40 • Nyerah

78 13 0
                                    

Happy reading

🌻🌼

Ria menggonta-ganti siaran yang berada di Tv-nya itu, merasa bosan karena tidak ada yang bisa menarik perhatiannya dari acara-acara didalam Tv didepannya itu, apalagi ketika tau sekarang masih jam setengah delapan dan waktu untuk dirinya tidur masih lama.

Belajar kadang membuatnya bosan, apalagi mengerjakan tugas.

Ia lalu mematikan Tv diruang tamunya tersebut, lalu pergi keluar menuju teras rumah, dan setelah itu duduk menatap ke arah langit.

“Gue kangen, Ra.” Ucap Ria, dirinya meneteskan air mata.

Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara memanggil namanya.

“Kak, kak Ria, ada yang chat nih.” Ria lalu mengambil Hp miliknya dari tangan Sam.

Sam kembali masuk ke dalam rumah.

Ria langsung membuka aplikasi Whatsapp-nya itu, ingin melihat siapa yang mengirimnya pesan.

‘Jangan diluar malam-malam gini, entar masuk angin, masuk sana gih.’

Ia terkejut melihat nama pengirimnya, lalu ia berjalan menuju pagar gerbang rumahnya, dirinya terkejut melihat siapa yang sedang berada diluar saat ia membuka gerbang tersebut.

“Emang gila, ya, gue datang malam-malam gini.” Ucap Demar, menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal itu.

“Gila, sih,”

Demar lalu menunduk.

“Lo ada perlu apa?”

“Gue bosan aja, dirumah.” Bohong Demar.

“Masuk, gue bikinin teh hangat.” Ria membuka sedikit gerbang.

“Ri, engga usah,” Sela Demar saat sudah memarkirkan motornya dihalaman kecil Rumah Ria itu. “Lagian gue bawa ini.” Lanjut Demar.

“Wah, gila, serius!” Ria berbinar-binar matanya setelah melihat apa yang dibawa oleh Demar itu.

“Gue beli dua aja, sih.” Demar menyodorkan kantong plastik putih biru itu kepada Ria.

“Satunya buat Sam?”

“Iya buat, Sam.” Ucap Demar melepas sweater merah maroon-nya itu.

Setelah Ria masuk ke dalam rumah itu pun, Demar menunggu dan duduk ditangga teras rumah milik Ria itu dengan tersenyum menatap ke arah langit malam.

“Mar, makasih ya.” Ucap Ria pelan sambil mengambil posisi duduk disamping Demar itu, dirinya sudah menggunakan sweater berwarna merah maroon agar tidak kemasukan angin.

“Iya, sama-sama, Ri.”

“Luka, lo udah mulai hilang ya?” Tanya Ria memegang pergelangan tangannya Demar.

“Iya,”

“Lain kali, jangan sembunyiin apa-apa dari gue, ya.”

“Gue hanya engga mau lo khawatir, Ria.” Ucap Demar menggaruk pelan pergelangan kakinya.

“Klasik, masa gue engga boleh peduli sama, lo.” Ria menatap sendu Demar.

“Entar, lo, sedih gue-nya yang salah.” Demar menatap Ria yang memakan es krim dengan perasaan bahagia.

“Eh, lo engga beli buat diri lo sendiri, Mar? Es krim!”

“Gue bawa duit pas-pasan jadinya hanya kebeli dua, doang.” Demar terus menggaruk pergelangan kakinya yang sebelah kanan.

Sementara Ria, ia merasa tersentuh akan perkataan dari laki-laki disampingnya itu, dan juga perhatian yang diberikan oleh laki-laki itu.

“Tapi engga apa-apa kok, buat lo sama Sam aja, deh.” Kata Demar lagi. “Gue bisa beli kapan-kapan, es krim, ada dimana-mana jualnya.”

Entah kenapa Ria yang mendengar itu sudah meneteskan air mata.

Sementara Demar cukup terkejut, dirinya lalu menatap lebih jelas lagi wajah milik Ria itu.

“Ri, udah, udah.” Demar berniat menenangkan Ria. “Gue tau kok, lo kangen Wira ya? Maaf ya, gue engga bisa ngasih perhatiaan yang sama kayak Wira ke lo, gue engga jago dalam soal beginian.”

