57 ~ Berkali-kali

60 3 0
                                    

Happy reading guys

🥀

Pagi-pagi seperti ini jika ayam belum berkokok mungkin upin dan ipin belum bangun, mungkin juga jika alarm yang dipasang tidak berbunyi mungkin tidak akan ada juga para pelajar atau pekerja yang bangun pagi-pagi sesuai dengan jam yang telah ditentukan.

Berbeda dengan dirinya yang sekarang lebih teratur dari biasanya, yang selalu bangun pagi tanpa perlu lagi memasang juga tanpa perlu lagi dibangunkan oleh kedua orang tuanya ataupun pembantu rumah tangganya itu.

"Mar, makannya pelan-pelan, engga usah buru-buru. Ini masih pagi banget sayang." Ucap Linda kepada anaknya yang seperti bangun kesiangan saja.

Demar yang digoda dengan panggilan sayang itupun akhirnya tersedak oleh makanannya sendiri.

Linda malah panik. "Kan mama bilang juga apa, pelan-pelan telan makanannya." Linda sudah membantu Demar, ia mengelus pundak anaknya.

"Mama, sih, kok panggilannya kayak gitu!" Demar mengelap sisa-sisa makanan di mulutnya menggunakan sebuah kain bersih berwarna putih di samping piringnya itu.

"Lah, kamu kan idola mama, engga apa-apa dong." Linda sudah mengacak-acak rambut rapi anaknya itu.

"Boleh sih, cuma jangan di depan papa aja." Demar tersenyum jahil.

"Kenapa?"

"Entar papa cemburu." Demar tertawa ngakak.

"Eh Mar, papa kamu itu udah tua begitu, ngapain juga pake cemburuan segala." Ucap Linda juga ikutan tertawa.

"Siapa yang tua?" Suara berat dan agak sedikit serak itu terdengar dari arah tangga.

Demar dan Linda menoleh, melihat Elvano yang baru saja ingin bergabung bersama mereka berdua.

"Pagi pa." Demar memeluk ayahnya.

"Iya, pagi juga, Mar." Elvano balas memeluk. "Eh kamu pagi-pagi amat, engga kayak biasanya!"

Elvano sudah menatap anaknya itu dengan tatapan aneh. Ada angin apa yang masuk ke dalam tubuh anaknya itu.

"Mau jemput Ria dong, pa!" Demar memasukkan sendok suapan terakhir ke dalam mulutnya itu.

Terlihat piringnya yang tidak tersisa itu alias bersih di atas meja.

Demar meneguk airnya dengan cepat sampai habis tanpa sisa.

Elvano yang mendengar jawaban dari anaknya itu pun diam, tidak ada balasan lagi darinya sehingga membuat Demar itu bertanya.

"Kenapa diam, pa?" Tanya Demar.

"Kamu beneran suka sama dia?"

Demar memundurkan badannya.

"I-iya lah pa, makanya Demar semangat terus tiap pagi, semua gara-gara Ria." Elvano tidak tahu harus menjawab apa.

"Demar bukan hanya suka, Demar sayang pa, Ria hanya satu-satunya orang yang selalu jadi penyemangat hidup Demar."

Linda yang mendengar hanya bisa tersenyum. Ia benar-benar merasakan bagaimana ketulusan dari hati yang paling dalam dari anaknya itu.

"Pa," Demar bangkit, "Ma, Demar berangkat ya." Demar mencium bergantian tangan dari kedua orang tuanya itu.

Setelah mendengarkan nasehat dari kedua orang tuanya dengan saksama, Demar segera keluar dan menuju ke lokasi yang menjadi tujuannya.

Selama hampir dua puluh menit Demar melewati jalanan ibu kota yang mulai padat.

Lagi-lagi Demar dibuat tersenyum hanya karena perempuan itu sudah berada tepat di depan, di pinggir jalan seperti sedang menunggu jemputan.

"Hai," Demar membuka helm, sapaan darinya tidak dibalas, ia hanya mendapatkan tatapan dingin dari perempuan yang sedang menatapnya sekarang ini.

"Pacar lo belum jemput? Lama banget datangnya sih!"

"Bukan urusan lo." Ucap Ria, nada biacaranya membuat Demar merasakan kembali rasa sakit itu.

"Sama gue aja ya, gimana?" Demar bertanya, ia masih berusaha terlihat ceria dan juga semangat.

"Lo bagus pergi aja, gue engga mau naik motor, lo lupa apa!" Sungguh kalau Demar bisa pergi dirinya juga akan pergi sekarang juga, namun dirinya tidak bisa apalagi bersangkutan dengan perempuan yang satu ini ia hanya tidak bisa melakukan hal itu.

"Lo emang engga capek, apa, nunggu terus?" Tanya Demar lagi tidak menghiraukan omongan menusuk dari Ria itu barusan.

Ria menatap kesal Demar. "Lo bisa dengar engga sih, gue engga butuh bantuan lo." Ria tidak maju ataupun bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri, namun Demar merasa seperti telah di dorong jatuh dan dihempaskan kuat masuk ke dalam jurang.

Demar terus berusaha membujuk Ria. "Sekali aja, ya, Ri. Gue anterin sampai ke sekolah lo."

Demar melangkah maju. "Gue janji, Ri, sekali ini aja gue anterin lo." Demar mengangkat jari kelingkingnya.

Ria yang melihat itu pun menepis tangan Demar kuat ke arah sembarangan. "Apaan sih, lo."

Demar merasa asing, entah kenapa Ria tidak pernah menyebut namanya lagi.

Ia juga cukup terkejut karena tangannya yang dihempas kuat oleh Ria itu.

"Mau sampai kapan sikap lo kayak gini terus?" Ada keheningan yang terjadi cukup lama.

Demar frustasi, karena tidak ada satupun pertanyaannya yang dijawab oleh Ria.

Demar lantas diam, ia duduk di motornya kembali.

Namun dirinya tidak pergi dari sana, hal itu membuat Ria sedikit mengalihkan pandangannya pada Demar.

"Ria," Sebuah suara halus itu membuat pandangan mata Ria beralih pada seseorang yang berada di dalam mobil.

Juan telah sampai. "Masuk, buruan."

Ria menuruti, ia masuk ke dalam mobil Juan, dan pada saat mobil Juan melewati motor Demar.

Ria dapat melihat bahwa Demar sedang duduk diam diatas motornya dengan kepala yang tertunduk itu.

Ria mengintip lewat kaca spion mobil, ia dapat melihat laki-laki itu yang seperti sudah kehilangan semangat.

Memang benar adanya begitu.

Ria sudah mematahkannya berkali-kali.

See you in next chapter

58 ~ ?

DEMAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang