EPISODE 34. Kesempatan Paling Berharga

88 23 6
                                    

Keesokan harinya sesuai janji Moza bersama mobilnya sudah ada di halaman rumah dan disambut oleh Restu dan Zio yang sedang sibuk memotongi rumput

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya sesuai janji Moza bersama mobilnya sudah ada di halaman rumah dan disambut oleh Restu dan Zio yang sedang sibuk memotongi rumput. Ketiga laki-laki beda generasi itu mengobrol banyak hingga akhirnya Eisha keluar dari rumah. Ketiganya langsung mengalihkan pandangannya dan menatap ke arahnya lalu tersenyum berbarengan.

“Kalau gitu saya pamit dulu, Om.”

Restu hanya mengangguk lalu membiarkan Moza membuka pintu mobil untuknya dan menuntunnya masuk. Sebelum masuk Eisha meminta izin dengan sebuah senyuman pada pamannya yang langsung dibalas dengan anggukan dan senyum yang masih saja terlihat sedih. Tidak berapa lama mobil yang mereka tumpangi sudah bergabung dengan mobil-mobil lainnya di jalan raya yang ramai di akhir pekan ini.

“Mau ke mana?”

“Selain pertanyaan itu, apa lo nggak ingin menanyakan sesuatu yang lain sama gue?”

Eisha mengernyit mendengar jawaban itu. Sangat tidak biasa bagi Moza untuk mengalihkan pembicaraan mereka dengan seperti itu. Tapi sepertinya laki-laki itu tidak berniat mengubah topik pembicaraannya karena kemungkinan ini justru membawa jawaban tentang ke mana Eisha akan di bawa pergi.

“Kayak apa misalnya?” Eisha memutuskan untuk mengikuti alur.

“Kayaknya sesuatu aneh yang gue katakan saat kita terakhir ke rumah lo. Gue harap lo masih ingat.”

Ada dua hal yang langsung Eisha tangkap dan keduanya membekas dengan telak hingga tidak mau pudar dari pikirannya. Jika menilik dari ekspresi dan cara bicara Moza yang santai dan tanpa beban kemungkinan ini adalah tentang kakaknya. Jujur, Eisha sangat penasaran dengan hal itu, namun terlalu takut untuk membahasnya karena kemungkinan terburuk itu adalah sebuah kebohongan. Eisha sudah terlalu mempercayai Moza dan menerima kebohongan darinya sama saja dengan membunuhnya.

“Tentang ... apa?”

Mobil sedang berhenti di lampu merah dan Moza memanfaatkan hal itu untuk menengok ke arahnya. “Gue tahu lo ingat dengan jelas Mendung. Lo nggak perlu ragu untuk mengatakan segalanya sama gue. Hm?”

Jika dipikir lagi memang iya. Moza sudah terlalu masuk ke dalam dirinya hingga membohonginya adalah hal yang mustahil. Rasanya lucu karena beberapa bulan yang lalu mereka hanyalah orang asing yang bertemu di trotoar dengan obrolan yang sama sekali tidak penting.

“Tentang ... kakak gue?”

Senyum Moza langsung muncul lalu mobil melaju karena lampu sudah kembali hijau. “Benar. Tentang Kara.”

Bagaimanapun Eisha ingin apa yang dikatakan Moza waktu itu hanyalah sebuah kebohongan untuk candaan. Rasanya terlalu aneh dan tidak masuk akal ucapan Moza kala itu. “Nama kakak gue Deven.”

“Deven Kahraman. Iya, kan?”

Eisha tidak menjawab lagi karena mobil mereka yang memasuki lahan parkir sebuah taman yang ia tahu berada di sekitar tempat laki-laki itu tinggal. Sebenarnya ia sendiri sudah menduga Moza akan mengajaknya ke taman atau  sebuah tempat yang memang akan ramai di akhir pekan. Namun saat laki-laki itu mengajaknya ke bagian yang terlalu sepi di taman itu dahinya mengernyit penuh tanda tanya.

MENDUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang