EPISODE 25. Kekalutan

87 23 5
                                    

Deven memakan roti isi di tangannya dengan tenang sambil sesekali mata dan bibirnya tersenyum saat penghuni rumah Gomet lain menyapanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deven memakan roti isi di tangannya dengan tenang sambil sesekali mata dan bibirnya tersenyum saat penghuni rumah Gomet lain menyapanya. Namun tidak seperti sikapnya yang tampak riang, jauh di dalam dirinya sedang dalam mengalami pergolakan. Ini sudah hampir tengah hari dan Deven sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan tempat ini sebelum bertemu dengan Rosco. Ada sesuatu yang mengganjal dan mencegah langkahnya keluar dari tempat ini bahkan saat sebenarnya ingin bertemu dengan Moza dan Eisha.

“Tidak biasanya kamu ada masih ada di sini di jam seperti ini.”

Tubuh Deven berbalik dan langsung menemukan Rosco yang masih terlihat kelam seperti biasanya. Hari ini sosok itu ditemani oleh burung gagak hitam yang bertengger di bahunya. Ini bukan kali pertamanya dan bukan pertamakali terjadi karena ini justru adalah hal yang lumrah. Rumah Gomet kebanyakan dikelola oleh malaikat maut dan melihat burung gagak hitam sebagai pengantar mereka pada jiwa yang telah usai lembar kehidupannya di dunia adalah hal biasa bagi penghuni rumah ini.

“Aku sengaja di sini karena ingin berbicara denganmu.”

Rosco mengangkat sebelah alisnya karena hal ini sungguh tidak biasa terjadi. Dia lalu bergerak mengambil duduk di sebelah Deven di salah satu bangku di taman halaman belakang yang tampak redup karena banyaknya pepohonan besar yang justru membuat halaman belakang ini tampak seperti hutan angker. Tampak sangat kontras dengan halaman depan yang serupa taman pada umumnya.

Tidak banyak yang ada di sini saat siang hari karena kebanyakan penghuni punya urusan, namun ada beberapa yang tinggal karena urusan mereka justru baru bisa dilakukan saat malam hari tiba. Rosco memposisikan duduknya dengan benar lantas menuntun burung gagak di pundaknya untuk berpindah pada salah satu sisi bangku taman yang kosong di sebelahnya.

“Apa yang ingin kamu bicarakan? Apa ini tentang Eisha? Moza? Atau justru Dinda?”

“Aku tidak tahu.”

Alis Rosco kontan bertaut dan memandang Deven dengan tidak mengerti. Sadar sedang dipandangi dengan aneh laki-laki itu justru tertawa canggung.

“Apa otakmu baik-baik saja hari ini?”

“Aku tidak tahu.”

Rosco tampak sedikit lelah dengan jawaban monoton Deven. “Baiklah, kalau begitu kamu bisa mulai bercerita. Mau mulai dari mana?”

“Aku tidak tahu.”

Lagi, jawaban yang sama untuk ketiga kalinya dan Rosco tidak bisa menahan diri untuk tidak berdecak. Jika saja yang ada di hadapannya ini adalah makhluk sesama dan seperjuangannya sudah bisa dipastikan Rosco tidak akan menahan diri. Namun ini berbeda, karena yang ada di hadapannya adalah manusia yang bahkan sudah tidak bisa lagi menulis takdir hidupnya.

Deven akhirnya menoleh. “Kamu ... terlihat kesal.”

“Tentu saja. Sejak tadi saat aku tanya kamu hanya menjawab tidak tahu. Menurutmu makhluk mana yang tidak akan kesal?”

MENDUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang