EPISODE 8. First Step

126 30 7
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Biasanya Eisha sangat suka sekali saat hujan turun menyapa bumi dan itu pula yang membuatnya suka dengan musim hujan. Tanah basah, gemericik air, suasana, aroma, dan juga air hujan yang beradu dengan atap adalah sesuatu yang diam-diam gadis itu sukai. Setiap turunnya hujan selalu menjadi favoritnya, tapi sepertinya hujan yang sekarang mengunjungi bumi bukan salah satunya.

Alasannya karena hujan ini Eisha harus tertahan di salah satu kursi teras minimarket. Ia menghembuskan napasnya entah untuk ke berapa kalinya. Diam-diam gadis itu menyesali keputusannya tadi pagi untuk tidak membawa payung setelah melihat prakiraan cuaca. Kalau saja Eisha membawa payung maka ia tidak perlu terjebak di sini sambil menunggu Moza yang berlari entah ke mana dan menyuruhnya menunggu.

"Lama ya nunggunya?"

Eisha terkesiap, lantas menyentakkan kepalanya begitu suara itu ia dengar lagi. Di sana ada Moza yang menggenggam payung yang cukup besar dengan tangannya yang baik-baik saja sembari tersenyum. Gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali karena heran tidak menyadari kedatangan Moza. Pakaian bagian atas laki-laki itu masih kering walau celana jins yang dipakainya sudah sedikit basah karena air hujan.

"Nggak, kok."

"Kalau gitu ayo gue anterin pulang."

Eisha tidak langsung menuruti ucapan Moza. Ia menatap ke arah laki-laki itu dengan seksama lantas berpikir bagaimana caranya dia mendapat payung yang sedang digenggamnya sekarang. Dan sialnya otaknya justru salah fokus dan justru lebih memperhatikan penampilan laki-laki itu yang lebih mirip aktor yang sudah sangat siap melakoni adegan hujan-hujanan bersama sang lawan main. Wajah Moza memang luar biasa dan suasana yang sedang terjadi di antara mereka membuatnya sedikit agak berlebihan.

"Mendung? Lo nggak mau pulang?"

Sebelumnya Eisha marah dan tersinggung mendengar sebutan itu dari Moza. Awalnya nama Mendung yang laki-laki itu berikan membuatnya serasa diejek karena diam-diam mengakui kalau ia memang sejarang itu untuk tersenyum dan sesering itu menunjukkan wajah sedihnya. Tapi di tengah hujan deras juga suasana sejuk yang menyekap keduanya dan tentu saja wajah tampan Moza yang sama sekali tidak terbantahkan membuatnya agak berubah. Eisha spontan terkesiap dengan suaranya dan langsung menatap mata laki-laki itu.

"Ya?"

"Lo nggak mau pulang?"

Eisha langsung memahami maksud dari perkataan laki-laki di depannya. Dengan gerakan yang sedikit terburu-buru gadis itu melangkah dan bergabung bersama Moza di bawah naungan payung. Eisha kira payung itu tidak akan cukup untuk memberi naungan mereka berdua mengingat tubuh Moza yang besar dan jangkung, namun nyatanya payung itu melakukan tugasnya dengan baik. Payung itu cukup besar untuk melindungi keduanya dan membuat tubuh bagian atas mereka terus kering tanpa mengkhawatirkan air hujan yang deras di sore hari.

Keduanya berjalan beriringan menjauhi minimarket dengan arahan Eisha yang menunjukkan rumah pamannya. Mereka bicara seperlunya walau sebenarnya ada kata yang tertahan di tenggorokan yang menuntut untuk dikeluarkan. Meski begitu keheningan di antara derasnya hujan yang menemani perjalanan mereka melintasi trotoar akhirnya pecah ketika lengan mereka tidak sengaja berbenturan dan membuat keduanya terkesiap. Moza langsung berdehem setelahnya sedangkan Eisha memalingkan wajahnya ke bawah dan menatap sepatunya yang hampir basah kuyup.

MENDUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang