EPISODE 6. Teman?

162 33 9
                                    

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

"Sejak kapan kamu jalan sama anak kayak dia?"

Moza yang sejak tadi sedang menonton televisi dibuat mengernyit dengan ucapan mama. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya dari layar televisi yang menayangkan sinema mainstream di mana orang jahat yang terkena karma karena perbuatannya secara instan. Sebenarnya ia bukan pribadi yang suka menonton televisi jadi tentu saja yang memegang kendali penuh pada remote adalah mama.

"Maksud mama apa?" Moza memasang wajah polos karena benar-benar tidak mengerti apa yang mama maksud. Tanpa diduga hal itu membuat mama mendengus.

"Anak SMA tadi loh. Siapa tadi namanya? Mama lupa."

"Mendung—eh! Maksudnya Eisha, Ma. Emangnya kenapa sama Eisha? Aku belum tahu banyak tentang dia, tapi tenang aja aku yakin kalau dia anak yang baik."

Mama yang tadinya duduk di sofa yang tidak jauh dari ranjang berjalan ke arahnya kemudian duduk di sebuah kursi. Tatapan mata mama masih sama dengan yang tadi, tajam dan terkesan menuduh.

"Dari sekali lihat mama juga tahu kalau dia anak baik-baik, yang jadi masalah di sini itu kamu."

Moza sama sekali tidak menduga jika hal semacam itu akan keluar dari mulut mamanya. Laki-laki itu sedikit menegakkan punggungnya dan menatap ke arah mama dengan terluka namun tetap ada tanya. Bagaimana bisa mamanya ini menuduh putra satu-satunya anak yang tidak baik?

"Maksud Mama aku bukan anak baik?" Moza berusaha mengendalikan dirinya sendiri tapi suaranya justru terdengar sangat tersakiti dengan cara yang konyol.

Moza kira dengan mengeluarkan ekspresi dan suara menyedihkan seperti barusan akan membuat mamanya luluh. Ekspetasinya mama akan bergegas memeluknya, menenangkan, kemudian meminta maaf padanya. Namun tentu ekspetasi adalah sesuatu yang bisa diharapkan namun jarang menjadi nyata. Alih-alih melakukan hal yang sudah terbayang di otaknya mama justru memutar bola matanya ke atas. Membuat mau tidak mau membuatnya semakin tersakiti.

"Jangan kira mama nggak tahu ya kamu biasanya main sama cewek kayak apa."

Kini wajah tersakiti itu sudah sepenuhnya hilang dari wajahnya dan berubah menjadi kepanikan. Laki-laki itu bahkan hampir terjatuh dari kasur karena takut menerima kemurkaan mama. Memang sih selama ini Moza kerap jalan sama banyak cewek dari berbagai spesies baik dari kampus maupun luar kampusnya, tapi selama ini mereka hanya jalan tidak lebih.

"Sumpah Ma aku nggak ngapa-ngapain sama mereka!! Cuma jalan doang, Ma! Nggak ngelakuin aneh-aneh!"

Mama mengerutkan alisnya kesal dan lelah dengan tingkah anaknya yang mendadak panik. "Kamu kenapa sih kok ngegas banget. Mama juga tahu kali kalau kamu cuma jalan sama mereka, karena kalau kamu ngelakuin hal yang lebih dari itu udah pasti dari dulu kamu mama kirim ke pesantren."

Bibir Moza langsung mengerucut mendengarnya. Mamanya berasal dari keluarga yang cukup religius. Mendiang kakeknya bahkan pernah belajar di pesantren dan bertemu dengan neneknya di sebuah organisasi keislaman hingga akhirnya menghasilkan mama beserta paman dan bibinya yang lain. 

MENDUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang