mandi. Bersihkan tubuhmu. Aku akan membelikan baju ganti," ajaknya.
Yumna menggeleng. Menolak. Ia masih belum ingin beranjak. "Nanti saja. Saat istirahat makan siang."
"Ini sudah jam makan siang, Yum."
Yumna menatap sekeliling. Hanya beberapa anak yang tersisa. Mr. Bagas juga sudah tak tampak. Ah, berapa jam ia melamun? Yumna berdiri. Menerima tarikan tangan dari sahabatnya. Ia menurut ketika Frada memasukkan dirinya ke bilik toilet.
"Bersihkan dirimu. Aku akan membeli baju ganti. Oke?"
Anggukan adalah jawabannya. Ia terlalu malas untuk mengeluarkan suaranya. Yumna meraih pintu untuk menutupnya. Namun sebuah tangan menghalangi. Ada beberapa orang siswi menghampirinya. Bahu Frada ditarik paksa ke belakang.
"Argh!" Jerit Frada.
"Kalian!" Yumna menunjuk dua orang di depannya.
"Apa?"sahut salah satunya. Semakin maju. Memepet tubuh Yumna. Gadis itu menantang, dengan empat orang lain di belangknya.
Yumna mengambil napas panjang. Apalagi ini? Ia belum sepenuhnya sadar dari kenangan yang terus datang silih berganti pada otaknya.
"Jadi lo kekasih Rai?" Siswi itu mendengus jijik. Ia nengangkat sejumput rambut basah Yumna. Mengamati sebelum mengembalikan dengan kasar. "Model kayak ayam ini berani MENGENCANI Rai Reifansyah?"
Ujarannya bersambut Kekehan dari belakang, kecuali Frada.Mengencani Rai? Yumna mendengus geli. Jadi mereka ini cewek jadi-jadian yang sok mau ngelabrak dia karena berpikir merebut cowok yang disukai? Dasar, cewek tukang keroyok!
"Siapa yang kayak ayam?" tanya Yumna rendah.
"Lo. Siapa lagi? Ternyata selain jelek, ternyata dia juga bego, Gusy!" pekiknya heboh.
Yumna menyeringai, "Kamu tahu apa yang lebih buruk dari ayam bego?" Gerombolan siswi itu terdiam cukup lama. Sebelum yang paling depan, bertanya dengan polos.
"Apa?"
"Lihatlah kebelakang." Serontak semua menoleh. Tapi tak mendapati apapun selain diri mereka yang terpantul oleh cermin besar wastafel. "Orang yang bahkan lebih buruk dari ayam bodoh berani menghina pada yang derajatnya lebih tinggi." Yumna tersenyum puas.
Siswi di depannya kembali menoleh. Tangannya mencengkram erat dagu Yumna.
"Berani sekali lo ngatain, Gue? Gue ini Erika! Ketua cheers sekolah ini!"
"Terus?" Yumna menangkis tangan itu cepat. Ia muak. Orang-orang ini mencari masalah dengannya. "Aku nggak peduli. Sama sekali."
PLAK!
Tamparan itu mendarat keras. Emosinya terpancing. Kilat matanya menajam. Bagai belati siap menghunus apapun di depannya.
Yumna memelintir tangan itu. Jeritan terdengar, sementara pekikan lain bersahutan. Ia sama sekali tak peduli. Ia hanya butuh beberapa menit untuk melumpuhkan gadis-gadis sok kecantikan itu.
"Satu, dua, tiga, empat, lima." Yumna menghitung. Tangannya mengambil sejumput, demi sejumput rambut, untuk kemudian ia buang dengan jijik. Yumna mengibas-ibaskan tangannya.
"Hanya ini kekuatan kalian?"
Yumna mengulurkan jari jempol, kemudian membalikkan dengan dramatis. Tatapan meremehkan juga ia lemparkan pada segerombolan gadis di bawahnya. Gadis-gadis dengan penampilan yang .... hmm, mengenaskan?
Rambut urakan. Wajah tercoreng make up. Huh, sungguh kasihan! Tapi, itu masih belum ada apa-apanya dibanding hinaan yang tadi sempat terlontar.
Ia merogoh saku. Mengambil kertas yang sudah tak berbentuk karena air. Ia melemparnya di depan orang-orang itu. "Ambillah. Kalian bisa berobat gratis dengan itu di klinik sekolah." Ia mengalihkan pandangan pada Frada yang berdiri tenang di belakang segerombolan itu. "Rada, aku keluar."
Yumna berbalik. Ia meraih pintu. Sudah tak berselera untuk membersihkan diri. Pintu terbuka. Matanya menangkap seseorang di depan sana. Tengah bersandar pada tiang besar di belakangnya.
Rai berjalan mendekat. Tangannya menjinjing paper bag. Ia melemparnya. Tepat di tangan Yumna.
Rai .... dia menyeringai. Melambai sekejap sebelum berlalu pergi dengan langkah lambat.
***
Tbc
![](https://img.wattpad.com/cover/200305799-288-k234591.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Yumna's Secret
Roman pour Adolescents"Cerita ini telah diikut sertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua." Yumna Khaura Adriyani. Putri terakhir dari keluarga Adriyansyah. Bersifat cuek--pada selain keluarga, suka beradu kekuatan terutama bagi yang me...