59 ~ Akhir

109 5 0
                                    

Happy reading

🥀

Hujan yang melanda ibu kota pada siang ini sungguh menguntungkan bagi beberapa orang yang sudah lama mengharapkan hujan turun karena musim kemarau yang membuat beberapa pejalan kaki atau bahkan pengguna motor hampir saja pingsan karena terpaan panas sinar dari matahari.

Mungkin dengan adanya hujan yang jatuh sekarang ini diharapkan juga bisa membantu mengurangi polusi udara yang kian memburuk setiap harinya.

Jika ada yang bersyukur hujan turun, pastinya juga ada yang mengeluhkan hujan turun, mengapa harus pada saat-saat ini turunnya hujan.

Kenapa tidak malam, kenapa tidak tengah malam saja turunnya hujan.

Terpaan angin dingin yang kian menusuk hingga ke kulit-kulitnya itu membuat kedua tangannya semakin mengeratkan pelukan pada kedua bahu, berharap dengan begitu rasa dingin itu akan berkurang.

Dirinya yang menunggu di halte ini pun menatap ke arah langit-langit.

Gelap, ia melihat awan-awan hitam itu yang seperti berada dekat berkumpul bersama dengan dirinya, menemaninya di kala menunggu jemputan yang tidak akan datang-datang itu.

Ia yang sibuk menatap langit-langit itu bahkan tidak tahu bahwa masih ada orang lain yang berada tidak jauh darinya itu diam-diam menatapnya dengan sendu, ingin sekali menawarkan kehangatan dan juga tumpangan untuk segera pulang ke rumah.

Dirinya yang hanya berlapiskan seragam sekolah, tidak ada sweater atau hoodie yang ia gunakan untuk menahan rasa dingin yang semakin menusuk itu.

Wajahnya yang sudah kelihatan pucat, kedua matanya yang menahan sesuatu yang sedari tadi memberontak ingin segera keluar.

Pacarnya itu memang sudah berada di rumah sakit sekarang, menemani sang ibu yang sedang sakit.

Entah kenapa dirinya memang tidak selalu menerima ajakan dari pacarnya itu.

Membantu perekonomian keluarganya yang semakin hari sudah mulai membaik itulah yang terpenting.

Ia menutup kedua matanya, sejenak ia merasakan ketenangan, dirinya menarik napas pelan setelahnya dihembuskan kembali keluar.

Kejadian kemarin membuatnya terus-menerus dihinggapi oleh rasa yang ia tidak tahu apa namanya.

Pada saat ia membuka kembali kedua bola matanya, mata sebelah kiri miliknya itu tidak sengaja menangkap seseorang yang sedang bersandar pada tiang besi halte di sampingnya.

Ia memutar kepalanya dan melihat dengan jelas seorang laki-laki yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Pacar lo kemana?" Tanya laki-laki itu dengan suara agak sedikit nyaring, karena suara air hujan yang jatuh dari langit dapat membuat suaranya tertelan.

Ria diam, ia masih terkejut dengan kehadiran laki-laki itu.

Setelah kejadian kemarin malam, setelah apa yang ia lakukan pada laki-laki itu.

Dengan mudahnya laki-laki itu tersenyum, datang kepadanya bahkan masih bisa bertanya kepadanya.

Demar yang tidak mendapat jawaban apapun dari pertanyaannya itupun maju melangkah.

"Lo kenapa engga ngehubungi gue aja sih!" Demar sudah berada di samping Ria dengan santai dan tanpa rasa malu ataupun kesal dan dendam sedikitpun dirinya langsung duduk.

"Gue bisa jemput lo, lo engga perlu merasa bersalah gitu sama gue."

Demar sudah melepaskan sweater merah maroon nya. "Lo pakai, ya, entar lo sakit gara-gara kemasukkan angin!" Senyuman di wajah Demar yang berkali-kali ia dapatkan itu, hanya ia balas dengan wajah datar miliknya.

Demar masih tidak merasakan Ria akan meresponnya. "Sini tas lo," Demar lalu menarik tas dari Ria dengan pelan.