“Gue hanya cowok biasa, gue  emang engga se-sempurna Wira.” Entah kenapa kata-kata itu malah menusuk balik kedalam dada Demar.

“Patrick ternyata benar ya, lo masih belum bisa lupa sama Wira.” Sedetik kemudian Demar hanya diam dan menunggu sampai Ria tenang.

“Gue nangis bukan gara-gara belum bisa lupain, Wira.” Demar menoleh. “Tapi perlakuan lo ke gue, Mar!”

“Apa gue bisa balas semua perlakuan lo ke gue?” Demar tidak tau harus berbicara apa. “Meskipun gue kenal sama lo belum sampai setahun tapi rasanya kayak udah kenal sepuluh tahun.”

“Lo sayang sama gue? Sebagai teman, kan?” Tanya Ria.

Demar rasanya ingin berteriak, menjawab yang sejujur-jujurnya namun ia tau ini bukanlah saat yang tepat.

Demar tidak langsung mengangguk, ia hanya menatap manik mata Ria dalam, baru kemudian mengangguk sambil menampakkan gigi-gigi putihnya.

“Yah, yah, gue sayang sesayang sayang-nya sama lo sebagai teman.” Ria tersenyum mendengar itu, ucapan paling lembut, ucapan yang mampu membuat hati Ria menghangat.

Ria yang mendengar itu tadinya sedikit berharap lebih, sedikit.

Apa Demar hanya sayang padanya sebagai teman? Ria berharap iya, ia tidak ingin lagi kehilangan satu orang pun.

“Riaaa,” Ucap seseorang dengan suara berat dari arah belakang keduanya, keduanya menoleh dan menemukan ayah dari Ria itu sedang menatap tajam ke arah Demar.

Demar langsung berdiri. “Eh, om, selamat malam.” Demar maju dan ingin menyalami tangan dari ayahnya Ria itu.

Namun ayah Ria itu hanya menatap tangan Demar yang terulur itu, ayahnya Ria bahkan tidak terima dengan uluran tangan Demar itu.

“Mendingan kamu pulang, engga usah lagi dekati anak saya, kamu tau gara-gara kamu anak saya jadi sering nangis-nangis engga jelas dikamarnya.” Demar yang mendengar itu cukup terkejut.

“Kamu yang namanya Wira, kan?”

“Buk---”

“Mau ngelakkan, kamu? Anak kurang ajar, laki-laki pengecut, saya harap kamu jangan pernah ketemuan lagi dengan, Ria.” Ria yang menarik-narik tangan ayahnya itu untuk berhenti menyakiti Demar itu pun hanya bisa pasrah.

Demar yang mendengar perkataan yang keluar dari mulut ayahnya Ria itu rasanya jadi ingin mati saja sekarang.

“Riaa, masuk, engga usah peduliin laki-laki berengsek macam dia.” Setelah itu Ria ditarik kuat oleh ayahnya itu, Ryan sungguh marah besar melihat datangnya seseorang yang menjadi penyebab dari anaknya menangis selama beberapa minggu lalu dan juga hanya mengurung diri didalam kamar itu.

Ria yang sempat menatap Demar itupun rasanya ingin menangis lagi, perempuan itu melihat dengan mata kepalanya sendiri sebelum pintu teras rumahnya tertutup, laki-laki itu tersenyum sekilas berusaha memberikan isyarat kepada Ria bahwa tidak apa-apa ini hanya sebuah kesalahpahaman.

Setelah pintu teras benar-benar terkunci, Demar yang sedari tadi sudah berdiri itu pun langsung menuruni tangga teras rumah Ria tersebut, lalu keluar dari gerbang dan sebelum itu menguncinya terlebih dahulu kemudian barulah dirinya melaju kencang menggunakan motor roda dua kesayagannya itu.

Ia yang memakai helm itu lagi-lagi meneteskan air matanya berusaha menahan semua gejolak dari dalam dadanya.

Ia berteriak didalam gelapnya jalanan ibukota yang mulai sepi itu, berteriak seperti orang gila, terserah apa yang terjadi nantinya ketika orang pengendaran lain mendengar teriakkannya itu.

“GUE NYERAH AJA, GUE NYERAH.” 

•••

See you in next chapter

41 • ?

DEMAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang