"Sayangnya aku hanya menginginkanmu. Kamu yang menawarkan bantuan. Lalu kenapa juga kamu yang harus melarikan diri?"
Yumna menegakkan tubuhnya. Matanya mengarah tajam. Rai ... dia sama halnya. Memilih bergeming memandangi gadisnya. Ya ... gadisnya. Tidak salahkan jika ia menyebutkan dalam hati?
"Aku tidak melarikan diri," Yumna menyanggah cepat. Suaranya tajam penuh peringatan. Ah, Rai tahu, ia sudah melewati batas kesensitifan gadisnya.
"Kamu melakukannya." Tapi, Rai ingin melewati batas itu. Melihat Yumna yang menahan emosi---membuat sisi imutnya terlihat.
"Baiklah." Yumna menghela napas. Matanya terpejam sesaat. "Aku akan menepati janjiku. Aku akan membantumu. Aku akan menjadi pelindungmu. Tapi maaf. Untuk menjadi kekasihmu ... aku tidak bisa."
Penolakan. Rai jelas tahu. Ia sungguh paham. Rai mengangguk. Senyumnya mengengembang. Entah itu kegetiran atau kesinisan. Terlalu samar untuk terlihat.
"Kamu tidak benar-benar menjadi kekasihku. Kamu hanya menjadi pelindungku. Tetapi dengan alasan kekasih. Aku sudah menjelaskannya tadi," jelas Rai.
Yumna menggeleng. Tidak setuju. "Tetap saja. Ada embel-embel pacar. Aku tidak bisa. Apapun alasannya. Entah itu untuk alibi atau yang lainnya." Nadanya suaranya naik. Yumna jelas diambang batas kesabaran.
"Kenapa?" Ada rasa penasaran yang menyusup. Yumna terlihat berbeda. Pengendalian emosinya tak semeledak-ledak biasanya.
"Aku tak mempunyai kewajiban untuk menjawab." Yumna berujar sinis.
Rai mengembuskan napas. Berulang hingga tiga kali. Kembali, ia meneguk air mineralnya hingga tandas.
"Oke." Rai mengangkat kedua tangannya. Menyerah. Ia sedang tak ingin berdebat. "Aku akan memikirkan bantuan lain yang ingin kubutuhkan."
Yumna mengangguk. "Beri tahu saja kalau sudah ada." Yumna hendak beranjak. Namun tangan Rai mencegahnya. Menariknya pelan. Yumna menoleh. Heran. Terlebih dengan tatapan memohon itu.
"Tapi, setidaknya beri aku kesempatan. Aku ingin menantangmu. Jika kamu menang, kamu tak perlu menunaikan janjimu. Jika aku yang menang, kamu harus tetap menjadi kekasihku."
Yumna berdecih. Ia kembali menegakkan tubuhnya. Kepalanya ia miringkan beberapa derajat. Tatapan meremehkan ia layangkan.
"Menantangku?" Kembali menegakkan kepala. "Apa?" Nadanya nampak tertarik.
Rai menyandarkan punggung. Menatap Yumna penuh keyakinan. Ia ingin mengambil peruntungan. Sekali lagi ... setidaknya sekali lagi, ia ingin menjadi kekasih Yumna dengan rasa suka rela dari gadis itu.
"Aku menyerahkan padamu." Rai berhenti sejenak. "Apapun, aku akan mengikutiku," lanjutnya.
"Apapun yang kumau? Kamu yang mengajak dan menyerahkan keputusan kepadaku. Apa kamu yakin?"
Rai mengangguk mantap. "Tentu saja."
"Kamu akan menyesal." Yumna tersenyum miring. "Pulang nanti. Gor dan basket. Jangan terlambat." Yumna berdiri. Berlalu pergi keluar kampus.
Basket? Rai ingin tertawa. Ia harus bagaimana? Ia bahkan sudah melihat kekalahannya dari sini. Oh ayolah ... Rai ingin merutuki keberaniannya tadi.
***
"Frada, tolong kabari kak Lisa kalau aku pulang terlambat."
Yumna membereskan buku-bukunya. Menangkap dalam pelukan. Ia keluar menuju ruang loker.
Frada berlari mengikuti. Dia sempatkan membenarkan bando yang dia kenakan. "Yumna, lo mau kemana?" Frada menyejajarkan langkah.
"Rahasia," jawab Yumna singkat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Yumna's Secret
Ficção Adolescente"Cerita ini telah diikut sertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua." Yumna Khaura Adriyani. Putri terakhir dari keluarga Adriyansyah. Bersifat cuek--pada selain keluarga, suka beradu kekuatan terutama bagi yang me...