Lalu dirinya membuka lebar-lebar mulut bawah dari sweater nya itu untuk dikenakan oleh Ria.

Ia memakaikan Ria sweater kesayangannya itu. "Nah, dinginnya bakal berkurang kalo lo pake."

Demar sudah mengangguk, bahkan ia terlihat senang dengan usahanya yang berhasil itu.

"Oh iya, gue lupa kalau lo engga mau ikut gue balik, kan!" Demar baru ingat akan hal itu, dengan buru-buru dirinya menghubungi teman perempuannya itu.

"Halo, Ta, lo masih di sekolah?" Tanya Demar sudah tersambung dengan temannya itu, Demar tidak lagi pergi, ia hanya tetap duduk disamping Ria yang masih diam itu namun ikut mendengarkan juga.

"Iya, Mar, kenapa?"

"Bisa jemput Ria engga, di halte depan sma Bintang?"

"Bisa-bisa, lo lagi dimana sekarang?"

"Di halte nih, lagi nemenin Ria, gue tunggu disini ya."

"Otw, bos."

Demar tersenyum kembali menatap Ria setelah mematikan sambungan telepon.

"Udah gue kasih tau ke Dita, lo ikut Dita aja, gue nemenin deh sampai dia datang." Demar menatap lagi ke arah jalan.

Sementara Ria yang tadi ditatap oleh Demar itu semakin tidak tahan rasanya, ia benar-benar sudah menjadi orang yang paling jahat di muka bumi ini.

Gelapnya awan diatas sana itu seakan adalah cerminan dari dirinya.

Berwarna hitam gelap.

"Gue tau kalau lo marah sama gue, gue tau mungkin lo kesal," Demar bersuara, namun ia tidak lagi menatap Ria.

Ria lah yang sekarang menatap ke arahnya. "Tapi satu hal yang perlu lo tau, dan lo engga harus peduli akan hal itu Ri."

Ada jeda cukup lama.

"Gue suka sama lo Ri."

Demar agak sedikit gugup mengatakan hal itu.

"Gue sayang sama lo, lebih dari seorang teman. Dan bodohnya gue baru sadar kalau selama ini gue selalu nyaman kalau sama lo, sampai kadang gue lupa kalau gue sama lo hanya sebatas teman dekat biasa."

Demar kembali melanjutkan ucapannya setelah ia sudah mempunyai cukup tenaga.

"Gue engga pernah marah Ri, apalagi kesal kalau lo milih orang lain yang bukan gue. Tapi. Tolong jangan benci atau ngeanggap gue seolah gue engga pernah ada di hidup lo Ri!"

Demar berdiri.

"Gue tau. Emang selama ini hanya gue yang terlalu bodoh mau ngelakuin segalanya hanya untuk lo, tanpa mikir kalau gue yang selalu kena getahnya." Untuk terakhir kalinya Demar menatap Ria.

"Kalau emang lo mau gue pergi dari hidup lo, atau menghilang untuk selama-lamanya," Demar tersenyum untuk terakhir kalinya, senyum yang benar-benar akan Ria lihat untuk terakhir kalinya.

"Gue bakal usahakan itu Ri. Kalau itu yang memang ngebuat lo tenang bakal gue turuti."

Ria membeku, ia bahkan dengan berani membalas balik tatapan mata Demar.

Namun pada saat-saat seperti ini, entah kenapa air matanya tidak mampu untuk keluar.

"Gue pergi ya. Gue engga bakal ganggu hidup Lo lagi kok. Oh Itu!" Demar sudah menunjuk ke arah jalan. "Lo pulang gih, Dita udah nungguin."

Demar lalu berbalik dan mulai melangkah menjauh tanpa mempedulikan dirinya yang akan basah terkena air hujan yang deras itu.

Meninggalkan Ria yang masih menatap dirinya itu.

Akhir dari semuanya memang akan benar-benar terjadi.

See you in next chapter.

Thor memang sengaja buat beberapa chapter sebelumnya sama yang ini sedikit.

Maaf sebelumnya.

Cuma untuk beberapa chapter aja kok.

60 ~ ?

DEMAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang