Rai memandang hampa lapangan di depannya. Tak begitu memerhatikan orang yang tengah menatapnya genit atau para siswa yang tengah bermain sepak bola. Rai diam. Pikirannya menerawang. Pada apa yang telah ia lakukan beberapa waktu ini atau ... seorang gadis yang menarik hatinya dua tahun lalu.
Sapuan tangan di pundak membuatnya menoleh. Alka berdiri di sampingnya. Sahabatnya itu tengah menyandarkan punggung di sebuah pohon. Melipat tangan di depan dada.
"Yumna pergi?"
"Dia masih mencintai orang itu." Rai menanggapi pertanyaan Alka dengan jawaban lain. Tak ada sangkut pautnya. Namun yang ia tahu, Alka pasti sudah paham jawaban dari pertanyaan tadi.
Alka mengangguk mengerti. Dia mengulurkan tangan pada bahu Rai. Memberi semangat. "Dia hanya butuh waktu Rai. Melupakan orang itu nggak semudah membalikkan telapak tangan. Dia hanya belum bisa menerima keadaan."
"Belum bisa menerima keadaan ya ..." Rai mengangguk. Tersenyum sinis. "Sampai kapan dia bisa menerima kenyataan? Ini sudah satu tahun dan aku juga sudah berusaha masuk pada hidupnya. Mengalihkan perhatiannya."
"Lo sadar nggak? Yang lo lakuin ke dia itu terlalu memaksakan. Memang bener lo berusaha, namun dengan kekuasaan lo. Untung saja Yumna tipikal cewek yang nggak gampang meleleh lihat kemewahan dan ketenaran lo. Gue malah curiga, sebelum ini dia nggak kenal lo." Alka terkekeh.
Rai mengangguk menyetujui. "Memang benar, sebelum ini dia tidak tahu aku."
"Kan?!" Alka bertepuk tangan. Rai sampai heran, apa yang hebat? "Wah, permainan mereka oke juga." Rai mulai mengerti, Alka tengah membicarakan siswa-siswa yang tengah bermain sepak bola. Rupanya baru mencetak gol. "Sepertinya lo juga harus bekerjasama dengan tim-tim sepak bola deh, Rai. Sayang ... bakat-bakat seperti itu nggak digunain," lanjut Alka berargumen.
Rai hanya mengangguk. Tak berminat menjawab ataupun membahas.
"Yumna tuh cewek unik. Lo sudah tahu dari awal, tapi kenapa masih menggunakan pemaksaan untuknya?" Alka mengalihkan topik. Kembali membahas gadis yang dicintai sahabatnya.
"Aku sudah mengganti tak-tik. Tapi sepertinya nggak ada respon."
"Bukan nggak ada. Cuman belum. Lo sepertinya terlalu pesimistis. Contoh tuh si F, dia tadi bawa mobil lo."
Rai mendelik tajam. Mengalihkan pandangan. "Sial! Nanti suruh Andrew langsung bawa ke bengkel."
Alka mendengkus. Menutupi hidungnya dengan jemari kanan. Kekehan kembali terdengar.
"Lo bahkan udah nggak terlalu peduli. Pengaruh Yumna besar banget ya buat hidup lo?"
"Jika nggak ada dia, mungkin kita sudah nggak ada, Al."
Alka terdiam. Matanya menerawang. Suasana hening. Awan hitam mulai berkumpul. Membumbung tinggi. Suhu berarsur naik.
"Mau hujan sepertinya. Lo nggak mau nyusul Yumna. Kasihan nanti dia kehujanan."
"Buat apa? Toh dia sedang bersama pacarnya?!" Rai mendengkus sinis.
"Tapi pacarnya itu udah mati Rai. Mana bisa dia ngelindungi cewek lo! Mikir napa?! Dan ... ini seharusnya menguntungkan, lo bisa mengambil hatinya."
Alka tak sabar. Matanya memicing memandang sahabatnya.
"Gimana caranya?" tanya Rai polos.
Alka kembali mendengkus. Sepertinya dia perlu memeriksakan otak temannya itu yang katanya genius.
"Gini ... Yumna pasti lagi sedih. Jika cewek sedih pasti pengen ada yang menghibur atau paling nggak nemenin dia. Dan ini kesempatan lo buat menarik perhatiannya, Rai! Lo ini bloon atau idiot, sih?!" Alka berujar gemas. Tangannya ia tepukkan pada kepala Rai. Berharap sedikit encer. Apa karena putus--ah, bukan. Lebih tepatnya pesimis cinta sehingga jadi mendadak bodoh seperti ini?! Alka tak habis pikir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Yumna's Secret
Roman pour Adolescents"Cerita ini telah diikut sertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua." Yumna Khaura Adriyani. Putri terakhir dari keluarga Adriyansyah. Bersifat cuek--pada selain keluarga, suka beradu kekuatan terutama bagi yang me...